Jalani Alurnya, Syukuri Hasilnya

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Suatu hari seorang santri mendatangi gurunya, dan berkata “Guru saya sudah berupaya semaksimal mungkin untuk menjalani hidup ini sesuai syariat dan ajaran dari guru; tetapi mengapa semua upaya saya itu tampak berjalan lamban sekali, bahkan cenderung terhenti. Pertanyaannya apakah ada yang salah ya guru, dan apakah semua itu kodrat saya”. Sang guru memandang santrinya tadi dalam-dalam, dan sejurus kemudian beliau menghela nafas, seraya memberi nasihat yang ringkasannya sebagai berikut:

Di tengah derasnya arus kehidupan sekarang yang menuntut hasil instan, kesuksesan cepat, dan pencapaian tinggi, sering kali manusia tersesat dalam pusaran ambisi dan kecemasan. Banyak orang terjebak dalam tekanan untuk “menang” dalam hidup, sehingga lupa bahwa hidup adalah perjalanan, bukan perlombaan. Dalam konteks inilah, ungkapan sederhana namun dalam makna seperti “Jalanni alurnya, syukuri hasilnya” muncul sebagai pengingat yang menenangkan: bahwa hidup bukan sekadar soal hasil akhir, melainkan tentang bagaimana kita menjalaninya dan menerima hasilnya dengan penuh syukur.

Dalam kehidupan nyata, “alur” bisa bermakna berbagai hal: perjalanan karier, hubungan pribadi, pendidikan, atau bahkan dinamika batin. Masing-masing orang memiliki alur hidup yang unik, dengan tantangan, harapan, dan waktu yang berbeda. Menjalani alurnya berarti menerima kenyataan hidup apa adanya, tanpa terlalu membandingkan diri dengan orang lain atau terburu-buru mencapai garis akhir.

Namun, “menjalani” di sini bukanlah sikap pasif atau menyerah pada nasib. Justru sebaliknya, ini adalah ajakan untuk hadir secara penuh dalam setiap langkah hidup. Kita diminta untuk menerima realitas dengan kesadaran, namun tetap melangkah dengan usaha yang sungguh-sungguh. Dalam bertindak kita harus selalu selaras dengan alam dan tidak memaksakan kehendak. Ini bukan berarti tidak melakukan apa-apa, melainkan melakukan dengan tanpa paksaan, tanpa ego, dan dalam harmoni dengan alur kehidupan. Bahwa manusia hanya memiliki kendali atas tindakan dan respons mereka, bukan atas hasil dari tindakan itu. Oleh karena itu, seseorang yang bijak akan fokus pada proses—yakni cara ia bertindak, berpikir, dan merespons—bukan pada apakah dunia memberikan balasan sesuai harapannya atau tidak.

Hasil dari sebuah usaha tidak selalu sesuai ekspektasi. Terkadang kita telah bekerja keras, namun hasilnya tidak seperti yang kita harapkan. Di sinilah konsep syukur menjadi penting, oleh sebab itu syukur bukanlah sekadar menerima atau puas secara pasif. Syukur adalah sikap batin yang aktif dalam mengenali dan menghargai apa yang dimiliki saat ini. Orang yang bersyukur bukan berarti ia berhenti berusaha, melainkan ia tidak menggantungkan kebahagiaan dan ketenangan pada hasil yang belum tentu bisa dikendalikan. Ia belajar untuk menemukan makna dan pelajaran dalam setiap hasil, baik yang menyenangkan maupun tidak.

Dalam tradisi Islam, syukur adalah salah satu pilar penting dalam kehidupan spiritual. Ini menunjukkan bahwa syukur adalah kunci kelimpahan, bukan hanya dalam bentuk materi, tetapi juga dalam ketenangan batin dan keberkahan hidup.

Bersyukur atas hasil juga menunjukkan kedewasaan emosional dan mental. Dalam dunia yang sangat kompetitif dan penuh ekspektasi seperti sekarang, tidak mudah untuk menerima kenyataan yang tidak sesuai harapan. Namun, orang yang mampu bersyukur dalam situasi apapun menunjukkan bahwa ia memiliki penguasaan diri dan kebijaksanaan hidup.

Ungkapan “Jalanni alurnya, syukuri hasilnya” pada akhirnya adalah ajakan untuk hidup dalam keseimbangan: antara usaha dan penerimaan, antara niat dan pasrah, antara bergerak dan berhenti sejenak untuk merenung. Hidup bukan soal menang atau kalah, sukses atau gagal. Hidup adalah tentang mengalami, merasakan, belajar, dan tumbuh. Terkadang kita terlalu fokus pada hasil: nilai ujian, angka penghasilan, status sosial, atau pengakuan orang lain. Padahal, makna sejati dari hidup sering kali tersembunyi dalam proses: dalam malam-malam gelisah saat belajar, dalam kegagalan yang membentuk karakter, dalam doa yang diam-diam, atau dalam peluh yang tak terlihat.

Ketika kita menjalani alur hidup dengan penuh kesadaran, kita tidak lagi terburu-buru atau merasa tertinggal. Kita belajar untuk percaya bahwa setiap orang memiliki waktu dan tempatnya sendiri. Dan ketika kita mampu bersyukur atas apapun hasilnya, kita membebaskan diri dari jerat kekecewaan dan luka yang tak perlu.

Ungkapan “Jalanni alurnya, syukuri hasilnya” mungkin terdengar sederhana. Namun dalam kesederhanaannya, ia menyimpan filosofi hidup yang dalam dan luas. Ia mengajarkan kita untuk hadir secara penuh dalam perjalanan hidup, menerima proses dengan hati terbuka, dan menyambut hasil dengan rasa syukur. Ia mengajak kita untuk melepaskan kontrol yang berlebihan dan menggantinya dengan kepercayaan pada waktu, proses, dan kehendak Ilahi. Tidak salah untuk diingat ucapan dari orang suci pada jamannya yang mengatakan “Nikmati seadanya, jangan meniru mereka yang punya segalanya”.

Mendengar itu santri tadi merasa diri bersalah karena masih kurang bersyukur dari apa yang telah Tuhan berikan; linangan air matanya membulir dipipi dan sejurus kemudian mohon diri kepada Sang Guru untuk terus mengasah diri agar tidak terjebak pada rasa ujub akan dunia. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman