Membangun Asa yang Berserak

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Beberapa jam setelah tiba dari beraudiensi dengan perguruan tinggi negeri papan atas di negeri ini, yang berada di daerah istimewa, dalam rangka menyinkronkan rencana pembukaan suatu program bergengsi di dunia akademik, dilanjutkan pengukuhan guru besar baru di tempat tugas; berikutnya tugas baru sudah menanti. Dan, tugas yang tidak dapat digantikan diantaranya adalah menjadi ketua tim “penyatuan” keluarga besar melalui ikatan perkawinan. Sekalipun jarak yang harus ditempuh cukup jauh dan dalam kondisi lelah sangat secara fisik dan mental, karena sudah tidak muda lagi; tetapi mengingat tugas kemanusiaan yang sangat mulia itu, maka semua dijalankan dengan riang gembira bersama keluarga.
Ternyata ditengah-tengah momen kehidupan yang sakral itu; ditemukan mutiara “nasehat diri” dari peristiwa sosial yang terjadi. Keluarga-keluarga inti yang hadir ternyata hampir semua adalah produk dari amalgamasi. Sangat jarang lagi ditemukan suami-istri yang berasal dari satu sub-etnik yang sama; mereka rata-rata berbeda latar belakang budaya; sehingga membentuk budaya baru, namun tidak meninggalkan sub-budaya etniknya, minimal bahasa ibu.

Menariknya lagi himpunan mereka ini sudah terjalin sejak lama. Menurut catatan sejarah, daerah ini dibuka sekitar tahun 1930 oleh Belanda. Pemerintah kolonial membangun jalan raya yang menghubungkan antarkeresidenan di Sumatera. Pembangunan jalan ini mendorong pembukaan dan pengembangan wilayah di sepanjang rute tersebut.

Pemukim datang dan pergi seiring dengan lajunya perdagangan hasil bumi, terutama rempah masa lampau; mengakibatkan daerah ini menjadi maju pesat, dan sekarang termasuk kecamatan yang kepadatan penduduknya cukup tinggi. Dan, dari semua itu seolah daerah ini ingin memunculkan “akulah Indonesia” karena interaksi antarsubetnik di sini begitu harmonis, serta tidak pernah terjadi konflik antar mereka.

Atas dasar itu dapat disimak saat mereka memperkenalkan diri saat berlangsungnya suatu acara dengan menyebut “Bapak saya dari subetnik X, sedangkan ibu saya bersubetnik Y; saya bisa bahasa kedua orang tua saya dengan fasih”. Perkenalan diri seperti ini untuk didaerah ini sudah sangat biasa; oleh karena itu ikatan antar-intermereka secara kekeluargaan menjadi kentara dan sangat erat sekali.

Pembentukan Indonesia ternyata sudah dimulai prosesnya jauh sebelum merdeka untuk daerah ini; jejak-jejak itupun menyejarah sampai hari ini. Namun sayangnya harmoni yang seperti ini dirusak oleh mereka-mereka yang berfikir sesaat dan cenderung “norak”. Salah satu diantaranya adalah membangun tembok sosial dengan mengatasnamakan ekonomi. Mereka yang secara ekonomi lebih beruntung, maka merekalah yang berhak untuk mendapatkan status lebih dari yang lainnya. Akhirnya daerah ini menjadi penyuplai tenaga kerja sektor informal untuk luar daerah, bahkan sampai luar negeri; dengan tujuan mencari penghasilan sebanyak-banyaknya di luar untuk dibawa pulang dan memperbaiki status sosial yang ada selama ini. Bahkan ada yang tega meninggalkan keluarga demi mengejar harapan di negeri orang. Namun ada juga suami yang memanfaatkan momen ini untuk melepaskan diri dari tanggung jawab; sehingga merasa sudah memberi ijin kepada keluarga kerja keluar daerah itu berarti harus mendapatkan imbal jasa dari yang pergi.

Daerah yang masih ditopang oleh produk pertanian, terutama tanamanan keras ini, masyarakatnya memiliki karakter yang sudah berubah menjadi egaliter. Ukuran normatif individual sudah membentuk pola, oleh sebab itu secara normatif wilayah ini sudah layak disebut “kota”; namun dari aspek perilaku penunjang, masih ada pada posisi transisi.

Jika tagar untuk meninggalkan negeri guna memperbaiki nasib di negeri orang itu baru sekarang muncul; untuk daerah ini sudah lama dilakukan oleh mereka yang memang tidak melihat peluang di daerah ini. Homo Ekonomikus yang melekat pada manusia, seolah saat ini mendapatkan pintu keluar yang luas, termasuk untuk warga daerah ini. Justru slogan yang dikenal pada masyarakat ini adalah “jaga yang kita miliki, sabar menghadapi apa yang terjadi”; seolah merupakan pendorong jiwa semangat untuk meraih yang lebih baik lagi. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman