Menunggu Mukjizat

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Pagi menjelang siang beberapa hari lalu mendapat berita bahwa ada keluarga yang karena penyakitnya harus menjalani operasi. Sudah lebih dari sepuluh hari dari semenjak tindakan operasi dilakukan, yang bersangkutan belum juga siuman. Ternyata pada lantai yang sama dengan ruang yang berbeda ada sohib lama, mantan Kepala Sekolah Menengah Atas, dan mantan pejabat pada jabatan penting lainnya di salah satu departemen penting di negeri ini, sedang dirawat dan juga belum siuman dari beberapa hari lalu karena keganasan penyakitnya. Dan, begitu tulisan ini dalam proses perapian, ternyata kabar duka datang, beliau wafat tepat jam tujuh pagi, semoga husnulkhotimah, karena beliau orang baik.

Saat menjumpai mereka dan kerabat yang ada di ruang tunggu pasien berukuran cukup luas di satu rumah sakit swasta ternama di daerah ini, sangat terasa semua isi ruangan seolah sedang menunggu mukjizat. Tidak ada wajah cerah di sana, kecuali anak-anak; semua muram dan pasrah akan nasib keluarga yang sedang berbaring membisu namun urat nadi masih berdenyut. Mereka semua berharap akan kemukjizatan hadir ditengah mereka, sehingga orang yang dicintai bisa sehat kembali.

Kepasrahan kepada nasib dan datangnya mukjizat jika kita renungkan sebenarnya tidak hanya diruang tunggu rumah sakit saja; namun juga pada relung-relung kehidupan hal yang sama sedang berlangsung. Di ruang pengadilan, di ruang lembaga pemasyarakatan, di ruang-ruang tunggu maya lainnya; seperti menanti keputusan hakim akan nasib gugatan pemelihan kepala daerah. Semua sedang menanti kemukjizatan akan hadirnya suatu keputusan. Prinsip yang dianut “upaya sudah maksimal, soal hasil terserah pada Tuhan”; dan, oleh karena prinsip inilah wajah wajah pasrah itu tampak “ihlas” untuk menerima apapun keputusan keilahian.

Namun ternyata tidak semua kita mau memahami, sekalipun itu sudah terang tertulis di kitab suci bahwa kita sering mendustai nikmat Tuhan yang sudah berlimpah mengalir setiap saat pada kita. Tidak sedikit diantara kita yang tidak mau jujur akan adanya nikmat Tuhan itu, sehingga apapun dilakukan hanya atas maunya dan keinginan kita sendiri. Manakala bersua dengan keadaan yang tidak sesuai dengan keinginannya, maka baru ingat Tuhan untuk disalahkan.

Istilah “menunggu mukjizat” biasanya digunakan secara metaforis untuk menggambarkan sikap seseorang yang berharap terjadi sesuatu yang luar biasa tanpa usaha atau ikhtiar dari dirinya sendiri. Jadi, “menunggu mukjizat” bisa menjadi bentuk harapan yang positif jika disertai dengan usaha, tetapi bisa juga menjadi penghalang jika hanya dijadikan alasan untuk tidak berbuat apa-apa.

Hubungan antara usaha dan mukjizat dapat dipahami melalui keseimbangan antara ikhtiar (usaha manusia) dan takdir (kehendak Tuhan). Dalam berbagai ajaran spiritual dan filsafat kehidupan, keduanya tidak saling bertentangan, tetapi justru saling melengkapi. Mukjizat adalah hak prerogatif Tuhan. Usaha adalah kewajiban manusia dalam mencapai tujuan hidupnya, karena Tuhan menghendaki manusia berusaha sebelum mendapatkan hasil.

Dengan kata lain bahwa usaha adalah bagian dari sunatullah (hukum alam), sedangkan mukjizat adalah intervensi Tuhan yang tidak bisa direncanakan. Keajaiban sering terjadi ketika usaha telah dilakukan secara maksimal. Dan, Sikap terbaik adalah berusaha sebaik mungkin, sambil tetap berdoa dan berharap pada pertolongan Tuhan. Mukjizat bukan sekadar kejadian luar biasa, tetapi juga sarana pembelajaran bagi manusia agar semakin dekat kepada Tuhan dan menjalani kehidupan dengan lebih baik.

Mukjizat, ternyata juga memiliki pesan moral dan pembelajaran bagi manusia bahwa apapun bisa terjadi jika Tuhan menghendaki. Dengan kata lain bahwa, mati-hidup, sembuh-sakit, memperoleh-tidak memperoleh dan pasangan pasangan lainnya dalam kehidupan, adalah atas ijinNYA. Dan, ini pernah dipesankan oleh seorang da’I kondang dari Makasar, beliau mengatakan “setelah semua upaya kita lakukan sesuai hukum agama, keputusan akhir serahkan sepenuhnya kepada Tuhan; tugas kita selanjutnya hanya dua, pertama perbaiki sholat dan bersabar” . Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman