Besok dan Kemarin

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Waktu akhir-akhir ini begitu cepat berlalu; sepertinya baru kemarin memberi kuliah di Program Doktor pada salah satu program studi di perguruan tinggi keagamaan terkenal dan bergengsi di daerah ini. Ternyata hari itu sudah selesai, harus bergeser ke program studi lain. Demikian juga di perguruan tinggi tempat home base berada, rasanya baru kemarin memberi kuliah di pascasarjana kesehatan ini; ternyata sekarang sudah ganti angkatan.

Semua itu mengingatkan wejangan salah seorang ulama besar pada jamannya yang mengatakan “jangan khawatirkan tentang besok, dan jangan kau sedihkan yang kemarin”. Karena semua memiliki “saat”, dan saat itu tidak akan tertukar satu dengan lainnya, Tuhan sudah mengaturnya jauh sebelum kita lahir di dunia. Tampaknya semua ini tidak dapat dikaji dengan pikir biasa, akan tetapi harus melalui pendekatan filsafat.

Filosofi dari “tidak terlalu khawatir tentang besok, tidak terlalu sedih tentang kemarin” mengajarkan pentingnya hidup di saat ini, atau sering disebut sebagai mindfulness. Filosofi ini menyiratkan beberapa makna penting:

Pertama, Hidup di Masa Sekarang. Kita sering terjebak dalam kekhawatiran tentang masa depan atau kesedihan atas apa yang sudah terjadi di masa lalu. Filosofi ini menekankan pentingnya fokus pada momen yang sedang berlangsung, karena hanya masa kini yang benar-benar ada dan dapat dikendalikan. Namun juga jangan lupa semua skenario itu sudah ada sebelum peristiwa itu ada, karena ada yang Maha Mengatur tentang itu semua.

Kedua, Menerima Ketidakpastian. Masa depan penuh dengan hal-hal yang tidak pasti. Kekhawatiran tentang apa yang akan terjadi sering kali hanya membawa kecemasan tanpa solusi nyata. Dengan tidak terlalu khawatir tentang besok, kita diajak untuk percaya bahwa semua akan berjalan sebagaimana mestinya, selama kita melakukan yang terbaik di saat ini. Dan, masa depan kita semua sudah ditakdirkan sebelum kita ada.

Ketiga, Belajar dari Masa Lalu, Bukan Terjebak di Dalamnya. Masa lalu tidak bisa diubah. Sedih berkepanjangan tentang apa yang sudah terjadi hanya membuang energi. Filosofi ini mengajarkan bahwa kita sebaiknya belajar dari masa lalu, tetapi tidak membiarkan masa lalu menahan kita untuk maju.

Keempat, Mendapatkan Ketenangan Pikiran. Dengan melepaskan kekhawatiran tentang masa depan dan kesedihan tentang masa lalu, kita bisa mencapai kedamaian dan ketenangan batin yang lebih mendalam. Ini juga berhubungan dengan ajaran dalam banyak tradisi spiritual, yang menekankan pentingnya mindfulness dan kesadaran penuh terhadap momen ini.

Intinya, filosofi ini mengajak kita untuk lebih bijak dalam menyikapi waktu: menghargai momen sekarang, melepaskan hal-hal yang sudah berlalu, dan tidak terlalu membebani diri dengan apa yang belum terjadi. Hakikat dari “tidak terlalu khawatir tentang besok, tidak terlalu sedih tentang kemarin” adalah penerimaan terhadap ketidakpastian dan keterbatasan manusia dalam mengendalikan waktu. Hakikat ini berfokus pada tiga aspek utama:
Pertama, Kesadaran akan Ketidakpastian Waktu. Masa depan adalah sesuatu yang tidak bisa diprediksi sepenuhnya, dan masa lalu adalah sesuatu yang tidak bisa diubah. Hakikat ini mengajak kita untuk menerima bahwa ada hal-hal di luar kendali kita, terutama yang berkaitan dengan waktu, sehingga kekhawatiran dan kesedihan tidak akan memberikan manfaat nyata.

Kedua, Ketenangan dan Kebijaksanaan dalam Bertindak. Hakikat dari pernyataan ini menekankan pentingnya tindakan bijaksana di saat ini. Kita diajak untuk fokus pada hal-hal yang bisa kita lakukan sekarang, tanpa terlalu terbebani oleh masa depan yang belum pasti atau masa lalu yang sudah lewat. Ini mengarah pada ketenangan pikiran yang lebih stabil, di mana keputusan dibuat berdasarkan keadaan saat ini.

Ketiga, Melepaskan Beban Emosional yang Tidak Perlu. Sedih berlebihan tentang masa lalu atau khawatir berlebihan tentang masa depan adalah beban emosional yang menguras energi. Dengan melepaskan beban ini, kita dapat menjalani hidup dengan lebih ringan, fokus, dan damai. Hakikatnya adalah belajar melepaskan apa yang tidak bisa diubah, sambil tetap optimis dan berusaha untuk yang terbaik dalam kehidupan sehari-hari.

Secara keseluruhan, hakikat ini mengajarkan kita tentang keseimbangan emosional dan mental, serta kesadaran untuk menjalani hidup dengan lebih bijaksana, tanpa dibebani oleh apa yang sudah berlalu atau apa yang belum terjadi. Agama (Islam) mengajarkan “jangan kau mencintai sesuatu secara berlebihan, karena pada waktunya itu akan kau benci. Dan jangan pula kau membenci sesuatu secara berlebihan, karena tiba wakunya nanti justru itu kau cintai”. Memang petuah ini mudah dapat diucapkan, tetapi tidak semua kita mampu menjalankannya. Memerlukan keheningan pikir dan mengendapnya rasa untuk menemukenali segala sesuatu dibalik peristiwa. Salam Waras. (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Selamat Memperingati Hari Santri Nasional “Menyambung Juang, Merengkuh Masa Depan”

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Selamat Memperingati Hari Santri Nasional, 22 Oktober 2024. “Menyambung Juang, Merengkuh Masa Depan”

“Menyambung Juang Merengkuh Masa Depan” dipilih sebagai tema Hari Santri 2024 dengan makna yang mendalam. Frasa “menyambung juang” mengandung arti meneruskan semangat perjuangan para pendahulu, sementara “merengkuh masa depan” mencerminkan gerakan bersama menuju kesejahteraan.

Tema ini menyiratkan pesan bahwa perjuangan santri tidak pernah berhenti. Setiap generasi memiliki tantangan zamannya sendiri yang harus dihadapi dengan semangat juang yang sama seperti para pendahulu. Perjuangan ini harus terus disambung dan dilanjutkan demi masa depan yang lebih baik. (gil/humasmalahayatinews)

250 Mahasiswa Ilmu Keperawatan dan Profesi Ners Universitas Malahayati Ikuti Kuliah Pakar Kesehatan Jiwa Tatanan Komunitas Remaja

 

Bandar Lampung (malahayati.ac.id): Sebanyak 250 mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan (PSIK) dan Program Studi Profesi Ners Universitas Malahayati mengikuti kuliah pakar bertajuk “Kesehatan Jiwa Tatanan Komunitas Remaja”  di Gedung Rektorat, Selasa, 22 Oktober 2024.

Acara ini mengusung tema “Kesehatan Mental adalah Prioritas Utama, Jangan Biarkan Pikiran Negatif Merusak Kebahagiaanmu.”

Acara dibuka langsung Kaprodi PSIK, Aryanti Wardiyah, S.Kep, Ns., M.Kep., Sp.Kep. Mat., didampingi Sekretaris Prodi Ilmu Keperawatan Rillyani, S.Kep.,Ns., M.Kes dan Sekretaris Prodi Profesi Ners, Eka Yudha S. Kep., Ns., M. Kep serta jajaran Dosen Prodi Ilmu Keperawatan dan Profesi Ners

Dalam sambutannya, Aryanti menegaskan pentingnya pemahaman tentang kesehatan jiwa, terutama di tatanan komunitas remaja, yang sejalan dengan visi dan misi Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Malahayati yang berfokus pada komunitas.

“Tujuan dari kegiatan ini adalah agar mahasiswa semakin memahami pentingnya kesehatan jiwa, khususnya di kalangan remaja. Dengan pemahaman ini, kita berharap mahasiswa dapat berperan aktif dalam menjaga kesehatan jiwa di komunitas mereka,” kata Aryanti.

Hadir sebagai pemateri, Ners. H. Satrio Kusumo Lelono, M.Kep., Sp.Kep.J dan Triyoso, S.Kep., Ners., M.Kes., yang memberikan wawasan mendalam terkait kesehatan jiwa di tatanan komunitas remaja.

“Harapannya, kuliah pakar ini dapat bermanfaat bagi mahasiswa, sehingga mereka lebih mengenal aspek-aspek kesehatan jiwa di komunitas remaja langsung dari para pakar,” tambah Aryanti.

Selain itu, Aryanti berharap lulusan PSIK Universitas Malahayati mampu menjadi perawat yang KUAT (Kreatif, unggul, aktif, dan terampil) sehingga dapat memberikan kontribusi nyata di bidang kesehatan jiwa di masa depan. (*)

Editor: Asyihin

Program Studi S1 Keperawatan dan Profesi Ners Universitas Malahayati Raih Akreditasi Unggul

Bandar Lampung (malahayati.ac.id): Program Studi S1 ​​Keperawatan Universitas Malahayati berhasil meraih akreditasi dengan predikat unggul dari Perkumpulan Lembaga Akreditasi Mandiri Pendidikan Tinggi Kesehatan Indonesia (Perkumpulan LAM-PTKes).

Keberhasilan ini dikukuhkan dengan Surat Keputusan (SK) Nomor 0784/LAM-PTKes/Akr/Sar/X/2024, di mana Program Studi S1 ​​Keperawatan mendapatkan skor akreditasi sebesar 365.

Sementara itu, Program Profesi Ners Universitas Malahayati juga meraih nilai tinggi, yakni 361, sesuai dengan SK Nomor 0785/LAM-PTKes/Akr/Pro/X/2024 juga meraih predikat unggul.

Rektor Universitas Malahayati Bandar Lampung, Dr. H. Muhammad Kadafi, SH, MH, menyampaikan apresiasi dan ucapan selamat kepada Program Studi S1 ​​Keperawatan atas pencapaian tersebut.

“Ini adalah prestasi yang memuaskan bagi universitas. Kami berterima kasih kepada tim yang telah bekerja keras untuk mencapai hasil ini,” ujarnya.

Muhammad Kadafi juga menyampaikan terima kasih kepada tim asesor, Teuku Tahlil, S.Kp., MS, Ph.D., Dr. Ns. Vivi Yosafianti Pohan, M.Kep., dan Dr. Yektiningtyastuti S.Kp., M.Kep., Sp.Mat., yang telah memberikan masukan berharga selama proses akreditasi.

Universitas Malahayati Bandar Lampung menjadi PTS pertama prodi S1 Keperawatan dan profesi ners yang unggul di Sumatera.

Sebelumnya, pada tanggal 19-21 September 2024, tim asesor dari LAM-PTKes melakukan serangkaian evaluasi lapangan di Universitas Malahayati. Proses evaluasi ini meliputi pengamatan langsung terhadap fasilitas kampus, kurikulum, dan proses pembelajaran di Program Studi S1 ​​Keperawatan.

Tim asesor juga melakukan wawancara dengan dosen, mahasiswa, dan staf administrasi untuk mendapatkan gambaran menyeluruh mengenai kualitas program studi.

Evaluasi tersebut berdasarkan sembilan kriteria utama, yaitu visi dan misi, tata kelola, kualitas peserta didik, sumber daya manusia, keuangan, sarana dan prasarana, pendidikan, penelitian, pengabdian kepada masyarakat, serta luaran dan capaian program studi. (*)

Redaktur : Asyihin

Universitas Malahayati Hadiri Workshop Pengenalan Fraud dan Governance di Perguruan Tinggi

Bandar Lampung (malahayati.ac.id): Universitas Malahayati menghadiri workshop bertema “Pengenalan Jenis-Jenis Fraud dan Sanksinya serta Pengenalan Governance, Risk, and Compliance (GRC) di Perguruan Tinggi” di Sheraton Lampung Hotel, Senin, 21 Oktober 2024.

Workshop ini diselenggarakan oleh Satuan Pengendalian Internal (SPI) Universitas Lampung, bertujuan untuk meningkatkan sinergi dan komitmen pemangku kepentingan dalam mengimplementasikan tata kelola, manajemen risiko, pengendalian internal, serta kepatuhan di lingkungan perguruan tinggi.

Mewakili Universitas Malahayati, hadir Dekan Fakultas Hukum Aditia Arief Firmanto, SH, MH., Kepala Humas Emil Tanhar, S. Kom., dan Kepala Kepegawaian Anik Setyarini, SE., M.Ak.

Mereka bergabung bersama perwakilan dari berbagai universitas lainnya untuk mendalami praktik-praktik pencegahan fraud dan pengelolaan risiko di institusi pendidikan tinggi.

Workshop ini menghadirkan narasumber dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) serta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Jakarta.

Mustofa Kamal, S.E., M.S.Ak, CFA, CRMP, CHFI dari BPKP Jakarta menyampaikan materi terkait jenis-jenis fraud, contoh kasus di sektor pendidikan, serta sanksi yang dapat diberikan terhadap pelaku fraud.

Sementara itu, Dwi Amalia Sari, MBA, PhD, CFrA dari BPK Jakarta, membahas pengenalan konsep Governance, Risk, and Compliance (GRC) serta beberapa studi kasus penerapan GRC di Perguruan Tinggi Negeri Badan Layanan Umum (PTN BLU).

Acara ini dimoderatori Prof. Dr. Marselina, SE., M.P.M., PIA., CRP., yang menekankan pentingnya kolaborasi antara SPI dan manajemen universitas dalam menciptakan lingkungan akademis yang transparan dan akuntabel. (*)

Lima Dosen Universitas Malahayati Ikuti Sosialisasi Pencegahan Pelanggaran HKI

Bandar Lampung (malahayati.ac.id): Lima dosen Universitas Malahayati mengikuti Sosialisasi Pencegahan Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual (HKI) pada Pelaku Usaha Tahun 2024 di Swissbel Hotel Lampung, Senin, 21 Oktober 2024.

Acara ini diselenggarakan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Lampung.

Kelima dosen tersebut adalah Tyan Tasa, M.Kom, Rissa Afni Martinouva, SH., MH., Natalina, ST., M.Si., Dewi Lutfianawati, M.Psl., Psikolog, dan Apip Alansori, SE., M.Ak., CAPM.

Mereka berpartisipasi dalam kegiatan yang bertujuan meningkatkan pengetahuan pelaku usaha dan akademisi terkait cara mencegah serta menindaklanjuti pelanggaran HKI.

Kepala HKI Universitas Malahayati, Tyan Tasa, M.Kom, menjelaskan pentingnya acara ini bagi perguruan tinggi dan pelaku usaha.

“Acara ini memberikan wawasan tentang strategi pencegahan pelanggaran HKI, yang sangat penting bagi pelaku usaha dan juga perguruan tinggi, mengingat besarnya peran intelektual dalam pengembangan ekonomi saat ini,” ujar Tyan.

Sosialisasi berlangsung dalam bentuk diskusi panel, dengan materi utama mengenai peran pemerintah dan pelaku usaha dalam pencegahan pelanggaran HKI di Provinsi Lampung.

Selain itu, peserta juga mendapatkan pemaparan dari Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual terkait langkah-langkah preventif dan tindak lanjut pelanggaran HKI.

Acara ditutup dengan diskusi dan tanya jawab melibatkan seluruh peserta.(*)

Editor: Asyihin

Kebutuhan dan Kepentingan

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Siang menjelang sore, saya  kedatangan  seorang teman kerja. Iamemohon bantuan karena sesuatu “kebutuhan”. Selesai urusan dengannya, ada mahasiswa yang telah menunggu untuk berjumpa karena suatu “kepentingan” kaitannya dengan penyelesaian studi.

Karena waktu sudah senja, begitu selesai semua urusan, saya berkemas-kemas untuk pulang. Sampai di tempat parkir kendaraan, terbayang kembali wajah dari mereka berdua; wajah “kebutuhan” dan wajah “kepentingan” yang keduanya memerlukan penangan segera.

Kebutuhan lebih berorientasi pada hajat hidup yang harus segera dipenuhi, sementara kepentingan lebih pada jangka panjang dalam suatu proses “menuju” atau “menjadi”.

Jika kita telusuri keduanya secara filosofis memang berbeda, dari referensi digital diperoleh informasi sebagai berikut:

Dalam filsafat, kebutuhan dan kepentingan memiliki perbedaan konseptual yang mendalam, meskipun dalam kehidupan sehari-hari keduanya sering kali digunakan secara bergantian. Berikut ini adalah beberapa perbedaan utama dari perspektif filosofis:

1. Kebutuhan (Needs)

Definisi: Kebutuhan mengacu pada sesuatu yang esensial atau mutlak diperlukan untuk kelangsungan hidup, kesejahteraan, dan fungsi dasar manusia. Kebutuhan umumnya dianggap sebagai sesuatu yang universal, berlaku untuk semua manusia di berbagai konteks dan waktu. Contoh: Makanan, air, tempat tinggal, dan udara untuk bernapas adalah contoh kebutuhan dasar manusia. Dalam konteks psikologis, kebutuhan seperti rasa aman, cinta, dan harga diri juga dapat dianggap esensial untuk kesejahteraan individu. Sifatnya: Objektif dan mendasar. Kebutuhan sering dilihat sebagai sesuatu yang ha rus dipenuhi agar individu dapat bertahan hidup atau mencapai tingkat kesejahteraan dasar.

Aspek Filosofis: Filosof Immanuel Kant membedakan kebutuhan yang bersifat empiris (muncul dari pengalaman) dari kebutuhan rasional (muncul dari akal). Dalam filsafat eksistensialisme, kebutuhan sering kali dikaitkan dengan eksistensi manusia yang otentik dan keseimbangan antara keberadaan dan esensi.

2. Kepentingan (Interests)

Definisi: Kepentingan mengacu pada keinginan, preferensi, atau hal-hal yang dianggap berharga atau penting oleh individu atau kelompok. Kepentingan bisa sangat subjektif dan bervariasi antara orang, budaya, atau situasi tertentu. Contoh: Seseorang mungkin memiliki kepentingan dalam politik, seni, atau karier tertentu. Kepentingan ini tidak selalu mendasar bagi kelangsungan hidup, tetapi sangat penting bagi pengembangan diri atau pencapaian tujuan individu. Sifatnya: Subjektif dan kontekstual. Kepentingan dipengaruhi oleh budaya, pendidikan, pengalaman, dan nilai-nilai pribadi. Mereka bisa berubah seiring waktu dan situasi.

Aspek Filosofis: Dalam teori filsafat utilitarianisme (seperti yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham dan John Stuart Mill), kepentingan individu dihitung dalam upaya memaksimalkan kebahagiaan atau utilitas bagi masyarakat. Kepentingan juga sering dijelaskan dalam konteks politik oleh filsuf seperti John Rawls, yang membahas konsep keadilan sebagai keseimbangan kepentingan individu dalam masyarakat.

3. Dimensi Moral dan Etis

Kebutuhan: Secara moral, kebutuhan sering dianggap lebih mendesak dan lebih dasar daripada kepentingan. Tidak memenuhi kebutuhan dasar seseorang (misalnya, hak atas makanan atau air, gaji atau pendapatan) biasanya dianggap sebagai pelanggaran etis atau ketidakadilan.

Kepentingan: Kepentingan, di sisi lain, lebih fleksibel dan dapat diperdebatkan. Meskipun penting, kepentingan mungkin harus dinegosiasikan atau diimbangi dengan kepentingan orang lain dalam konteks sosial.

4. Peran dalam Kehidupan Sosial

Kebutuhan: Dianggap sebagai hal mendasar yang harus dipenuhi oleh individu atau masyarakat agar tercapai kesejahteraan dasar. Pemenuhan kebutuhan sering menjadi dasar dari hak-hak sosial dan ekonomi.

Kepentingan: Lebih terkait dengan preferensi dan ambisi individu atau kelompok yang bisa berbeda-beda. Dalam politik, kepentingan sering kali menjadi dasar bagi pengambilan keputusan dan perdebatan, serta untuk menentukan arah kebijakan.

Kesimpulan sementara yang dapat kita ambil adalah: Secara filsafat, kebutuhan mencerminkan sesuatu yang lebih objektif dan fundamental, yang harus dipenuhi untuk kelangsungan hidup dan kesejahteraan manusia. Kepentingan, sebaliknya, bersifat subjektif dan terkait dengan preferensi individu atau kelompok. Meskipun keduanya penting, kebutuhan cenderung memiliki prioritas moral yang lebih tinggi dalam banyak sistem etika dan filsafat manusia. Menjadi persoalan baru lagi manakala satu pihak menganggap itu kebutuhannya, sementara pihak lain menganggap itu kepentingannya; maka yang akan terjadi adalah konflik nilai atau konflik moral. Meskipun istilah khusus untuk konflik ini bisa bervariasi, secara umum ada beberapa konsep atau istilah yang digunakan untuk menggambarkan pertentangan antara kebutuhan dan kepentingan dalam filsafat dan etika:

1. Konflik Nilai (Value Conflict)

Definisi: Konflik nilai muncul ketika kebutuhan dasar (seperti hak hidup, hak atas kesehatan, atau hak mendapatkan perlindungan) bertentangan dengan kepentingan individu atau kelompok (misalnya kepentingan ekonomi, politik, atau pribadi). Ini adalah istilah umum untuk pertentangan antara dua atau lebih nilai yang dianggap penting. Contoh: Misalnya, kebijakan pemerintah yang fokus pada pembangunan ekonomi (kepentingan) bisa bertentangan dengan kebutuhan dasar masyarakat miskin yang membutuhkan akses terhadap makanan atau kesehatan.

2. Konflik Moral (Moral Conflict)

Definisi: Konflik moral terjadi ketika seseorang dihadapkan pada pilihan di mana memenuhi satu kebutuhan atau kepentingan berarti mengorbankan yang lain. Ini bisa melibatkan situasi di mana keputusan yang diambil akan memengaruhi kesejahteraan orang lain atau melibatkan prinsip moral yang berbeda. Contoh: Sebuah perusahaan mungkin memiliki kepentingan untuk meningkatkan keuntungan (kepentingan ekonomi), tetapi keputusan untuk mengurangi biaya dengan cara mengurangi upah pekerja bisa mengorbankan kebutuhan dasar pekerja (seperti kebutuhan akan upah yang layak).

3. Konflik Hak (Rights Conflict)

Definisi: Konflik hak terjadi ketika hak-hak individu atau kelompok tertentu (yang biasanya berkaitan dengan kebutuhan) berbenturan dengan kepentingan atau hak kelompok lain. Ini sering kali muncul dalam konteks hukum, politik, dan etika.  Contoh: Hak atas kebebasan berekspresi (kepentingan) bisa bertentangan dengan hak orang lain untuk hidup tanpa pelecehan atau penghinaan (kebutuhan akan keamanan emosional dan sosial).

4. Konflik Etis (Ethical Conflict)

Definisi: Konflik etis terjadi ketika individu atau kelompok dihadapkan pada keputusan yang melibatkan perbedaan antara apa yang benar (memenuhi kebutuhan dasar) dan apa yang dianggap menguntungkan atau penting (kepentingan). Ini sering muncul dalam dilema-dilema moral di mana tindakan yang memenuhi kebutuhan seseorang bisa mengorbankan kepentingan pihak lain, atau sebaliknya. Contoh: Dalam etika bisnis, perusahaan mungkin menghadapi dilema antara memaksimalkan keuntungan (kepentingan) dan memastikan kesejahteraan pekerja (kebutuhan).

5. Konflik Kepentingan (Conflict of Interest)

Definisi: Dalam beberapa kasus, istilah konflik kepentingan digunakan, terutama dalam konteks profesional atau politik, di mana ada benturan antara kepentingan pribadi atau kelompok tertentu dengan kebutuhan atau kepentingan publik. Contoh: Seorang pejabat publik mungkin memiliki kepentingan pribadi (misalnya keuntungan finansial dari suatu keputusan) yang berbenturan dengan kebutuhan masyarakat luas.

6. Dilema Sosial (Social Dilemma)

Definisi: Dalam konteks yang lebih luas, dilema sosial terjadi ketika ada konflik antara kepentingan individu atau kelompok dan kesejahteraan bersama atau kebutuhan publik. Situasi ini sering kali muncul dalam kebijakan publik, di mana kepentingan individu bertentangan dengan kebutuhan masyarakat secara keseluruhan. Contoh: Penggunaan sumber daya alam secara berlebihan demi keuntungan ekonomi jangka pendek (kepentingan) bisa merugikan lingkungan dan merusak kebutuhan generasi mendatang untuk mendapatkan sumber daya yang sama.

Dengan kata lain tidak ada satu istilah tunggal yang secara khusus dan eksplisit digunakan untuk merujuk pada konflik antara kebutuhan dan kepentingan, tetapi berbagai istilah di atas—seperti konflik nilai, konflik moral, dan konflik etis—sering digunakan dalam konteks yang melibatkan pertentangan antara apa yang dianggap sebagai kebutuhan dasar dan kepentingan tertentu.

Kondisi seperti ini bisa terjadi disemua lini kehidupan manusia, baik dia pejabat maupun rakyat, semua memiliki peluang untuk berada pada kedua posisi tadi. Sementara pihak ketiga tidak bisa berbuat banyak kecuali pernyataan saja yaitu “menyesalkan”, paling jauh dengan satu kata “turut prihatin”; atau komentar yang tidak menyelesaikan masalah, justru terkadang membuat masalah baru. Ketidakpahaman akan sesuatu yang seharusnya dipahami, juga memberikan peluang untuk terjadinya konflik antara kebutuhan dan kepentingan. Oleh sebab itu tidak salah jika ada adagium dari bahasa Jawa yang berkata “Sing waras ngalah”; terjemahan bebasnya Yang Waras mengalah, makna filosofisnya yang mereka memiliki jiwa besar akan ngalah, yang bukan berarti kalah, sebab ngalah pada konsep ini adalah sikap menang dengan caranya sendiri. Mereka yang bersikap seperti ini pada umumnya karena memiliki analisis kebutuhan dan analisis kepentingan yang matang dan terukur. Dan, tidak gegabah sertamerta bertindak jika hanya untuk kepentingan sesaat. (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Kawal Terus HBM, Jangan Sampai Pak Guru Gabut Karena Warisan Cucuk Cabut

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Semula, saya membaca berita di media yang kita baca ini tentang pencabutan hibah tanah kepada satu organisasi Islam. Awalnya, biasa-biasa saja, tidak menimbulkan “greget” untuk menyimaknya.

Namun, setelah pimrednya, HBM memilih kosakata judul untuk kebijakan hibah tanah itu dengan istilah “cucuk cabut”, saya akhirnya tertarik untuk mengkajinya. Ada apa gerangan?

Kilas balik sedikit, “kelakuan” pejabat kita yang terhormat kadang membuat sakit perut. Bagaimana tidak, ketika Kota Baru digagas dan dimulai pembangunannya era kepemimpinan Sjacroedin ZP.

Begitu pergantian kepala daerah estafet dari Sjachroedin ZP ke M. Ridho Ficardo langsung mangkrak hingga masa kepemimpinannya lima tahun. Bangunan-bangunan kantor rusak dan halamannya memblukar.

Begitu Ridho lengser digantikan Arinal Djunaidi yang “dekat” dengan Sjachroedin, alih-alih dilanjutkan pembangunannya, Kota Baru kembali tidur panjang dan makin menjadi bak Kota hantu.

Bahkan, ketika Covid-19, korban awal wabah tersebut dimakamkan di kawasan Kota Baru.

Sekarang, muncul ternyata lahan kota baru yang sudah dikapling-kapling era M. Ridho Ficardo buat stakeholder, termasuk ormas Islam terbesar, yakni NU, dicabut di era Arinal Djunaidi.

Ketika viral, petinggi yang berwenang berkilah kebijakan pencabutan bertujuan “penataan ulang”. Ada yang aneh, kenapa organisasi itu saja. Yang lain, Unila yang pernah memberikan gelar doktor kepada Arinal Djunaidi lancar jaya mendapatkan hibah tanah.

Kami sebagai rakyat menjadi bingung, bagaimana negeri ini mau maju jika dikelola dengan cara “menafikan yang dahulu”, dengan kata lain yang lalu biarkan berlalu, sekarang kita buat baru.

Pertanyaannya untuk apa ada lembaga Badan Perencanaan Daerah jika setiap pergantian pejabat selalu memutar film “Biarkan Musim Berganti” karya sutradara Wim Umboh.

Sementara jargon maju berkelanjutan tinggal di lapangan saat latihan baris berbaris.

Sedangkan Samsudin, pejabat gubernur saat ini yang ditunjuk dengan tugas utamanya adalah mempersiapkan pemilihan kepala daerah dapat warisan mengurus mengurus pekerjaan yang “salah urus”.

Pj gubernur yang seorang guru mau tak mau akan memanggil semua “siswa-siswanya” untuk dimintai keterangan guna menemukenali persoalan. Tentu saja, sang guru harus tetap mengedepankan urat sabarnya.

Dengan kepemimpinan yang seumur jagung, sang guru tentu tidak dapat mengurai semua persoalan yang telah bertahun kusut masai. Namun, terlihat, walau tak lama, Samsudin paling tidak telah berusaha agar akhiri masa tugasnya kelak ada torehan sejarah yang dibuat untuk daerah yang pernah membesarkannya.

Tinggal kami rakyat apakah juga akan menonton “Drama Korea” atau “Film India” ini? Entahlah, kami tidak mengetahui apa yang akan terjadi setelah berakhirnya masa tugas Samsudin dan digantikan kepala daerah definitif.

Namun, sebagai rakyat, kami hanya sangat berharap siappun pemenangnya dan apapun partainya, bagi kami yang penting jangan membuat kekusutan baru di atas kekusutan yang sudah ada.

Prioritaskanlah pembangunan jalan provinsi yang menjadi penghubung antarwilayah. Kami sudah capek melalui jalan kubangan, kami sudah capek dengan janji. Kami hanya perlu bukti akankah hari esok akan lebih baik dari hari ini.

Bisa dibayangkan pemimpinnya sibuk pindah ruang dan kursi untuk rapat dari hari kehari, sementara kami harus menari-nari setiap pergi diatas jalan yang lubang dan selokan sudah tidak ada pembeda lagi.

Terkadang, kami harus menahan malu dengan daerah sebelah yang pemimpinnya menjadi “raja jalanan” untuk memuluskan jalan antardaerahnya.

Sementara kami hanya melihat sang pemimpin terlihat peduli rakyat saat kampanye saja untuk kemudian setelah terpilih tak pernah muncul lagi.

Menyedihkan lagi, turun dari kursi kekuasaannya yang bersih hanya mejanya, sementara pekerjaannya disisakan untuk pengganti.

Hubungan antara “cucuk-cabut” dan “benang kusut” dari hasil penelusuran digital ditemukan informasi, meskipun kedua istilah ini tidak secara langsung terkait, dalam beberapa konteks, gaya kerja “cucuk cabut” bisa memperburuk situasi yang “benang kusut”.

Misalnya, pekerjaan yang dilakukan secara serampangan (cucuk cabut) dapat meninggalkan masalah yang belum selesai atau kurang terselesaikan dengan baik, sehingga menciptakan kekacauan yang sulit diatasi (benang kusut).

Selanjutnya keputusan cepat tanpa perencanaan matang bisa berakibat pada masalah yang semakin rumit di masa depan, seperti kebingungan dalam koordinasi atau konflik di tim.

Sebaliknya, “benang kusut” juga bisa menyebabkan seseorang bekerja dengan pola “cucuk cabut” sebagai upaya untuk keluar dari situasi yang membingungkan.

Kedua istilah ini bisa menjadi cerminan dari tantangan dalam dunia kerja dan kehidupan sehari-hari, baik terkait gaya kerja yang kurang terstruktur maupun masalah yang kompleks dan sulit dipecahkan atau sengaja dibuat sulit untuk agar tidak mudah dipecahkan.

Semoga Pak Guru PJ Gubernur Samsudin diberi kesehatan untuk mengurai benang kusut dan kerja cucuk cabut yang diwariskan kepadanya.

Semoga dengan waktu yang tersisa paling tidak bisa memberikan solusi yang solutif; tidak menimbulkan kekusutan baru dan cucuk cabut baru adalah target minimal paling tidak yang bisa dilakukan.

Kepada HBM terus kawal Pak Guru agar beliau merasa di sekolahnya sendiri. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Memiliki yang Bukan Milik Kita

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Menjelang dzhuhur semua aktivitas dihentikan karena akan mempersiapkan diri pergi ke Musholah. Namun siang itu ada hal yang tidak seperti biasa; suasana sepi bahkan cenderung senyap. Aktivitas perkuliahan yang biasanya ramai, hari itu tampak tidak ada kegiatan yang berarti. Namun diskusi batiniah saat itu sedang berjalan ramai, karena baru bertemu dengan penjaga kamar kecil yang berkata “hanya beda tanggal saja Prof, karena kita memiliki yang bukan milik kita”. Penggalan kalimat terakhir ini terasa ada sembilu yang ditarik dalam hati, karena itu membawa pesan langit yang hanya bisa dirasakan mereka yang memiliki dawai rasa yang sangat peka.

Sentuhan kalimat “karena kita memiliki yang bukan milik kita” jika direnungkan akan kita dapatkan bahwa: Pada dasarnya, kalimat ini mengundang kita untuk berpikir lebih dalam tentang apa arti memiliki, apa yang benar-benar kita miliki, dan bagaimana kita seharusnya hidup dalam dunia yang penuh dengan keterikatan terhadap hal-hal yang mungkin sebenarnya bukan milik kita.

Dalam filsafat, kalimat “memiliki yang bukan milik kita” dapat diinterpretasikan sebagai sebuah refleksi tentang kepemilikan, tanggung jawab, dan makna kehidupan. Beberapa makna yang bisa diambil dari perspektif ini adalah: Pertama, Keterikatan terhadap hal-hal sementara: Filsafat sering mengajarkan bahwa banyak hal yang kita anggap sebagai “milik” kita sebenarnya bersifat sementara. Misalnya, materi atau bahkan orang lain. Pada akhirnya, segala sesuatu bisa hilang, dan kita tidak benar-benar “memiliki” apapun secara abadi.

Kedua, Kehidupan sebagai pinjaman: Dari sudut pandang spiritual atau eksistensial, hidup dan segala yang ada di dalamnya mungkin dianggap sebagai sesuatu yang dipinjam atau titipan. Apa yang kita miliki, baik harta, waktu, atau kesempatan, bisa dianggap sebagai sesuatu yang harus kita kelola dengan bijak, bukan sesuatu yang benar-benar kita miliki.

Ketiga, Kepemilikan ilusi: Beberapa filsuf, seperti Jean-Paul Sartre dalam eksistensialisme, mungkin berpendapat bahwa manusia sering terjebak dalam ilusi kepemilikan—bahwa kita mencoba memproyeksikan diri kita ke dunia melalui objek-objek eksternal. Namun, hal ini justru bisa membuat kita terjebak dalam makna yang salah tentang eksistensi kita sendiri.

Keempat, Tanggung jawab moral: “Memiliki yang bukan milik kita” juga bisa merujuk pada tanggung jawab terhadap hal-hal yang berada di luar kendali kita atau tidak secara langsung “milik” kita, seperti lingkungan, komunitas, atau bahkan nilai-nilai moral. Dalam konteks ini, kita memiliki tanggung jawab untuk menjaga dan memelihara hal-hal yang mungkin tidak kita miliki secara pribadi tetapi memiliki dampak besar pada kehidupan kita dan orang lain.

Memiliki yang bukan milik kita dalam pandangan tasauf adalah sisi lain dari mencintai yang tidak mencintai. Karena dalam ajaran tasawuf, cinta bukan hanya tentang perasaan manusiawi, tetapi tentang sebuah cara untuk mendekatkan diri kepada Allah. Juga merupakan upaya melatih diri dalam kesabaran, keikhlasan, dan ketulusan yang membawa kepada kesadaran yang lebih tinggi tentang cinta yang hakiki.

Kepemilikan yang hakiki itu adalah manakala kita merasa tidak memiliki apa-apa, karena apa yang kita miliki itu sejatinya ada pemilik yang hakiki. Demikian halnya cinta yang sejati adalah cinta yang tidak memerlukan pengakuan, timbal balik, atau kepemilikan. Ini bisa menjadi jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah, yang dalam tasawuf dipandang sebagai sumber cinta yang sesungguhnya. kedua situasi tersebut dapat dilihat sebagai ujian yang membantu kita untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah dan melepaskan keterikatan pada dunia.

Memiliki yang bukan milik kita adalah sebuah ilusi kepemilikan, karena semua yang ada di dunia ini hakikatnya adalah milik Allah. Kesadaran bahwa kita hanya pengelola sementara membawa kita pada sikap zuhud. Mencintai yang tidak mencintai mengajarkan keikhlasan dan ketulusan. Cinta dalam tasawuf diarahkan pada Allah sebagai cinta yang murni dan sejati, yang tidak tergantung pada balasan atau pengakuan dari manusia. Secara umum, kedua konsep ini mengajarkan kita untuk tidak terlalu terikat pada dunia, baik dalam hal kepemilikan materi maupun cinta yang bersifat manusiawi, dan lebih fokus pada aspek spiritual yang lebih tinggi.

Sayangnya pada tataran aplikasi banyak pihak yang seharusnya menyadari akan tanggungjawabnya terhadap “kepemilikan”; ternyata mengingkari, atau paling tidak menganggap sepi akan kepemilikan itu. Bisa jadi penjaga toilet di atas merasakan kesepian akan kepemilikan itu; sehingga dia hanya bisa pasrah pada kalimat “bukan penundaan akan tetapi beda tanggal”. Semoga mereka yang berada pada posisi “beda tanggal” dalam keadaan sehat dan terus bersyukur akan karuniaNYA. Dan, bagi mereka yang berada pada posisi menunda tanggal, selalu mendapat jalan keluar dari persoalan yang mungkin sedang dihadapi. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Kemenpora Gelar Sosialisasi Penguatan Moderasi Beragama di Universitas Malahayati, Ajak Generasi Muda Bersikap Inklusif dan Kolaboratif

Bandar Lampung (Malahayati.ac.id): Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) melalui Deputi Bidang Pemberdayaan Pemuda menyelenggarakan acara Sosialisasi Penguatan Moderasi Beragama di kalangan pemuda, di Aula MCC Universitas Malahayati, Bandar Lampung, Kamis, 17 Oktober 2024. Acara tersebut dibuka oleh Deputi Bidang Pemberdayaan Pemuda, Prof. Dr. H. M. Asrorun Ni’am Sholeh, MA, yang sekaligus menjadi keynote speaker.

Rektor Universitas Malahayati sekaligus Anggota DPR RI Komisi X periode 2024-2029, Dr. H. Muhammad Kadafi, S.H., M.H., dalam sambutannya menyampaikan pandangan mendalam tentang pentingnya toleransi, kolaborasi, dan networking bagi generasi muda. Dr. H. Muhammad Kadafi menyoroti posisi Provinsi Lampung sebagai miniatur Indonesia, terutama karena sejarahnya sebagai daerah transmigrasi tertua di Indonesia.

“Lampung itu adalah miniatur Indonesia. Jika kita berkunjung ke wilayah Lampung Selatan, Lampung Tengah, dan Lampung Timur, kita akan menemukan pemukiman masyarakat Bali yang membuat suasananya hampir seperti di Bali. Sepanjang jalan, kita bisa melihat pura dan budaya yang mencerminkan kehidupan masyarakat Bali,” ujar Rektor Kadafi.

Selain itu, Rektor Kadafi menekankan keberagaman masyarakat di Lampung yang terdiri dari berbagai suku bangsa. Menurutnya, generasi muda harus mampu hadir dengan memberikan toleransi yang luar biasa serta mampu berkolaborasi dalam memberikan kontribusi baik dari segi pemikiran maupun kerja keras untuk bangsa dan negara.

Di tengah arus globalisasi yang bergerak cepat, Rektor Kadafi menekankan pentingnya kolaborasi. “Dengan kemajuan teknologi informasi, komunikasi menjadi sangat intens dan mudah dilakukan. Kita harus berpikir cerdas, bagaimana kita bisa maju bersama melalui kolaborasi,” ungkapnya.

Menurut Rektor Kadafi, moderasi beragama juga menjadi isu yang sangat penting di era ini. Ia mencontohkan negara-negara di Timur Tengah, termasuk Arab Saudi, yang kini lebih terbuka untuk berkolaborasi dengan masyarakat global. “Generasi muda harus membangun networking yang kuat, karena dari situ kita bisa menemukan peluang dan mengatasi tantangan di masa depan,” tambahnya.

Kadafi juga menyoroti sektor pariwisata Lampung yang sedang berkembang pesat, menjadi arus ekonomi baru di provinsi tersebut. Berdasarkan target Kementerian Pariwisata, Lampung diproyeksikan akan menerima wisatawan hingga dua kali lipat jumlah penduduknya. “Jumlah penduduk Lampung sekitar 10 juta, sementara target wisatawan tahun ini mencapai 23 juta. Ini artinya jumlah wisatawan yang berkunjung ke Lampung dua kali lipat dari jumlah penduduknya,” jelas Kadafi. Ia mengajak generasi muda untuk menyambut keberagaman para wisatawan dengan sikap terbuka dan menjadikan keberagaman sebagai kekuatan yang luar biasa.

Menutup sambutannya, Rektor Kadafi mengajak para pemuda untuk memanfaatkan setiap peluang yang ada, baik itu di bidang kewirausahaan maupun pendidikan. “Hari ini kita duduk bersama dalam acara ini, kita berbagi pengalaman, peluang, dan kesempatan. Ini adalah momentum luar biasa untuk memperluas networking kita. Dengan jaringan yang kuat, kita tidak hanya akan tumbuh dalam hard skill, tetapi juga akan berkembang dalam soft skill yang dibutuhkan untuk meraih kesuksesan,” pungkas Kadafi.

Sedangkan, Deputi Bidang Pemberdayaan Pemuda Kementerian Pemuda dan Olahraga, Prof. Dr. H. M. Asrorun Ni’am Sholeh, MA., selaku Keynote Spekaer menekankan pentingnya membangun cara pandang yang inklusif untuk menghadapi perubahan sosial, ekonomi, dan budaya di era globalisasi. Menurutnya, menjadi besar dan berpengaruh tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan harus melalui upaya membangun relasi kehidupan yang terbuka dan kolaboratif.

“Jika kita membangun relasi dari awal dengan cara yang kompetitif, protektif, bahkan reaktif, kita justru akan cenderung menutup diri. Setiap ada hal baru, kita merasa terancam, baik itu dalam bidang ekonomi, sosial, maupun keagamaan. Padahal, kita harus membongkar cara pandang eksklusif ini dan menggantinya dengan inklusivitas, sebagai prasyarat penting untuk kehidupan yang plural dan beragam,” ujar Asrorun.

Ia mengingatkan peserta bahwa dunia saat ini semakin “borderless” atau tanpa batas, baik dalam bidang sosial, ekonomi, maupun budaya. Hal ini terlihat dari bagaimana negara-negara Timur Tengah, termasuk Arab Saudi, yang kini membuka diri untuk berkolaborasi dengan dunia internasional. “Generasi muda harus menyadari bahwa kolaborasi, bukan kompetisi, adalah kunci sukses di masa depan. Negara-negara yang membuka diri justru akan lebih maju,” tambahnya.

Dalam konteks menuju Indonesia Emas 2045, Asrorun menjelaskan bahwa tantangan utama bagi generasi muda saat ini adalah mengubah mindset atau cara berpikir mereka. Dengan waktu yang terbatas—hanya sekitar 21 tahun lagi menuju tahun 2045—generasi muda harus mulai mempersiapkan diri dari sekarang.

“Jika sekarang kalian berusia 20 tahun, maka pada saat Indonesia mencapai 100 tahun kemerdekaannya, usia kalian akan 41 tahun. Lihatlah contoh Dr. Muhammad Kadafi, Rektor Universitas Malahayati, yang sudah menjadi anggota DPR dan memimpin kampus sebesar ini pada usia yang masih muda. Apa yang kalian persiapkan untuk menyambut Indonesia Emas?” tanyanya kepada peserta.

Asrorun juga menjelaskan bahwa peta jalan untuk mencapai Indonesia Emas sudah ditetapkan melalui Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) hingga tahun 2045. Namun, posisi generasi muda dalam peta itu sangat tergantung pada cara pandang mereka terhadap perubahan yang terjadi saat ini.

“Mindset kalian menentukan posisi kalian di masa depan. Apakah kalian akan menjadi pelopor dan trendsetter? Atau hanya akan menjadi pengikut dan bahkan penghalang kemajuan? Jika kita hanya menjadi penonton, kapan kita akan menjadi subjek perubahan?” kata Asrorun, mengajak generasi muda untuk berani mengambil peran aktif.

Ia juga mengingatkan bahwa dalam era yang semakin kompetitif ini, pendekatan kolaboratif harus lebih diutamakan daripada bersaing secara sempit. Asrorun mencontohkan bagaimana dalam perdagangan global, produk yang dibuat di Vietnam hari ini, bisa berada di meja makan kita esok hari. Dalam dunia yang serba terbuka, kolaborasi menjadi faktor kunci untuk bertahan dan sukses.

Prof. Dr. Asrorun juga menjelaskan bahwa dalam relasi sosial yang terus berubah, inklusivitas menjadi syarat utama untuk tetap relevan. Ia menyoroti pentingnya generasi muda membangun jejaring yang luas dan membuka diri terhadap ide-ide baru.

“Kita hidup di dunia yang terhubung. Relasi sosial dan ekonomi sudah melewati batas negara. Kita tidak bisa lagi berlindung di balik tembok proteksi, melainkan harus siap bersaing secara terbuka dan berkolaborasi,” jelasnya.

Menurut Asrorun, generasi muda tidak boleh hanya fokus pada kompetisi semata, tetapi harus memahami bahwa kolaborasi adalah jalan untuk maju di era global ini. “Mindset kolaboratif ini harus menjadi pegangan dalam menghadapi tantangan masa depan, baik dalam bidang ekonomi, sosial, maupun budaya,” pungkasnya.

Para panelis memberikan perspektif beragam terkait moderasi beragama. KH. Hasan Errezha, Ketua Himpunan Ekonomi Bisnis Pesantren (HEBITREN) Lampung, membahas peran pesantren dalam penguatan moderasi beragama. Hasintya Saraswati, Staf Khusus Menpora Bidang Percepatan Inovasi Pemuda dan Olahraga, menekankan pentingnya pemuda dalam menjaga keseimbangan dan harmoni dalam beragama.

Sedangkan, Riski Gunawan, MPd, Fasilitator Nasional PMB Lampung, menutup sesi diskusi dengan menyampaikan definisi dan kebijakan terkait moderasi beragama yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 58 Tahun 2023 tentang Penguatan Moderasi Beragama. (*)

 

Editor : Asyihin