Rose yang Indah

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Perjalanan menuju salah satu daerah istimewa di pulau Jawa dengan membawa rombongan mahasiswa pascasarjana bersama pimpinan lembaga, menjadikan kenangan nostalgia 27 tahun yang lalu. Kami menggunakan bus kelas tertinggi dari salah satu perusahaan oto bus dengan nama yang dijadikan judul tulisan ini.

Karena sudah lama tidak naik bus jarak yang jauh, maka kesan dan kenangan masa lalu terus tayang di pikiran hampir di sepanjang perjalan. Ada nostalgia indah, ada haru biru, ada cerita asmara, ada susah payah, ada legenda, ada mistis, ada realitas, dan seabrek kisah masa lampau. Maka, ketika sampai di kamar hotel, energi untuk menulis serasa tidak terbendung. Salah satunya tema dari sepenggal pembicaraan dalam perjalanan itu.

Karena yang ada dalam bus adalah para intelektual yang akan melakukan studi lapangan di universitas tertua di negeri ini; maka pembicaraanpun tidak lepas dari konteks keilmuan dan keilmiahan. Salah satu yang menjadi trending topic adalah adanya tagar yang sedang heboh di dunia maya dengan mengajak untuk sementara tinggalkan tanah air guna mencari kehidupan yang lebih baik. Semua mereka peserta diskusi terbatas itu sepakat; mengecam pejabat negara yang berkomentar “asal bunyi”; yaitu komentar yang bukan mencari solusi, tetapi justru membuat masalah baru pada anak negeri.

Terlepas dari itu semua, tulisan ini mencoba tidak memihak kepada siapapun karena itu adalah pendapat pribadi dan sah-sah saja untuk berbeda pendapat. Tulisan ini ingin mengajak sedikit melakukan kilas balik secara filosofis, yaitu berkaitan dengan tujuan pendidikan yang ada di Indonesia, terutama untuk perguruan tinggi.

Pengalaman selama hampir setengah abad menjadi tenaga pengajar di perguruan tinggi tentu banyak terlibat dalam merumuskan tujuan institusional yang sangat filosofis. Namun dari semua ragam yang dirumuskan selalu ada terselip kalimat “mampu bersaing pada pasar global” atau paling tidak “mampu mencapai kelas internasional”.

Konsekuensi dari semua itu adalah pembelajaran yang digelar harus berstandar internasional, dan diharapkan alumninya mampu bersaing di dunia global. Bahkan akhir-akhir ini sekolah-sekolah kejuruan juga ikutan memasang tujuan institusionalnya agar para tamatannya mampu bersaing di pasar global.

Menyimak dari semua itu, sebenarnya pada kurun sepuluh tahun terakhir kita sudah mempersiapkan anak-anak muda Indonesia untuk mampu bersaing di pasar global. Salah satu bentuk persaingannya itu adalah “masuk ke dunia kerja global”. Lalu apakah ada yang salah jika mereka setelah tamat mencoba masuk pasar kerja global, dan diterima kemudian bekerja di negara orang.

Faktor lain ialah penguasaan bahasa asing yang menjadi wajib bagi mereka. Dan, mereka sudah sangat menguasai semenjak sekolah dasar. Begitu mereka ada pada strata Sekolah Menengah Atas, banyak diantaranya sudah menguasai paling tidak dua bahasa asing, dengan bahasa Inggris sebagai bahasa dasar mereka. Lebih laju lagi di perguruan tinggi, mereka dituntut untuk menulis jurnal dalam bahasa asing (Inggris) dan berbahasa asing saat melakukan pertemuan ilmiah. Tidak jarang kemampuan bahasa asingnya lebih baik daripada dosennya.

Begitu mereka tamat, tentu saja akan berpikir global dan merasa “merdeka” untuk menentukan masa depannya sendiri. Jika pilihan mereka untuk bekerja di negara asing lebih kuat, hal itu semata-mata karena mereka merasa mampu bersaing di sana kemudian mendapatkan penghasilan yang sesuai dengan estimasi mereka. Lalu pertanyaannya “salahkah mereka?”.

Mereka menjadi duta-duta negara ini, dan tidak salah kalau mereka disebut “pahlawan devisa” atau “duta devisa”. Mereka tidak menghabiskan anggaran negara seperti halnya pejabat negara, justru mereka menghasilkan devisa negara dengan rela meninggalkan keluarga untuk mendapatkan kehidupan lebih baik. Jika dulu pahlawan devisa disandang oleh para tenaga kerja dengan kelas informal; justru sekarang ada pada wilayah formal.

Lalu, jika ada yang mempertanyakan “nasionalisme” mereka; rasanya pertanyaan itu tidak adil dan tidak tepat. Justru pertanyaan itu harusnya dipertanyakan kepada para kuruptor, dan para penghukum ringan sang koruptor, atau mereka yang memfasilitasi koruptor untuk mendapatkan segala kemudahan. Dan, jika ucapan itu terlontar dari mulut para penguasa negeri ini, justru pertanyaan balik juga harus dijawab oleh mereka ; “Apa yang sudah mereka berikan kepada negeri ini”; kalau hanya sekedar rebutan kursi lewat kegiatan atas nama pemilihan, tetapi sebenarnya penipuan.

Perlu kita pahami bersama generasi Z yang ada sekarang mereka bukan hanya warga negara, tetapi juga warga dunia. Oleh sebab itu beri mereka kebebasan untuk menjelajah dunia ini; tugas kita adalah bagaimana menguatkan “rasa keindonesiaan” di jiwa mereka. Sekalipun mereka ada di Kutub Utara atau Kutub Selatan sekalipun, dada mereka tetap merah-putih, tetap Indonesia. Jangan mereka dicaci atau dibenci, kalau itu yang kita lakukan, maka mereka akan semakin jauh dari kita, dan semakin kencang larinya menuju negeri orang.

Melalui tulisan ini pesan disampaikan kepada kita semua, mari jaga ucapan kita, terutama para petinggi negeri; agar tidak terjadi luka hati pada generasi. Karena jika itu yang terjadi, maka jangan harap negeri ini akan “berpenghuni”. Salam Waras dari tepi Malioboro. (SJ)

Editor: Gilang Agusman