“Ndablek”
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Beberapa waktu lalu saat memberi kuliah di salah satu program pascasarjana pada perguruan tinggi papan atas di daerah ini, ada mahasiswa yang sibuk menggunakan gadgetnya saat perkuliahan berlangsung. Diberi pandangan mata tidak suka dengan caranya, yang bersangkutan tidak tanggap. Diberi sindiran juga tidak mempan, seolah yang diucapkan dosen sebagai angin lalu. Karena tidak mau mengorbankan waktu dan mahasiswa lain, perkuliahan dibuat tanya jawab, agar bisa berkeliling area mengamati mahasiswa; ternyata yang bersangkutan tetap saja melakukan aktivitasnya. Sampai-sampai temannya yang ada di seberang meja merasa tidak nyaman dengan perilaku tadi. Model mahasiswa/I seperti ini termasuk kategori “ndablek”.
Berdasarkan penelusuran digital “ndablek” adalah istilah dalam bahasa Jawa yang digunakan untuk menggambarkan seseorang yang keras kepala, bandel, atau tidak mau menurut pada aturan atau nasihat. Orang yang “ndablek” cenderung sulit diatur, tidak peduli dengan konsekuensi, dan tetap melakukan sesuatu meskipun sudah diperingatkan atau dilarang. Dalam konteks tertentu, “ndablek” bisa memiliki nuansa negatif, misalnya untuk menyebut anak yang susah dinasihati atau orang yang tidak memiliki rasa malu ketika melanggar norma, atau tidak paham sindiran bahkan teguran sekalipun.
Ternyata perilaku ndablek ini tidak hanya ada di ruang kelas atau ruang kuliah saja, akan tetapi hampir disemua lini kehidupan ditemukan “mahluk ndablek”. Bisa dibayangkan jika pimpinan daerah sudah melarang untuk melakukan sesuatu, karena ada sesuatu alasan lain yang memberatkan, ternyata yang bersangkutan tetap nekad melakukan larangan tadi dengan harapan dalam hati agar dirinya menjadi terkenal, atau dikenal. Ada lagi kelakuan untuk menutupi “kendablekan”-nya dengan cara mengutak-atik istilah dari studi banding menjadi studi tiru; begitu ditanya wartawan asli yang bersangkutan tutup muka dan lari terbirit-birit berlindung di ketiak para pengawal bayaran.
Banyak lagi sederatan contoh yang dapat kita tampilkan, tetapi sebaiknya kita mencari makna dan hakikat dari perilaku ndablek. Ternyata bila ditelusuri secara teori diperoleh informasi dari berbagai literatur bahwa perilaku ndablek itu memiliki akar persoalan, penjelasannya sebagai berikut:
1. Teori Belajar (Behaviorisme)
Menurut teori behaviorisme, perilaku ndablek bisa terjadi karena penguatan negatif atau kurangnya konsekuensi yang tegas. Jika seseorang terbiasa melanggar aturan tanpa hukuman yang jelas, ia akan belajar bahwa perilaku tersebut bisa terus dilakukan tanpa konsekuensi serius.
2. Teori Kepribadian (Psikoanalisis – Freud)
Sigmund Freud membagi kepribadian menjadi Id, Ego, dan Superego. Orang yang ndablek cenderung lebih dikendalikan oleh Id (dorongan kesenangan) dibanding Superego (moral dan aturan sosial).
3. Teori Perkembangan Moral (Kohlberg)
Menurut Lawrence Kohlberg, seseorang bisa bertindak ndablek jika masih berada pada tahap perkembangan moral yang rendah, yaitu:
Tahap Prakonvensional → Hanya patuh jika ada hukuman atau imbalan. Jika tidak ada hukuman, maka aturan dilanggar.
Tahap Konvensional → Patuh hanya untuk menyenangkan orang lain, bukan karena memahami nilai moralnya.
Orang ndablek mungkin belum mencapai tahap Postkonvensional, di mana seseorang menaati aturan berdasarkan prinsip moral yang lebih tinggi.
4. Teori Kognitif-Sosial (Bandura)
Albert Bandura menjelaskan bahwa perilaku ndablek bisa muncul karena modeling atau observasi. Jika seseorang sering melihat orang lain melanggar aturan tanpa konsekuensi, maka ia cenderung meniru perilaku tersebut.
5. Teori Attachment (Bowlby & Ainsworth)
Jika seseorang memiliki hubungan emosional yang buruk dengan orang tua atau pengasuhnya di masa kecil, ia bisa mengembangkan attachment insecure, yang membuatnya sulit menerima aturan atau otoritas di kemudian hari.
Ternyata perilaku ndablek itu tidak sesederhana wujudnya atau tampilannya, sebab dibawah sadar pelakunya ada persoalan-persoalan serius yang mendorongnya sehingga menjadi ndablek. Tidak peduli dia pejabat atau rakyat jika sudah terserang penyakit ndablek, maka akan menyusahkan orang lain atau paling tidak merusak sistem sosial yang telah dibangun bertahun-tahun.
Berdasarkan studi terakhir ternyata ndablek ini bisa berkembang menjadi muka tembok; oleh karena itu bangun kerangka silogismenya: orang ndablek bisa saja berlanjut menjadi muka tembok, tetapi orang muka tembok pasti didahului perilaku ndablek. Seseorang yang ndablek mungkin masih merasa malu atau takut akan adanya konsekuensi, sedangkan muka tembok sudah sampai pada tahap tidak peduli sama sekali terhadap omongan atau peringatan orang lain. Bahkan nyolong uang rakyat dengan cara licik yang kedapatan sudah bisa dipastikan mukanya menjadi muka tembok.
Berbeda lagi dengan yang ada di sana; ternyata ndablek dengan muka tembok berkelindan sempurna. Bisa dibayangkan korupsi karena minyak dengan total mencapai hampir satu kuadriliun, begitu ditayangkan wajah-wajah mereka seperti tidak menanggung beban, atau paling tidak malu; justru yang ditampilkan cengar-cengir seperti muka kuda liar Sumbawa. Bisa jadi muka tembok yang bertulang ndablek ini sudah menghitung, jika hukumannya paling 15 tahun penjara dipotong masa tahanan dan “kelakuan baik”, maka tinggal sekitar tujuh tahun, kemudian mendapat remisi dan seterusnya akhirnya mereka hanya kena lima tahun penjara, itupun penjaranya bisa disulap sesuai selera. Belum lagi kalau ada bantuan meringankan dari mereka yang selama ini menjadi pemilik negeri; maka selesailah semua bisa hilang dimakan waktu.
Semoga ndablek tidak berkembang menjadi “penyakit sosial”, karena jika ini yang terjadi maka kita akan mengalami kesultan mengobatinya, karena pasiennya ndablek, yang mengobati juga ndablek, yang melayani ya ndablek; maka sempurnalah menjadi “pawai ndablek”. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman