Rasa dan Cerita

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Siang itu agak sedikit mendung, tetapi cuaca begitu terasa sangat terik; entah apa penyebabnya, memang akhir-akhir ini perubahan iklim begitu terasa. Jika dahulu orang-orang tua memberi penanda jika kita sudah pada posisi bulan yang berakhiran “ber”; maka hujan akan terus datang. Seterusnya, jika sampai pada awal tahun yaitu bulan Januari, maka itu penanda “hujan setiap hari”. Semua itu sekarang sudah berubah, karena hujan bisa datang tidak menunggu Januari, dan bulan yang berakhiran “ber” bisa jadi sedang teriknya matahari, tiba-tiba turun hujan dalam sekejab. Kata orang bijak “semua sudah berubah”, tetapi jangan tanyakan mengapa itu berubah, apalagi dilanjutkan dengan pertanyaan “siapa yang mengubahnya”. Karena pertanyaan itu harus dijawab dengan satu semester perkuliahan tentang iklimatologi dan ketuhanan.

Hubungan rasa dan cerita itu menjadi sangat spesifik manakala kita memaknainya melalui silogisme berpikir filsafat . Hasil penelusuran perpustakaan digital ditemukan informasi antara lain sebagai berikut: pertama, dari aspek makna. Peran rasa dalam cerita memberikan kedalaman dan pesan emosional pada cerita. Sementara peran cerita dalam rasa menyalurkan dan mengekspresikan rasa agar dapat dipahami.

Kedua, aspek keterhubungan, peran rasa dalam cerita membuat karakter dan kejadian terasa nyata dan dekat. Sementara peran cerita dalam rasa membantu memahami dan mengenali rasa dalam pengalaman hidup.

Ketiga, aspek ingatan. Peran rasa dalam cerita dengan rasa yang kuat menjadi lebih mudah diingat. Sementara peran cerita dalam rasa akan memperkuat ingatan personal dan kolektif.

Jika ditelusuri lebih dalam masih banyak lagi ditemukan keterhubungan keduanya secara filosofis, tetapi tidak selayaknya itu ditampilkan pada halaman yang terbatas ini; akan tetapi ada satu hal bahwa “Rasa dan Cerita” memiliki hubungan yang saling berkelindan dalam perjalannannya. Oleh sebab itu jika kita menganalisisnya menggunakan jendela Jhon and Harry akan tampak algoritma berfikir sebagai berikut:
Jendela pertama: “enak dirasa dan enak diceritakan”
Jendela kedua: “enak dirasa tetapi tidak enak diceritakan”
Jendela ketiga: “tidak enak dirasakan tetapi enak diceritakan”
Jendela keempat: “tidak enak dirasakan juga tidak enak diceritakan”

Secara jujur kita harus berani mengatakan bahwa kehidupan kita di dunia ini ada pada keempat jendela tadi. Banyak peristiwa yang enak dirasakan sekaligus juga enak diceritakan. Tetapi ada juga yang enak dirasakan tetapi tidak enak untuk diceritakan. Namun tidak jarang kita jumpai tidak enak dirasakan tetapi indah untuk diceritakan. Sekalipun sering kali kita jumpai dalam hidup ini tidak enak dirasakan sekaligus juga tidak enak diceritakan.

Disanalah letak solusi religius yang mengatakan “ikuti prosesnya, syukuri hasilnya” adalah keberserahan diri kepada Sang Maha Pencipta. Karena tanpa itu kita akan menjadi gila; akibat dari itu pula menyadarkan kita akan keterbatasan manusia dalam perspektif ketuhanan.

Banyak diantara kita dengan mengatasnamakan “usaha” melakukan apa saja untuk dapat meraih hasilnya. Tentu akibatnya kita menggunakan segala cara untuk menggapai cita-cita yang mengabaikan “rasa”; diantaranya rasa berkeadilan, berkemanusiaan, bermartabat, berketuhanan, dan sebagainya. Termasuk didalamnya membenarkan yang salah, menyalahkan yang benar.

Cara bertindak dengan mengabaikan “rasa” tentu dampaknya menjadi sangat luas, dan daya rusaknyapun sangat masif. Bisa dibayangkan orang atau kelompok orang yang hilang rasa kemanusiaannya dan hilangnya rasa memiliki negara, akan melakukan korupsi tanpa batas, bahkan bisa jadi secara sistemik, masif, dan berkelanjutan. Jadi, tidak salah jika negara-negara yang menyadari akan akibat kejahatan ini menggunakan hukuman maksimal bagi pelakunya, yaitu hukuman “mati”. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman