Keduwung

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Pagi menjelang siang beberapa hari lalu ruang kerja di kantor, penulis kedatangan tamu seorang mahasiswa pascasarjana. Beliau adalah seorang tenaga kesehatan di salah satu pusat kesehatan masyarakat di kota ini. Di samping masalah akademik, yang bersangkutan mengeluarkan unek-unek berkaitan dengan anggaran kesehatan yang kena “efisiensi”.

“Prof, jujur saya keduwung memilih dalam pemilihan umum kemarin, saya kiro kencana ternyata wingka,” katanya.

Penulis agak terperanjat mendengar bahasa yang digunakan, terutama kata keduwung. Sudah lama sekali tidak mendengar diksi itu, karena itu sangat njawani sekali. Jika kita terjemahkan secara bebas maka kalimat “sanepo” (kiasan) tadi yang bersangkutan sangat kecewa karena salah memilih di kira emas permata, ternyata hanya wingko yaitu nama makanan khas Semarang yang berasal kota Babat.

Setelah tamu pamit, mulailah penulis melakukan perburuan definisi operasional kata keduwung tadi dimulai. Ternyata dari referensi digital ditemukan makna sebagai berikut: Kata “Keduwung” berasal dari bahasa Jawa dan memiliki arti “sesal” atau “penyesalan yang mendalam”.

Jika diterjemahkan ke dalam bahasa lain: Bahasa Indonesia: penyesalan; Bahasa Inggris: regret, remorse; Bahasa Sunda: kukumaha deui (ungkapan pasrah setelah penyesalan) atau kasalahan. Bahasa Madura: nyelesel. Bahasa Bali: seseleng, Bahasa Lampung Menggala: beboh atei. dan akan panjang lagi jika kita telusuri lebih jauh.

Dalam pandangan budaya Jawa, keduwung bukan sekadar perasaan negatif, tetapi juga proses pembelajaran hidup yang mengarah pada kebijaksanaan dan perbaikan diri. Berdasarkan penelusuran sejumlah literature digital juga, ditemukan informasi sebagai berikut: Filosofi keduwung dalam Budaya Jawa: Pertama, sebagai bentuk kesadaran diri. Keduwung bukan  sekadar rasa sesal, tetapi juga bentuk kesadaran batin terhadap kesalahan yang telah diperbuat. Dalam ajaran Jawa, seseorang yang mengalami keduwung diharapkan bisa belajar dari kesalahan dan tidak mengulanginya lagi.

Kedua, bagian dari hukum karma. Dalam kepercayaan Jawa yang dipengaruhi oleh kepercayaan lokal, keduwung sering dikaitkan dengan hukum sebab-akibat. Apa yang kita tanam akan kita tuai. Keduwung muncul ketika seseorang menyadari bahwa apa yang ia lakukan di masa lalu membawa akibat buruk pada saat ini dan yang akan datang.

Ketiga, mengajarkan laku prihatin. Keduwung menjadi pelajaran batin yang mendorong seseorang untuk melakukan laku prihatin (menjalani hidup dengan kesederhanaan dan introspeksi diri).

Keempat, sebagai pengingat akan keutamaan berpikir sebelum bertindak. Ungkapan Jawa seperti “mikir sakdurunge tumindak” (berpikir sebelum bertindak) menegaskan bahwa seseorang harus berhati-hati agar tidak mengalami keduwung. Oleh karena itu, kebijaksanaan dalam mengambil keputusan sangat dijunjung tinggi dalam budaya Jawa.

Kelima, mengarah pada keikhlasan dan penerimaan. Dalam tahap akhir, keduwung yang diterima dengan ikhlas akan mengarah pada sikap legowo (penerimaan) dan kemampuan untuk melanjutkan hidup dengan lebih bijak. Konsep ini selaras dengan filosofi sangkan paraning dumadi yang mengajarkan bahwa segala sesuatu memiliki sebab dan tujuan dalam kehidupan.

Tampaknya saat ini banyak di antara kita ada pada fase keduwung ini dalam mesikapi keadaan negeri yang tidak baik-baik saja. Hanya saja dalam mempersonifikasikan sikap keduwung ini berbeda-beda karena hal ini sangat personal. Ada yang mengambil sikap mencari kehidupan yang lebih baik di negara lain, ada yang dengan keahliannya melakukan “perlawanan” dalam bentuk yang paling halus sampai yang vulger. Namun, ada juga yang bersikap berserah diri menjalani nasib, bahkan menuju ke arah apatis.

Pilihan pilihan seperti ini tidak bisa kita atur atau pertentangkan. Juga tidak bisa kita salahkan atau kita benarkan. Sebab,  wilayah pilihan yang bersifat personal ini ada pada tataran ontologis. Jadi sangat salah jika ada pejabat atau siapapun kita menyalahkan pilihan itu dengan alasan pembenaran tertentu. Sebagai contoh, dalil tidak nasionalis menjadi dasar pikiran. Hal seperti itu adalah kekeliruan berpikir yang fatal dan sekaligus menunjukkan ketidakpahaman kita akan hakikat,  sehingga tersesat dalam bersilogisme.

“Kekeduwungannya” banyak pihak itu juga merupakan indikasi ketidak mampuan selama ini membaca data yang berupa perilaku. Sehingga, “permainan peran” selama ini nyaris sempurna, sehingga yang benar tampak salah; sementara yang salah tampak benar. Setelah “kewarasan” kembali menyadarkan akan apa yang sebenarnya terjadi, maka muncullah sikap keduwung tadi dengan sempurna. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman