Membeli Mimpi, Menukar Janji

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Seperti halnya wabah yang menular cepat dan “beringas” ; hampir semua kepala daerah terpilih membentuk pola untuk mendekatkan diri dengan rakyatnya, dikenal dengan program seratus hari. Dari yang membongkar bantaran sungai, masukkan anak-anak bermasalah ke barak militer, membebaskan uang komite sekolah, melakukan bedah rumah, pelayanan kesehatan gratis, dan masih banyak lagi.

Semua dilakukan bagai air bah dimana-mana; para pemimpin ingin menunjukkan komitmennya kepada rakyatnya. Namun ada juga yang duduk manis menikmati mimpi di singgasana yang diperoleh dengan mengeluarkan dana luar biasa banyaknya. Sesekali biar kelihatan bekerja menandatangani sambil tiduran penggantian kepala sekolah, dari pelaksana tugas ke pelaksana tugas lainnya; atau mendatangi rakyat yang sedang berduka dengan menyelipkan sedikit amplop; setelah itu kembali tidur lagi mengikuti irama lagu almarhum Mbah Surip.

Sudah semacam ciri realitas politik modern, terutama di era demokrasi elektoral seperti sekarang, mimpi kerap kali menjadi komoditas. Setiap kali pemilu tiba, ruang publik dipenuhi janji-janji politik yang menjanjikan kesejahteraan, keadilan sosial, dan perubahan besar, pendidikan gratis, bantuan sembako murah, bahan bakar murah, listrik gratis dan sebagainya.

Janji-janji itu dikemas dalam bentuk narasi, slogan, dan visi yang menyentuh emosi rakyat. Dalam proses ini, suara rakyat ditukar dengan harapan yang kadang-kadang terlalu idealis bahkan terkadang utopis. Fenomena seperti ini, yang dalam bahasa awam disebut sebagai “menjual janji”, dalam konteks filsafat bisa dilihat sebagai praktik “membeli mimpi”.

Menjadi pertanyaan apakah sah menjual atau membeli mimpi dalam politik? Apakah mimpi tentang keadilan, kemakmuran, dan perubahan sah diperjualbelikan dalam ruang demokrasi? Jawabannya tentu tergantung dari sudut mana kita memandang, dan dalam perspektif apa.

Dalam konteks politik, janji sejatinya bukan hanya sekadar alat kampanye, melainkan kontrak moral antara pemimpin dan rakyat. Maka ketika politisi menjanjikan sesuatu kepada rakyat, ia bukan hanya sedang bernegosiasi secara politis, tetapi juga mengikat dirinya secara moral dan spiritual. Janji politik, jika dimaknai dari perspektif religiusitas, adalah bagian dari pertanggungjawaban di dunia dan akhirat.

Setiap bangsa besar dimulai dari sebuah mimpi. Mimpi tentang masyarakat adil dan makmur, bebas dari penjajahan, korupsi, dan kebodohan. Dalam politik, mimpi itu menjadi bagian penting dari visi kepemimpinan. Tanpa mimpi, politik kehilangan arah. Namun, mimpi yang disampaikan tanpa kejujuran, tanpa perencanaan yang matang, dan hanya digunakan untuk meraih kekuasaan, maka dia berubah menjadi manipulasi.

Di tengah derasnya kontestasi politik, terutama di negara demokratis yang sedang berkembang, mimpi sering dijadikan alat manipulasi. Rakyat dijanjikan hal-hal besar seperti pendidikan gratis, lapangan kerja melimpah, dan harga-harga terjangkau, makan siang gratis, dan serba gratis lainnya; namun tanpa perhitungan rasional dan rencana implementasi yang matang dan jelas. Maka tidak jarang begitu ditagih janji ini menjadi kebingungan tersendiri bagi sang pemimpin; walhasil dipenuhi dengan setengah hati.

Para politisi mengetahui bahwa rakyat ingin percaya dan mereka selalu dalam kondisi lapar akan harapan. Pada kondisi seperti itu; mimpi menjadi komoditas yang laku keras di pasar demokrasi. Dalam bahasa satir: “Politisi menjual mimpi, rakyat membelinya dengan suara, lalu banyak yang kecewa karena tidak ada barang yang dikirim ke rumahnya”.

Filsuf Islam kontemporer Muhammad Iqbal mengingatkan agar kita tidak hidup dalam dunia imajinasi kosong. Politik harus menjadi proyeksi kreatif dari nilai-nilai spiritual ke dalam tatanan sosial. Ia bukan tentang kekuasaan demi kekuasaan, melainkan pembentukan masyarakat yang adil, bermartabat, dan berorientasi pada ridha Ilahi.

Oleh sebab itu jika membeli mimpi dipahami sebagai tindakan rakyat memberikan kepercayaan kepada seorang pemimpin karena ia menjanjikan visi dan perubahan, maka tindakan itu adalah sah dan bahkan penting dalam politik. Namun agama memberikan satu syarat penting yaitu: “tanggung jawab”.

Pemimpin politik adalah penjaga amanah publik. Setiap janjinya adalah hutang moral. Maka ketika ia menjual mimpi dan gagal menunaikannya, ia bukan hanya gagal secara politik, tapi juga secara etis dan spiritual. Sebaliknya, rakyat yang membeli mimpi juga tidak boleh pasif. Mereka harus terlibat aktif dalam mengawasi, mengkritisi, dan menagih janji. Oleh karena itu para ahli terdahulu mengingatkan mimpi bisa menjadi industri politik yang kuat namun berbahaya jika tidak disertai dengan kedewasaan politik, pendidikan publik, dan kontrol sosial. Oleh sebab itu kita sebagai bagian dari warga negara harus berperan aktif dalam merawat mimpi kolektif yang realistis dan etis.

Dengan demikian “membeli mimpi” dalam politik bukan hal yang salah selama mimpi itu dilandasi oleh visi, niat baik, dan rencana nyata untuk perubahan. Namun, ketika mimpi hanya dijadikan alat meraih kekuasaan tanpa tanggung jawab, maka praktek seperti ini menjadi pengkhianatan terhadap nilai-nilai universal. Selamat membeli mimpi asal jangan ditukar dengan janji; karena kita sangat sering dikhianati oleh janji manis di awal pahit di kemudian. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman