Membeli Masa Depan
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Saat libur bersama, waktu dihabiskan untuk berkontemplasi dalam diam di rumah kopel yang mungil, namun serasa luas. Meja kerja yang mini-pun serasa lapangan bola guna berselancar dengan angan dan idea yang silih berganti muncul merekonstruksi berfikir, untuk kemudian dituangkan dalam deret huruf yang terkadang sulit untuk dicernah karena tidak seiringnya tekanan huruf dengan idea yang mengalir. Hari itu mendapatkan pembelajaran dari Satuan Pengamanan komplek yang mengatakan bahwa pendapayannya di luar gaji, ditabung melalui sistem piranti perangkat lunak modern sekarang. Beliau yang tidak tamat sekolah lanjutan sudah mampu membeli masa depannya dengan piranti genggam yang ada. Generasi Lanjut Usia sudah harus mengakui akan keterbelakangannya di bidang teknologi rekayasa masa depan. Harus bersiap menjadi korban atau dikorbankan oleh waktu yang berjalan begitu cepat dalam menyongsong masa depan.
Dunia yang bergerak begitu cepat dan didorong oleh teknologi canggih, frasa “membeli masa depan” menjadi semakin relevan, baik dalam percakapan sehari-hari. Namun, jauh di balik makna literalnya, terdapat dimensi filosofis yang dalam dan kompleks. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan “membeli masa depan”? Apakah masa depan sesuatu yang bisa dimiliki, diprediksi, atau bahkan diperjualbelikan? Dan bagaimana sikap manusia terhadap masa depan mencerminkan pandangan eksistensialnya terhadap waktu, pilihan, dan harapan.
Batasan pengertian paling sederhana, membeli masa depan dapat dimaknai sebagai tindakan berinvestasi hari ini demi memperoleh hasil di masa yang akan datang. Pendidikan adalah contoh paling jelas: seseorang menempuh pendidikan bukan untuk manfaat langsung, melainkan karena percaya bahwa ilmu dan keterampilan yang diperoleh akan membuka pintu menuju masa depan yang lebih baik. Demikian pula dengan menabung, membeli asuransi, atau bahkan menjaga kesehatan—semua adalah bentuk ‘pembelian’ terhadap masa depan. Tindakan-tindakan ini dilandasi oleh harapan bahwa dunia esok hari akan memberi ruang dari hasil jerih payah hari ini. Dari sudut pandang ini, membeli masa depan adalah bentuk optimisme rasional. Ia adalah perwujudan keyakinan bahwa masa depan, meski tak pasti, namun bisa diarahkan.
Dalam masyarakat kapitalis modern, konsep masa depan sering kali dikomodifikasi. Perusahaan menjual “masa depan” dalam bentuk kontrak jangka panjang, pinjaman pendidikan, investasi saham, dan teknologi ramalan. Bahkan dalam dunia kerja, individu sering terjebak dalam siklus kerja tanpa akhir demi “masa depan yang lebih baik”, tanpa pernah benar-benar hidup di masa kini. Filsuf seperti Herbert Marcuse dan Jean Baudrillard telah mengkritik bagaimana kapitalisme modern menciptakan “fetisisme masa depan”. Dalam sistem ini, masa depan dijadikan komoditas, dan manusia kehilangan kendali atas kehidupannya sendiri. Alih-alih menjadi subjek yang aktif membentuk masa depan, manusia menjadi objek dari janji-janji yang dikendalikan pasar dan teknologi.
Berbeda dengan Jean-Paul Sartre, dalam filsafat eksistensialismenya, menyatakan bahwa manusia adalah makhluk bebas yang ditentukan oleh pilihannya. Dalam konteks ini, membeli masa depan bukanlah tindakan konsumtif, tetapi tindakan eksistensial. Setiap pilihan yang kita ambil hari ini merupakan bentuk pertanggungjawaban terhadap masa depan kita sendiri. Pandangan ini seolah menafikan takdir. Semua masa depan bisa dirancang hari ini, dan tergantung manusia membaca peluang. Tampaknya pandangan ini lebih menafikan agama, terutama agama-agama langit.
Oleh sebab itu dalam banyak tradisi spiritual, masa depan dipandang bukan sebagai sesuatu yang bisa “dibeli” atau “dimiliki”, tetapi sebagai bagian dari aliran waktu yang tak dapat dikendalikan sepenuhnya. Contohnya dalam ajaran Sufi, masa depan tidak dimiliki oleh manusia, tetapi oleh Tuhan. Oleh karena itu, membeli masa depan bukan soal mengendalikan, tetapi tentang berserah dan bertindak dengan niat yang benar di masa kini untuk mendapatkan masa depan yang lebih baik.
Dari sini kita belajar bahwa konsep “membeli masa depan” bisa menjadi jebakan ego jika tidak dibarengi dengan kesadaran spiritual. Terlalu terpaku pada masa depan dapat membuat kita kehilangan makna kehidupan saat ini. Oleh karena itu secara filosofis, masa depan adalah entitas yang belum eksis. Ia belum nyata, belum terjadi, dan karena itu bersifat maya. Kita tidak bisa menyentuhnya, mengukurnya, apalagi memilikinya. Maka pertanyaannya: bagaimana kita bisa “membeli” sesuatu yang belum ada?
Martin Heidegger, dalam karya besarnya Being and Time, menyatakan bahwa keberadaan manusia (Dasein) selalu diarahkan ke masa depan. Eksistensi kita bukan berada di masa kini yang statis, melainkan terus bergerak menuju yang akan datang. Dalam pengertian ini, “membeli masa depan” adalah bentuk kepedulian manusia terhadap eksistensinya sendiri di waktu yang akan datang. Karena masa depan itu tidak pasti, tindakan ini selalu disertai dengan kecemasan (anxiety). Kecemasan itu bukan kelemahan, melainkan bagian dari kesadaran akan keterbatasan kita sebagai manusia. Tidak salah jika kita menyimpulkan bahwa secara filosofis, masa depan bukan sesuatu yang bisa dibeli dalam pengertian literal. Masa depan adalah ruang kemungkinan, bukan barang dagangan. Ketika kita berbicara tentang membeli masa depan, yang sebenarnya kita lakukan adalah menciptakan masa depan melalui tindakan, pilihan, dan nilai-nilai kita hari ini. Dalam dunia yang semakin tergoda oleh kepastian semu dan janji instan, renungan filosofis ini mengingatkan kita untuk tetap sadar bahwa masa depan tidak dijamin oleh uang, teknologi, atau kekuasaan. Masa depan adalah milik mereka yang berani bertindak hari ini dengan bijak, bertanggung jawab, dan penuh kesadaran akan keterbatasan manusia.
Oleh sebab itu sangat salah jika kita membeli masa depan dengan cara merusak hari ini. Masa depan harus jadi impian yang diwujudkan tetapi tetap ada pada jalur-jalur normative dan konstitusional dengan cara menatanya dari hari ini; bukan dengan menabrak aturan, apalagi sampai berkomplot tega berbuat jahat hanya karena ingin bahagia sesaat. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman