Sein ke Kiri, Beloknya ke Kanan

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Kita harus ekstra hati-hati setiap memasuki wilayah pemukiman. Salah satu di antaranya adalah masalah lalu lintas saat posisi ada di belakang kendaraan roda dua. Sebab, sering ditemukan lampu sein sebagai penanda akan belok, berlawanan dengan sein yang dihidupkan. Semula diasumsikan ada hubungan yang signifikan antara jenis kelamin pengendara dengan perilaku ini. Ternyata asumsi itu tidak benar, sebab yang melakukan perilaku seperti itu ternyata tidak didominasi oleh jenis kelamin tertentu.

Setelah direnungkan dari apa yang dijumpai dalam perjalanan tadi ternyata pada kehidupan sehari-hari kita banyak menjumpai perilaku seperti itu. Menjadi persoalan serius jika perilaku tadi berkaitan dengan institusi yang berkaitan dengan penyelenggara negara. Bagaimana tidak jika saat di atas panggung teriakan penegakan hukum paling nyaring dilakukan, namun dalam kenyataannya korupsi triliyunan rupiah hanya divonis ringan. Sementara yang tidak jelas pelanggarannya dibuih sampai hari ini, karena masih dicari yang cocok kesalahannya itu apa.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa hakikat dari perilaku “seinnya ke kiri, beloknya ke kanan” terletak pada ketidakkonsistenan antara apa yang ditampilkan atau diisyaratkan (sein) dengan apa yang dilakukan (belok). Hakikat ini mencerminkan berbagai dimensi mendalam tentang sifat manusia dalam berinteraksi sosial pada realitas kehidupan. Atau dengan bahasa lain bahwa hakikat utama perilaku ini adalah adanya disonansi antara apa yang dinyatakan atau ditampilkan dengan apa yang sebenarnya dilakukan. Ini adalah bentuk yang mencerminkan kebingungan, kesengajaan untuk menyesatkan, atau ketidakmampuan untuk memenuhi apa yang dijanjikan.

Mengatur negara yang besar dengan jumlah penduduk yang banyak, wilayah yang begitu luas, serta keragaman budaya yang begitu bervariasi tentu tidak boleh asal-asalan. Seperti halnya sein ke kiri tetapi beloknya ke kanan. Jika pemangku kekuasaannya melakukan tindakan sosial “seinnya ke kanan beloknya ke kiri”, maka akan mengakibatkan “gejolak sosial” yang membahayakan. Tampaknya tanda-tanda itu mulai terlihat pada level pucuk pimpinan. Hal ini ditengarai dengan kecewanya orang nomor satu di negeri ini dengan penegakan hukum yang ada. Sekalipun ini terkesan lebay namun paling tidak sudah mewakili terusiknya rasa keadilan ditengah masyarakat.

Jalan masih panjang. Pengelolaan negara tidak cukup hanya dengan teriak-teriak di atas podium atau keberadaan alutista yang canggih semata; namun kerja nyata untuk kepentingan rakyat adalah segalanya. Banyak pihak sangat berharap pergantian kepemimpinan dan pemerintahan untuk mesegerakan kesejahteraan rakyat; bukan membebani rakyat dengan pajak.

Bisa jadi perilaku memberikan sein tidak sesuai arah itu akibat dari tekanan yang melampaui ambang toleransi dari pengendaranya. Tekanan itu bisa jadi salah satu diantaranya adalah dikarenakan beban hidup yang makin berat. “Besarnya pasak dari pada tiang” membuat bangunan ekonomi mereka terguncang. Indikasi ini dapat dibaca dari makin besarnya kelas menengah turun menjadi kelas bawah dalam strata ekonomi. Akibatnya, daya beli melemah dan menjadikan sepinya pasar, tentu perputaran roda ekonomi menjadi melambat.

Tampaknya pengeluaran besar-besaran selama sepuluh tahun lalu, baru sekarang dirasakan bebannya. Ditambah lagi janji kampanye yang sudah terucap, harus dilunasi saat menjabat. Untuk menemukan sumber yang sudah sekarat tentu menjadi cukup berat. Tinggal satu-satu jalan yang hanya terlihat adalah menaikkan pajak. Akibat lanjut dari kebijakkan ini ialah beban rakyat menjadi begitu berat untuk mencari jalan keluar dari himpitan ekonomi; mencari pekerjaan sudah sangat sulit, membuka usaha sudah semakin sempit celah yang ada.

Akhirnya hanya bisa pasrah dan berdoa untuk menjalani kehidupan yang tersisa. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman