Ingin Mengenang Bukan Mengambil

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Siang menjelang senja diruangan kerja itu sunyi karena teman-teman tenaga pengajar lainnya bertebaran masuk keruangan memberi kuliah. Tiba-tiba pintu diketuk dan tampak dari balik kaca teman yang sudah lama tidak jumpa berdiri didepan pintu. Tentu saja ini adalah surpraise sekaligus mengejutkan; dengan senang hati mempersilahkan teman tadi untuk masuk dan duduk. Sejurus kami berbincang dan beliau dulu kami beri nama panggilan Pak Gendut karena memang badannya bongsor. Beliau bercerita bahwa semenjak istrinya meninggal beberapa tahun lalu, kini beliau menikah lagi dengan alasan untuk teman menunggu ajal; dan ini baru saja dari rumah mereka dulu di suatu komplek perumahan tidak jauh dari kantor ini. Pak Gendut sudah pensiun lama lima tahun sebelum penulis.

Pak Gendut membuka kalimat “saya datang ke rumah itu hanya untuk mengenang bukan untuk mengambil”. Tentu kalimat ini menjadi menarik dan menjadi bahan keluh kesahnya saat bercerita. Ringkasannya jika dinarasikan demikian: Di rumah tua yang sudah berumur lebih dari tiga dasawarsa itu Pak Gendut dulu tinggal bersama almarhum istri dan kedua anaknya Alit sisulung laki-laki dan Kapti perempuan manja; dan kini mereka berdua sudah berkeluarga tinggal di rumah yang besar itu.

Saat Pak Gendut duduk di ruang tengah datanglah kedua anaknya dan Alit berkata, “Ayah… boleh bicara sebentar”. Pak Gendut mendongak pelan, mengangguk. “Boleh, Nak. Ada apa?”. “Ayah tahu, kami nggak pernah benar-benar setuju Ayah menikah lagi,” kata Kapti. Suaranya tenang tapi jelas. “Tapi kami diam, karena Ayah bilang istri ayah orang baik baik.” “Tapi akhir-akhir ini,” lanjut Alit, “kami dengar Ayah mulai urus ulang sertifikat rumah. Surat tanah juga diminta ke notaris. Dan… istri ayah selalu ikut ?”. Mata Kapti mulai berkaca-kaca. “Ini rumah ibu kami, Ayah. Semua yang ada di ini; lemari, perabot, bahkan pohon pisang di belakang itu, dibeli dari hasil kerja keras Ibu juga. Kami takut Ayah mau ambil hak kami dan kasih ke orang lain.”

Pak Gendut menarik napas panjang. Ia memandang mereka satu per satu, lalu berdiri, mengambil sebuah map coklat dari lemari yang ada di kamar utama mereka dulu. Ia duduk kembali, membuka map itu perlahan, lalu mengeluarkan beberapa kertas bersegel. “Anak-anakku,” katanya, suaranya berat tapi tenang. “Ayah tidak pernah berniat merebut hak kalian. Sertifikat yang Ayah urus ulang itu… justru untuk memastikan bahwa rumah ini sepenuhnya atas nama kalian berdua. Tanah warisan Ibu kalian tidak akan Ayah ganggu, tidak sedikitpun.”

“Istri Ayah tahu semua ini. Dia tidak pernah minta sepeser pun. Dia tahu tempat dirinya; dia bukan sebagai pengganti ibu kalian, tapi pendamping ayah kalian yang tua dan sepi yang mungkin beberapa saat lagi akan dijemput sang maut. Dia datang tidak untuk menghapus Ibu kalian dari rumah ini. Dia hanya ingin menemani Bapak kalian menjalani sisa hidupnya dengan tenang. Dan dia tahu, rumah ini bukan miliknya.” Pak Gendut melanjutkan, “Harta itu bisa diwariskan, Nak. Tapi kasih sayang, kepercayaan, dan penghormatan; itu yang sulit diwariskan kalau kita saling curiga, apalagi memusuhi ayahmu hanya karena harta ini semua.”

Adegan yang diceritakan Pak Gendut itu menginspirasi untuk menulis dengan judul di atas. Masa lalu adalah tempat bercermin, bukan tempat tinggal. Mengenang adalah bagian dari belajar dan introspeksi, sementara tidak mengambil kembali apa yang telah berlalu adalah bentuk kebijaksanaan, ketidakmelekatan, dan perjalanan spiritual menuju kesempurnaan. Dalam perjalanan hidup manusia, masa lalu memegang peran penting sebagai sumber pelajaran, kenangan, dan refleksi. Namun, sikap terhadap masa lalu sangat menentukan kualitas kehidupan seseorang di masa kini dan masa depan. Dalam ungkapan “hanya mengenang, bukan mengambil”, tersimpan pesan filosofis yang dalam: bahwa mengenang masa lalu dapat menjadi sumber kebijaksanaan, sementara “mengambil” masa lalu secara harfiah; dengan maksud mengulang, mempertahankan, atau melekat padanya; Itu dapat menjadikan beban spiritual dan eksistensial, bahkan bisa jadi sia-sia.

Filusuf besar Islam seperti Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menekankan pentingnya muhasabah (introspeksi diri), sebagai salah satu bentuk memperoleh hikmah dari masa lalu. Muhasabah bukan berarti menghidupkan kembali masa lalu, tetapi merenunginya untuk memperbaiki masa kini. Kita dianjurkan untuk mengenang masa lalu dengan cara yang cerdas, dengan cara mengambil nilai-nilainya, bukan bentuk-bentuk historisnya. Yang kita butuhkan adalah transformasi spiritual, bukan restorasi formalistik.

Diksi “hanya mengenang, bukan mengambil” bukanlah ungkapan pasif atau pesimistis. Dalam kerangka filsafat Islam, ia merupakan ekspresi dari sikap spiritual yang matang. Mengenang adalah bagian dari ibrah, dari hikmah, dari tazkiyah, dan dari kesadaran eksistensial manusia. Sementara “mengambil” secara membabi buta masa lalu dapat menjebak manusia dalam kejumudan spiritual, ketergantungan emosional, atau stagnasi intelektual.

Filsafat Islam mengajarkan bahwa manusia harus hidup dalam kesadaran waktu dengan cara menghargai masa lalu sebagai pelajaran, memaksimalkan masa kini sebagai ladang amal, dan mempersiapkan masa depan sebagai tujuan akhir spiritual. Maka, sikap yang benar adalah mengenang masa lalu sebagai ibrah, namun tidak mengambilnya secara literal, karena kehidupan sejati bukan di belakang, melainkan di hadapan, menuju Allah. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman