Belum Lucu Sudah Tertawa
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Berdasarkan penelusuran digital konsep lucu mengacu pada sesuatu yang mengundang tawa, kegembiraan, atau hiburan melalui kejutan, absurditas, atau permainan kata dan situasi. Kelucuan bisa muncul dari banyak aspek, seperti ekspresi wajah, gerakan tubuh, ironi, atau kebodohan yang disengaja. Dalam seni pertunjukan, humor sering digunakan untuk membangun keterhubungan dengan penonton dan mengurangi ketegangan.
Sulit untuk menentukan siapa individu pertama yang menggunakan kelucuan dalam pertunjukan, karena humor adalah bagian dari budaya manusia sejak zaman kuno. Namun, beberapa tokoh dan tradisi awal yang dikenal karena menonjolkan kelucuan dalam pertunjukan berdasarkan penelusuran digital ditemukan jejak sejarah antara lain: Dalam teater Yunani kuno, Aristophanes (c. 446–386 SM) dikenal sebagai bapak komedi melalui karya-karyanya yang satir dan penuh humor. Sedangkan pada jaman kerajaan, di Eropa abad pertengahan, Court Jester atau badut istana memainkan peran penting dalam hiburan kerajaan dengan humor verbal dan fisik.
Di Itali pada Abad ke 16 dikenal dengan adanya Commedia dell’Arte , yaitu tradisi teater improvisasi ini melahirkan karakter-karakter lucu seperti Arlecchino dan Pulcinella, yang kemudian menginspirasi badut modern. Dan, pada abad ke 20 dikenal tokoh Charlie Chaplin; Salah satu pionir dalam film bisu yang menonjolkan kelucuan fisik dengan karakter The Tramp, yang memadukan slapstick dan kritik sosial. Informasi lain ditemukan berawal dari hiburan kabaret dan vaudeville di akhir abad ke-19, komedi modern berkembang pesat dengan pelawak seperti Richard Pryor, George Carlin, dan kemudian komedian seperti Kevin Hart dan Dave Chappelle. Jadi, humor dalam pertunjukan telah berkembang sejak zaman kuno hingga sekarang dengan berbagai bentuk, dari slapstick hingga komedi cerdas yang berbasis observasi.
Kita tinggalkan sejarah di atas, kita lihat keadaan sekarang, justru kelucuan-kelucuan itu ada disekitar kita dan tidak harus dimainkan oleh Badut; sebab badut-badut itu sekarang ada dimana-mana. Mereka tidak memerlukan panggung, penerangan lampu dan costum, sebab “badut sosial” itu sudah menyiapkan sendiri panggung, media penyiaran, dan yang tidak kalah pentingnya para “orang bayaran” untuk berkomentar atau mendukung dalam bentuk pengikut atau yang dikenal dengan follower. Dan, juga ada kelompok sepisial untuk “mengacak-acak” yang dikenal buzzer. Buzzer bisa jadi orang perseorangan atau kolektif yang mendukung sebuah opini dalam suatu isu. Guna memengaruhi pendapat pengguna sosial media. Buzzer biasanya akan bekerja secara kolektif untuk menyuarakan hal yang sama, dan mereka ini dibayar oleh pemesannya.
Pada saat keadaan normal kita baru tertawa setelah melihat tampilan untuk ditertawai; justru sekarang berbeda, kita keburu tertawa dahulu sebelum mereka tampil lucu. Hal ini disebabkan kita dari awal sudah mengetahui kemana arah alur cerita dan orang yang akan tampil untuk bicara apa. Bisa kita bayangkan Pagar Laut yang sudah jelas-jelas melanggar, ternyata dilakukan dan ada yang membela keberadaan atas pelanggaran tadi. Akhirnya semua kita menjadi tertawa duluan, sekalipun lucunya baru belakangan. Karena kelucuan-kelucuan itu muncul semakin membuat tertawa awal kita semakin seru.
Peristiwa lain, karena ada media online yang selalu mengkritisi penyimpangan yang dilakukan oleh siapa saja, termasuk mereka yang ada di pemerintahan, kepolisian, lembaga penegak hukum, atau fihak-fihak lain. Akhirnya media masa online tadi diganggu penyiarannya dengan “menukangi” agar lambat tampil, bahkan tampilannya dirusak, dan lain sebagainya; yang intinya agar berita yang ada tidak segera sampai kepembaca. Mereka lupa bahwa jaman globalisasi seperti sekarang ini tidak bisa dengan mudah kita membendung informasi; akhirnya kita tertawa sebelum kelucuan terjadi di depan kita. Bisa dibayangkan betapa konyolnya, berita yang diunggah redaksi tengah malam, baru tampil dimedianya duabelas jam kemudian esok. Hanya karena artikel atau berita yang dimuat diduga akan menyudutkan seseorang, atau lembaga. Sementara pada waktu yang sama berita itu dimuat oleh media lain dengan kata dan kalimat semua sama, terbit tanpa kendala.
Belum lagi lelucon yang ditampilkan akibat dari melihat peristiwa lucu lainnya; akibatnya kita menjadi tertawa terlebih dahulu, sekalipun peristiwa mungkin terjadi, mungkin juga tidak. Bisa dibayangkan jika hari ini laut di pagar, ada yang sudah membuat “lelucon” bahwa udara di atas sana sudah dikapling dan bersertifikat. Kelucuan yang berupa satir seperti ini memang membuat sakit perut sebelum tertawa, karena sindiran pedas ini hanya untuk mereka yang berfikir waras.
Menahan orang dengan tuduhan yang tidak jelas; akibatnya yang bersangkutan dengan tegas menolak kompromi apapun karena merasa tidak berbuat salah. Ternyata sampai hari ini belum juga ditemukan bukti pelanggaran, sementara yang bersangkutan sudah ditahan. Mau dikeluarkan takut kehilangan muka, tidak dikeluarkan menjadi pelanggaran Hak Azazi Manusia, akhirnya kita tertawa, walaupun belum mengetahui manalagi kelucuan yang akan ditampilkan. Konyol lagi ada peristiwa dilaporkan oleh yang merasa dirugikan empat tahun yang lalu. Ternyata baru dilakukan pemanggilan sekarang, dengan alasan yang tidak masuk akal, karena ya memang akal-akalan. Rasanya semakin sempurna kita tertawa dahulu, sebelum kelucuan itu tampil.
Belum lucu sudah tertawa, itu masih dapat dipahami; namun jika sudah meningkat “sakit perutnya sekarang, tertawanya besok”; itu betul-betul sudah runyam. Dan, tampaknya bisa jadi kita akan mengarah ke sana. Bisa dibayangkan negara sebesar ini diolok-olok oleh piranti sosial bahwa dollar mengalami “keanjolkan” luar biasa; ternyata setelah dikonfirmasi hanya sekedar goyon belaka. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman