Kanan Mbuwang, Kiri Nendang
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Pagi menjelang siang, ruangan kerja kedatangan tamu seorang sahabat lama; sebagai adat timur saling berbagi berita tentang kesehatan kami masing-masing. Terakhir dari kalimat yang diucapkan beliau adalah “Saya itu sehat Prof, tetapi sedang tidak waras”. Tentu kalimat ini mengundang tanya yang mendalam “Ada apa gerangan?”. Setelah bicara panjang lebar, ternyata beliau sedang ada pada posisi ibarat pepatah lama “dimakan, mati Bapak, tidak di makan, mati Emak”. Tentu posisi dilematis seperti ini tidak cukup di jawab dengan “Ya..jual saja” atau “Tinggalkan saja”; karena apapun jawabannya memiliki konsekuensi.
Teman lama ini bercerita bahwa perusahaan tempatnya bekerja sedang mengalami konflik internal yang berkepanjangan, sampai-sampai konflik itu nyaris terbuka. Akibatnya posisi teman yang menduduki jabatan strategis tadi menjadi serba salah, karena jika memilih opsi A beliau akan terbuang, sebaliknya jika memilih opsi B beliau akan ditendang. Akhirnya kami memecahkan persoalan ini dengan menggunakan pendekatan SWOT analisis. Dan, ditemukan jawaban persoalan ini adalah memunculkan opsi baru yang profesional sifatnya yaitu “Apakah pemilik jawaban A dan Jawaban B memerlukan kita? jika sama-sama menjawab “Ya”, maka tolong dengar suara kami”. Itu adalah opsi bijak yang tidak membuat luka hati siapapun mereka, walaupun untuk melakukannya dan berada pada posisi itu juga tidak mudah.
Akan tetapi, ada yang harus diwaspadai dalam persoalan ini; yaitu kelompok atau teman sendiri yang berpola pikir avonturir, ciri mereka ini bermuka seribu dengan pola jika berhadapan dengan A akan menjelekkan B, dan jika ketemu B akan menjelekkan A, bahkan apa yang seharusnya dirahasiakan mereka tidak segan untuk membukanya jika itu menguntungkan dirinya. Karakter atau pola seperti ini ada di semua lini, menyedihkan lagi jika mereka yang ada pada posisi ini lebih banyak dibandingkan yang istiqomah pada posisinya.
Tidak kurang pentingnya adalah adanya kelompok “tunggu dan lihat”; ciri kelompok ini hanya ingin ikut menang saja, dan tidak mau ambil resiko apapun. Dalam bahasa Palembang kelompok ini disebut “melok menang bae” , maksudnya hanya ikut yang menang saja, atau yang menguntungkan mereka. Apakah mereka-mereka itu salah; tentu saja tidak, karena hal-hal yang berkaitan dengan pilihan itu adalah hak dasar manusia. tinggal pertimbangan moral sebagai ukuran untuk menilainya.
Secara realita sosial dapat kita temukan dalam banyak kasus; justru jurus ini sering digunakan untuk “membuang” mereka yang dianggap oposisi atau terlalu pandai. Terutama dalam dunia perpolitikkan langkah ini sangat nyata adanya. Mereka-mereka yang dianggap terlalu banyak tahu, dan atau diduga akan membahayakan posisi dan organisasi, maka langkah ini sangat efektif dipakai. Adapun cara yang dipilih disesuaikan dengan situasi yang mendukung.
Banyak contoh dari level nasional sampai lokal; bisa dirasakan dan dilihat secara jelas; saat sebelum menjadi, mereka diajak kemana pergi bahkan difasilitasi. Namun, begitu sudah duduk “mukti wibowo” (tercapai cita-citanya); maka langkah pembersihan dilakukan, dan mereka yang terindikasi tidak segaris atau akan menjadi batu sandungan kelak dikemudian hari, segera disingkirkan atas nama reshuffle.
Keberpihakan memang diperlukan, namun pada posisi tertentu kita dipaksa untuk mengambil sikap; dan sikap pilihan itu pada umumnya hanya dua. Oleh sebab itu berdasarkan pengalaman, kita diminta cerdas; tidak salah jika kita membalikkan yang kita pilih tadi untuk bagaimana caranya memilih kita, karena dasar kompetensi kita. oleh sebab itu pada posisi ini tidak cukup kita pandai, akan tetapi harus cerdas dalam artian sebenarnya. Disini peran diskusi-diskusi perlu kita bangun bersama mereka-mereka yang sudah berpengalaman pada dunianya. Karena mereka sudah paham akan asam garam pergaulan yang tidak jarang bagai fatamorgana; tampak indah dari jauh, ternyata jurang yang menganga. Hasriadi Mat Akin pernah mengingatkan melalui tulisannya “dua mata untuk melihat, dua telinga untuk mendengar, tetapi hanya satu mulut untuk bicara. Sebab dalam hidup, memahami lebih penting dari pada sekedar berucap”. Dan, pemahamanlah yang akan menjadi suluh kita dalam menemukenali persoalan, terutama yang berhubungan dengan perilaku manusia.
Pesan lain, pada saat seperti itu ingat orang bijak yang mengatakan “Pada saat terasa tidak ada jalan keluar, ingatlan Allah selalu mempersiapkan jalan yang tidak kita duga, karena setiap kesulitan adalah pintu menuju kemudahan; kalian tidak sendirian, setiap air mata, setiap doa Allah mendengarkan, tetap teguh, pertolongan Allah itu dekat”.
Manakala perspektif berfikir kita terbentur pada tembok ketidaktahuan, maka perlu kita ingat akan pesan filosof terkemuka pada zamannya yang mengatakan “Ketika kita sadar segala sesuatu dalam hidup ini terjadi atas kehendak Allah, maka tak ada satupun yang pantas untuk disesali karena esok dan masa depan adalah rahasia. Tak perlu menebak-nebak hidup dalam rasa khawatir, percayalah selama kita berusaha, Allah menyediakan yang terbaik untuk kita”.
Oleh karena itu, sebelum kita menentukan sikap sebaiknya bermunajatlah kepada Sang Maha Mengetahui, dan perlu disadari bahwa memilih untuk tidak memilih, atau berpihak untuk tidak memihak; terkadang juga merupakan suatu pilihan yang bijak. Namun apapun alasan kebenaran itu akan menemukan jalannya sendiri. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman