Kegaduhan Aceh vs Medan, Belajar dari Penelitian Desa Tertukar
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Kegaduhan eksploitasi tambang nikel di Raja Ampat belum reda, muncul kehebohan empat pulau milik Aceh beralih ke Sumatera Utara. Bendera Palam Peudeung kembali berkibar di Tanah Rencong. Aceh bergejolak atas putusan Mendagri Tito Karnavian.
Terkait kehebohan tersebut, seorang sahabat lulusan perguruan tinggi ternama luar negeri yang pernah menjadi kuasa penelitian perguruan tinggi terkenal daerah ini mengingatkan penulis pernah meneliti desa “tertukar” di wilayah perbatasan.
Teringat, kebijakan pemekaran wilayah merupakan upaya pemerataan pembangunan dan pelayanan publik agar secara administrasi dekat dengan masyarakat serta pembangunan yang lebih merata.
Namun, dalam praktiknya, pemekaran wilayah tidak selalu berjalan mulus. Salah satu fenomena yang muncul akibat pemekaran adalah kasus “desa yang tertukar” akibat kesalahan penempatan administrasi desa.
Fenomena ini menimbulkan berbagai dampak administratif, sosial, dan hukum yang cukup kompleks akibat kurangnya koordinasi antara pemerintah pusat, daerah induk, dan daerah pemekaran.
Dalam beberapa kasus, peta batas wilayah yang digunakan masih mengacu pada peta lama yang belum diperbarui, atau bahkan hanya menggunakan patokan alami seperti sungai atau bukit yang telah berubah.
Akibatnya, satu atau lebih desa bisa “terseret” ke wilayah administratif yang salah. Demikian juga halnya dengan keberadaan, pulau bisa jadi menjadi korban dari kebijaksanaan yang carut marut ini.
Contoh, satu desa yang sebelumnya berada di Kabupaten A, setelah pemekaran justru tercatat masuk ke Kabupaten B. Padahal secara geografis, budaya, bahkan sosial-ekonomi, desa tersebut lebih dekat dan memiliki keterkaitan erat dengan Kabupaten A.
Hal ini bukan hanya kesalahan teknis, tetapi juga berdampak pada jati diri desa dan keabsahan administrasi pemerintahan desa itu sendiri. Dan, beberapa tahun lalu saat penelitian dilakukan, juga ditemukan di lapangan hal seperti ini.
Dampak paling nyata dari desa yang tertukar adalah kebingungan administratif. Warga desa menghadapi kesulitan saat mengurus dokumen seperti KTP, KK, akta lahir, maupun surat kepemilikan tanah.
Selain itu, layanan kesehatan, pendidikan, dan bantuan sosial pun terhambat karena tumpang tindih data kependudukan. Pemerintah daerah yang merasa tidak memiliki tanggung jawab atas desa tersebut sering enggan mengalokasikan anggaran pembangunan.
Di sisi lain, daerah asal desa merasa kehilangan hak pengelolaan terhadap wilayah yang sejak lama menjadi bagian dari mereka.
Selain itu, konflik sosial juga dapat muncul. Warga desa mungkin merasa “dipaksa pindah” secara administrati bisa menimbulkan ketegangan antara masyarakat dan pemerintah serta melemahkan kepercayaan terhadap sistem pemerintahan yang ada.
Belajar dari kasus yang ada, maka sebaiknya antara Aceh, Sumatera Utara, bersama Pemerintah Pusat menyelesaikan masalah dengan cara melakukan verifikasi ulang batas wilayah secara partisipatif, melibatkan masyarakat, tokoh adat, dan pemangku kepentingan lokal.
Teknologi pemetaan digital dan sistem informasi geografis (GIS) menunjukkan bahwa kebijakan pembangunan harus disertai dengan ketelitian administratif dan partisipasi publik yang memadai.
Tanpa itu, niat baik pemerataan pembangunan bisa berubah menjadi sumber masalah baru.
Pemerintah, baik pusat maupun daerah, perlu belajar dari kasus ini agar ke depan setiap kebijakan pemekaran tidak hanya bersifat formalitas administratif, tetapi benar-benar mencerminkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat lokal.
Mempertahankan Aceh agar tetap menjadi satu kesatuan dengan negara kesatuan republic tidaklah mudah dan murah. Banyak darah dan air mata tumpah di sana; jangan hanya karena ambisi sesaat atau kepentingan sesaat dari generasi penerus- yang tidak paham sejarah, semua menjadi berantakan.
Tulisan ini bukan bermaksud menggurui, apalagi mengajari buaya berenang; akan tetapi hanya sekedar mengingatkan demi keutuhkan negeri ini, hanya karena kelalaian atau pendiaman dari mereka yang paham. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman