Mahasiswa Universitas Malahayati Ciptakan Puding dan Bakso Daun Kelor untuk Pencegahan Stunting di Pekon Dadisari

TANGGAMUS (malahayati.ac.id): Mahasiswa Universitas Malahayati Kelompok 32 KKL-PPM melaksanakan program inovasi pangan sehat di Pekon Dadisari, Kecamatan Wonosobo, Kabupaten Tanggamus, dengan membuat makanan tambahan berupa puding dan bakso berbahan dasar daun kelor. Program ini ditujukan sebagai langkah pencegahan stuntin g sekaligus pemberdayaan masyarakat melalui pemanfaatan pangan lokal. Rabu (20/8/2025).

Ketua Kelompok KKL, Juli Firmanto, menjelaskan bahwa kegiatan ini merupakan bagian dari program kerja yang berfokus pada pemanfaatan bahan pangan lokal yang bergizi tinggi. “Daun kelor memiliki kandungan gizi yang luar biasa. Kami ingin mengajak masyarakat untuk mengolahnya menjadi makanan tambahan yang disukai anak-anak, sehingga bisa membantu mencegah stunting sejak dini,” ujarnya.

Kegiatan ini bertujuan antara lain: Meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi seimbang untuk tumbuh kembang anak. Memberdayakan ibu-ibu agar mampu mengolah bahan lokal bergizi secara mandiri. Mencegah stunting sejak dini, khususnya pada anak-anak dan balita yang berada dalam masa pertumbuhan emas (golden age).

Selain praktik langsung pembuatan puding dan bakso daun kelor, mahasiswa juga memberikan penyuluhan tentang manfaat gizi kelor dan cara pengolahannya agar dapat diterapkan sehari-hari. Kegiatan ini mendapat sambutan positif dari warga, terutama kalangan ibu-ibu, yang menilai inovasi ini praktis, sehat, dan mudah diaplikasikan di rumah.

Melalui program ini, Kelompok 32 KKL-PPM Universitas Malahayati berharap masyarakat Pekon Dadisari dapat terus memanfaatkan potensi pangan lokal sebagai upaya berkelanjutan dalam meningkatkan kesehatan anak-anak dan mencegah stunting. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Mahasiswa Universitas Malahayati Sosialisasikan Stunting dan Dapur Sehat, Berikan Edukasi Ibu-ibu Olah Bahan Murah Jadi Bergizi

TANGGAMUS (malahayati.ac.id): Mahasiswa Kuliah Kerja Lapangan-Partisipasi Pemberdayaan Masyarakat (KKL-PPM) Universitas Malahayati menyelenggarakan acara sosialisasi pencegahan stunting, dapur sehat, dan edukasi makanan bergizi. Kegiatan ini dalam rangka mengatasi permasalahan stunting dan meningkatkan pemahaman masyarakat tentang gizi,

Acara yang berlangsung pada Selasa, 12 Agustus 2025 di Balai Desa Pekon Gunung Tiga, Kecamatan Ulubelu itu dihadiri puluhan peserta dari berbagai kalangan, termasuk orang tua dari anak yang terdampak stunting. Kegiatan yang dijalankan oleh Kelompok 58 KKL-PPM Universitas Malahayati ini diikuti dengan antusias oleh 45 orang peserta.

Acara ini menjadi semakin relevan mengingat data dari bidan setempat yang menyebutkan terdapat 7 keluarga di pekon tersebut yang memiliki anak terdampak stunting. Fakta ini mempertegas pentingnya intervensi melalui edukasi gizi yang masif. Tidak hanya berisi pemaparan materi, acara juga diisi dengan demonstrasi langsung pembuatan makanan bergizi tinggi dengan bahan-bahan terjangkau.

Para peserta, terutama orang tua dari anak stunting, terlihat sangat antusias mengikuti sesi praktik ini. Silvia Ika Damayanti, ketua pelaksana, mengatakan, melalui kegiatan ini, pihaknya tidak hanya menyampaikan teori, tetapi juga pendekatan yang empatik.

Ia menjelaskan, di tengah-tengah peserta, hadir ibu-ibu yang sedang berjuang untuk anak-anak mereka. Data dari bidan tentang 7 keluarga dengan anak stunting menjadi perhatian serius.

”Kami perkenalkan konsep isi piringku dan bagaimana memanfaatkan bahan lokal yang murah meriah untuk pemulihan dan pencegahan stunting,” ujarnya.

Ia menambahkan, Kelompok 58 berkomitmen untuk tidak berhenti pada sosialisasi saja.

Ke depannya, pihaknya berharap dapat melakukan pendampingan lebih intensif khususnya bagi keluarga yang terdampak.

Seluruh peserta terlihat aktif selama sesi tanya jawab dan demonstrasi masak. Beberapa orang tua yang memiliki anak stunting secara khusus menyampaikan apresiasi terhadap kegiatan ini. Seorang peserta mengatakan ia memiliki anak yang tergolong stunting dan selama ini merasa sangat kesulitan.

Acara seperti ini sangat membuka wawasannya bahwa dengan bahan sederhana dan bujet terbatas, bisa memberikan yang terbaik untuk pemulihan anak.

”Terima kasih untuk mahasiswa yang sudah membawa ilmu sangat bermanfaat ini,” tutur peserta itu.

Keberhasilan acara ini diharapkan menjadi titik awal untuk program berkelanjutan. Para mahasiswa KKL-PPM juga mendorong terbentuknya kelompok pendamping khusus untuk keluarga dengan anak stunting agar pemantauan gizi dapat dilakukan secara lebih intensif. Kegiatan ini ditutup dengan pembagian booklet resep makanan bergizi dan nasi bento bergizi, sebagai bentuk dukungan nyata bagi keluarga, khususnya 7 keluarga yang terdampak stunting.

(gil)

Editor: Gilang Agusman

Mahasiswa Universitas Malahayati Gelar Sosialisasi PHBS di Pekon Sampang Turus, Wujudkan Lingkungan Bersih, Sehat, dan Harmonis Bersama DLH Tanggamus

TANGGAMUS (malahayati.ac.id): Mahasiswa Kuliah Kerja Lapangan – Pengabdian Pada Masyarakat (KKL-PPM) Universitas Malahayati Bandar Lampung terus menunjukkan kepeduliannya terhadap kesehatan dan kebersihan lingkungan masyarakat. Kelompok 48 KKL-PPM menggelar kegiatan Sosialisasi Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dengan tema BERSIH di Balai Desa Pekon Sampang Turus, Kecamatan Wonosobo, Kabupaten Tanggamus. Kegiatan ini terlaksana berkat kerja sama dengan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Tanggamus. Rabu (20/8/2025).

Sosialisasi ini bertujuan meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai pentingnya menjaga kebersihan diri, lingkungan sekitar, serta menerapkan pola hidup sehat sehari-hari. Selain itu, masyarakat juga diajak untuk menyadari bahaya penyakit yang dapat timbul akibat perilaku hidup yang kurang sehat.

Dalam sambutannya, Kepala Pekon Sampang Turus, Marhawi, menyampaikan apresiasi dan rasa terima kasih kepada mahasiswa Universitas Malahayati dan DLH Tanggamus.

“Kami sangat berterima kasih atas kegiatan ini. Sosialisasi seperti ini penting agar warga semakin sadar akan pentingnya kebersihan dan kesehatan dalam kehidupan sehari-hari,” ungkapnya.

Sementara itu, Ketua KKL-PPM Kelompok 48, Agung Berlian, menekankan bahwa kegiatan BERSIH diharapkan menjadi momentum bersama untuk membangun kesadaran kolektif menjaga lingkungan.

“Melalui kegiatan ini, kami ingin mengajak masyarakat untuk bersama-sama menciptakan lingkungan yang sehat, nyaman, dan harmonis. Salah satunya dengan mengelola sampah dengan baik agar tidak menimbulkan masalah kesehatan maupun pencemaran lingkungan,” ujarnya.

Pada kesempatan tersebut, perwakilan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Tanggamus memberikan materi tentang PHBS dengan menekankan konsep 3R (Reduce, Reuse, Recycle):
• Reduce: mengurangi penggunaan barang-barang sekali pakai yang berpotensi menjadi sampah.
• Reuse: menggunakan kembali barang yang masih layak pakai.
• Recycle: mendaur ulang sampah menjadi produk baru yang bermanfaat.

Pihak DLH juga mengingatkan bahwa pengelolaan sampah sebaiknya dimulai dari skala terkecil, yaitu rumah tangga, sekolah, hingga lingkungan masyarakat. Dengan demikian, budaya hidup bersih dapat tumbuh secara berkesinambungan.

Sebagai tindak lanjut nyata, mahasiswa KKL-PPM bersama warga melaksanakan gotong royong di tiga dusun yang ada di Pekon Sampang Turus. Lingkungan sekitar Balai Desa, saluran pembuangan, hingga area pemukiman menjadi sasaran utama pembersihan. Dalam kegiatan ini, mahasiswa juga meletakkan drum kaleng sampah besar di setiap dusun sebagai simbol kepedulian terhadap kebersihan dan sebagai sarana masyarakat dalam mengelola sampah.

Kegiatan berlangsung dengan penuh semangat. Warga terlihat antusias mengikuti rangkaian acara, mulai dari sosialisasi hingga aksi bersih-bersih bersama. Kekompakan ini menunjukkan adanya kepedulian dan kesadaran kolektif masyarakat untuk menjaga lingkungan agar tetap sehat, bersih, dan harmonis.

Dengan terlaksananya kegiatan ini, diharapkan masyarakat Pekon Sampang Turus dapat menjadi contoh bagi daerah lain dalam membiasakan perilaku hidup bersih dan sehat, serta mengelola lingkungan dengan lebih bijak. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Penghasilanmu, Penghasilanku Juga

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Selesai waktu ashar, ada pesan masuk. Ternyata kiriman tulisan dari seorang sahabat jurnalis senior di negeri ini, yang isinya menggugat ketimpangan pendapatan antara anggota parlemen dan pejabat negeri, dengan rakyat kebanyakan. Sementara, pendapatan mereka itu sebenarnya adalah hasil pajak yang diperoleh dari setiap denyut kehidupan rakyat. Tidak igin memperkeruh suasana, tulisan ini akan melihat persoalan yang sama, tetapi dari sudut pandang yang berbeda; yaitu dari filsafat kontemporer, dengan judul di atas.

John Rawls, dalam karyanya “A Theory of Justice”, memperkenalkan prinsip keadilan sebagai fairness. Ia membayangkan situasi ideal di mana semua individu menyusun aturan dasar masyarakat dari posisi yang disebutnya original position, di balik veil of ignorance atau tirai ketidaktahuan tentang posisi mereka di masyarakat. Dalam kondisi ini, tak seorang pun tahu apakah ia akan lahir kaya, miskin, pejabat, atau rakyat jelata. Dari situasi tersebut, Rawls berpendapat bahwa prinsip-prinsip keadilan yang dihasilkan akan menjamin kebebasan yang setara dan distribusi sumber daya yang adil.

Namun, dalam realitas hari ini, prinsip itu justru dilanggar secara sistemik. Para pejabat dan elit politik menetapkan kebijakan yang menguntungkan diri mereka sendiri, karena mereka tidak berada di balik tirai ketidaktahuan, tetapi sepenuhnya sadar akan posisi mereka dalam piramida kekuasaan. Mereka menyusun aturan main untuk mempertahankan hak istimewa, bukan demi keadilan bagi yang paling miskin. Maka dari itu, jika dinilai dari prinsip Rawls, struktur sosial ekonomi kita saat ini gagal memenuhi keadilan sebagai fairness.

Michel Foucault, melalui konsep biopolitik, mengajukan gagasan bahwa kekuasaan modern tidak lagi bekerja hanya melalui represi atau kekerasan fisik, melainkan melalui kontrol atas kehidupan itu sendiri. Dan termasuk didalamnya pengelolaan populasi, kebijakan kesehatan, ekonomi, dan pajak. Dalam konteks di mana pajak yang diambil dari hampir setiap aktivitas ekonomi rakyat dapat dibaca sebagai bentuk kontrol biopolitik. Negara tidak sekadar mengatur, tetapi menyerap kehidupan warganya untuk menopang kelangsungan elite yang mengatur.

Foucault juga mengkritik bagaimana wacana kerap digunakan untuk melegitimasi ketimpangan. Ketika pemerintah berbicara soal “tunjangan untuk kinerja pejabat” atau “kenaikan gaji sebagai bentuk apresiasi”, itu bukan sekadar argumen teknis, melainkan bagian dari konstruksi wacana kekuasaan. Wacana ini menutupi fakta bahwa sebagian besar pejabat justru tidak menunjukkan produktivitas yang sebanding dengan fasilitas yang mereka nikmati.

Slavoj Žižek, filsuf kontemporer yang dikenal dengan pendekatan psikoanalitik-Marxis, menunjukkan bahwa ideologi bukan hanya sistem keyakinan palsu, melainkan cara bagaimana masyarakat tetap terjebak dalam sistem ketidakadilan sambil tetap percaya bahwa mereka bebas. Dalam konteks ini, rakyat terus-menerus diminta untuk patuh membayar pajak, bekerja keras, dan menerima hidup sederhana, sementara pejabat diberi legitimasi untuk menikmati kekayaan atas nama jabatan.

Menurut Žižek, masyarakat modern hidup dalam apa yang disebutnya sebagai cynical reason; yaitu mereka tahu sistem ini tidak adil, tetapi tetap ikut serta karena merasa tidak ada alternatif. Rakyat tahu bahwa pajak mereka lebih banyak digunakan untuk membiayai gaya hidup elite daripada untuk kesejahteraan publik, tetapi karena merasa tak berdaya, mereka melanjutkan kehidupan seperti biasa. Inilah bentuk tertinggi dari ideologi: ketika pengetahuan tentang ketidakadilan justru tidak mengarah pada perlawanan, tetapi pada normalisasi, atau sesuatu yang dianggap biasa-biasa saja.

Jacques Rancière berpendapat bahwa politik sejati adalah tentang demos, yaitu suara mereka yang tidak diakui. Ia membedakan antara politik dan polisi. Politik sejati terjadi ketika ada gangguan terhadap tatanan yang mapan dan suara kaum tertindas dimunculkan. Sementara itu, polisi adalah sistem yang menjaga ketertiban sosial yang ada, termasuk melalui pengaturan siapa yang boleh berbicara dan siapa yang harus diam.

Dalam sistem politik dewasa ini, yang terjadi lebih banyak adalah police order ketimbang politik sejati. Rakyat dipaksa diam dengan dalih “pemerintah sudah bekerja keras” atau “APBN sudah disusun sesuai prosedur hukum”. Padahal, suara protes rakyat; misalnya terhadap kenaikan pajak, tarif listrik, atau harga BBM, hal itu dianggap mengganggu stabilitas. Suara mereka diredam, dan distribusi ekonomi tetap dikuasai oleh segelintir orang yang menyusun “aturan main”. Rancière menyebut ini sebagai “partage du sensible”, yaitu pembagian realitas sosial yang membuat suara sebagian orang menjadi tidak terdengar.

Jika dalam teori klasik pajak adalah kontribusi warga negara untuk pembiayaan negara, maka dalam praktik kontemporer, pajak sering kali menjadi alat untuk mempertahankan ketimpangan. Dalam sistem yang timpang, pajak bersifat regresif; artinya, beban relatifnya lebih berat bagi yang miskin daripada yang kaya. Pajak PPN misalnya, yang dikenakan pada semua barang konsumsi, menekan penghasilan kelas bawah lebih besar dibanding kelas atas. Bahkan ketika pemerintah memberikan insentif atau tax holiday kepada investor besar, rakyat kecil tidak mendapat keringanan serupa. Inilah bentuk eksploitasi struktural yang dikritik para pemikir kontemporer, sebab sistem ini secara legal sah, tetapi secara moral cacat.

Jean Baudrillard mengembangkan konsep simulakra, yaitu ketika realitas digantikan oleh representasi yang pura-pura nyata. Dalam konteks sistem pemerintahan dan ekonomi kita, tunjangan pejabat dan kebijakan fiskal sering dibungkus dengan jargon “kesejahteraan rakyat”, “penguatan institusi”, atau “efisiensi birokrasi”. Namun semua itu hanyalah representasi kosong, dan itulah simulakra; yang tidak merepresentasikan realitas sebenarnya.

Misalnya, ketika pejabat menerima tunjangan perumahan ratusan juta rupiah, narasi yang dibangun adalah “agar mereka fokus bekerja tanpa memikirkan kebutuhan dasar”. Namun kenyataannya, banyak dari mereka tetap korup dan tidak efisien. Kesejahteraan rakyat hanya menjadi citra, bukan tujuan yang sungguh-sungguh diperjuangkan.
Di balik retorika pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kondisi bangsa ini sedang tidak baik-baik saja.

Jurang antara kaya dan miskin terus melebar. Laporan ketimpangan terbaru menunjukkan bahwa 1% kelompok terkaya di negeri ini menguasai lebih dari separuh kekayaan nasional, sementara jutaan rakyat hidup dalam kondisi rentan: tanpa jaminan sosial, tanpa pekerjaan tetap, dan tanpa akses memadai terhadap pendidikan atau layanan kesehatan.

Sementara itu, sistem representasi politik semakin dikendalikan oleh oligarki. Partai-partai politik dikuasai oleh elite yang sama, yang saling bertukar kursi kekuasaan, memonopoli sumber daya, dan menumpuk tunjangan dengan alasan “tugas negara”. Rakyat, yang seharusnya menjadi subjek utama dalam demokrasi, justru terpinggirkan menjadi objek kebijakan, bahkan objek pungutan.

Dari perspektif filsafat kontemporer, ketimpangan antara pejabat dan rakyat bukan sekadar soal ekonomi, tetapi soal etika, kekuasaan, ideologi, dan pengakuan. Negara yang dibangun dari jerih payah rakyat tidak boleh menjadi alat eksploitasi bagi segelintir elite. Keadilan sejati hanya akan hadir ketika struktur penghasilan, distribusi pajak, dan pengelolaan negara didesain untuk melayani yang paling lemah, bukan yang paling kuat. Penghasilanmu, penghasilanku juga bukan lagi sekadar sindiran, tetapi deklarasi untuk mengembalikan makna keadilan sosial dari tangan birokrasi yang telah kehilangan empatinya. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Manusia di Tengah Dua Pilihan AI

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Beberapa waktu lalu, setelah meluncurkan satu artikel berkaitan dengan penggugatan ontologi era digital, dari seberang sana ada seorang doktor pendidikan yang kebetulan menjadi pejabat teras berkomentar bagaimana jika Artificial Intelligence (AI) dihadapkan dengan Anugerah Illahi (AI). Keduanya memiliki akronim yang sama, namun makna yang berbeda. Karena beliau sering menjumpai hal yang paradoks dalam keseharian menghadapi persoalan manusia. Tentu diskusi itu menjadi menarik, dan tulisan ini mencoba membahas dari sudut pandang filsafat kontemporer.

Dua kekuatan besar menyertai perjalanan manusia di abad ke-21: perkembangan Artificial Intelligence (AI) dan keyakinan terhadap realitas spiritual, yang sering disebut sebagai Anugerah Ilahi (AI). Kedua bentuk “AI” ini, meskipun sama dalam akronim, namun menggambarkan dua dimensi yang berbeda secara mendasar: yang satu bersifat teknologis dan buatan, yang lain bersifat spiritual dan tak terpahami.

Filsafat kontemporer, sebagai medan refleksi atas realitas masa kini, memberikan lensa penting untuk memahami posisi manusia di tengah kedua bentuk AI ini. Dalam ruang yang makin kompleks antara mesin dan makna, manusia dihadapkan pada pilihan-pilihan etis dan ontologis yang menentukan masa depannya sendiri.

Tulisan ini akan mencoba menelaah bagaimana filsafat kontemporer memaknai posisi manusia dalam persimpangan antara Artificial Intelligence dan Anugerah Ilahi, serta menyajikan refleksi tentang bagaimana pilihan manusia akan menentukan arah peradaban.

Dalam dekade terakhir, Artificial Intelligence telah menjadi kekuatan dominan dalam hampir semua aspek kehidupan: ekonomi, komunikasi, pertahanan, pendidikan, bahkan seni. Chatbot, robot medis, sistem prediksi kejahatan, dan personalisasi iklan adalah wujud konkret dari Artificial Intelligence dalam kehidupan sehari-hari. Filsuf teknologi seperti Martin Heidegger telah lama mengingatkan bahwa teknologi bukan sekadar alat (instrumental view), tetapi suatu cara manusia mengungkap realitas.

Dalam “The Question Concerning Technology”, Heidegger menyebut teknologi modern sebagai Gestell atau cara “mengatur” dunia agar bisa dieksploitasi. Dalam logika ini, manusia sendiri tak luput dari proses objektifikasi: menjadi data, statistik, atau target iklan.

AI seolah mencerminkan logika modernitas yang menempatkan rasionalitas instrumental di atas pengalaman eksistensial. Ini menimbulkan pertanyaan: apakah kita sedang menciptakan alat yang membantu manusia, atau menciptakan sistem yang menggantikan peran manusia?

Di sisi lain, Anugerah Ilahi adalah konsep yang melampaui logika sebab-akibat. Ia tidak dapat direduksi menjadi sistem, program, atau algoritma. Dalam filsafat religius dan eksistensial, anugerah adalah pemberian tak bersyarat dari Yang Transenden kepada manusia; sebuah pengalaman spiritual yang menyentuh inti terdalam dari eksistensi.
Emmanuel Levinas, dalam pemikirannya tentang “Yang Lain” (the Other), menyatakan bahwa etika muncul bukan dari sistem, tetapi dari perjumpaan dengan yang tak dapat direduksi. Jean-Luc Marion, dalam “Being Given”, menggambarkan anugerah sebagai bentuk donasi radikal, yaitu pemberian yang tidak bisa dikontrol atau diprediksi.

Anugerah ilahi mencerminkan dimensi personal, relasional, dan kontemplatif yang tidak dapat disimulasikan. Kehadirannya menyadarkan manusia bahwa ia bukan pusat dari segalanya, dan sebuah koreksi atas narasi manusia modern yang terlalu percaya pada kemampuan teknologinya. Oleh sebab itu, salah satu persoalan besar yang muncul dari Artificial Intelligence adalah tanggung jawab etis. Siapa yang harus bertanggung jawab ketika AI menyebabkan kerugian. Apakah kesalahan terletak pada algoritma, programmer, atau institusi?

Filsuf moral kontemporer seperti Luciano Floridi dan Nick Bostrom menyoroti perlunya ethics by design; yakni bagaimana etika bisa ditanamkan ke dalam sistem AI. Namun ini menghadapi tantangan besar, karena sistem AI beroperasi secara otonom dan bisa belajar (machine learning), yang membuatnya tak sepenuhnya dapat dikontrol. Sebagai contoh, kendaraan otonom yang harus memilih antara menabrak seorang tua atau anak kecil. AI harus mengambil keputusan moral dalam sepersekian detik. Namun keputusan itu tidak berasal dari pertimbangan nilai, melainkan dari kalkulasi risiko. Di sini, kita melihat keterbatasan etika algoritmis.

Ontologi bertanya tentang “apa itu yang ada.” Dalam konteks Artificial Intelligence, muncul krisis ontologis: apakah manusia hanyalah kumpulan data dan respon neural, atau makhluk yang memiliki jiwa dan relasi dengan Yang Ilahi?. Filsuf seperti Byung-Chul Han mengkritik bagaimana masyarakat digital hari ini menghilangkan kedalaman.

Dalam “The Transparency Society dan Psychopolitics”, ia menyebut bahwa manusia modern hidup dalam tekanan untuk selalu produktif, transparan, dan terhubung. AI mempercepat proses ini, dan membuat hidup terasa datar dan seragam. Tanpa relasi spiritual, manusia kehilangan kedalaman eksistensialnya. Ia menjadi homo algorithmicus, yaitu makhluk yang hidup berdasarkan pola data dan prediksi. Dalam kondisi ini, pertanyaan tentang makna, penderitaan, dan cinta menjadi tidak relevan. Sebaliknya, Anugerah Ilahi membuka ruang untuk misteri, keheningan, dan pertanyaan eksistensial. Ia mengakui bahwa manusia tidak bisa dijelaskan sepenuhnya oleh ilmu atau logika.
Salah satu fenomena menarik adalah munculnya praktik spiritual berbasis AI.

Aplikasi meditasi berbasis AI, chatbot yang menawarkan nasihat spiritual, bahkan “AI prophets” mulai bermunculan. Di Jepang, kuil Buddha telah menggunakan robot pendeta untuk memimpin doa. Jean Baudrillard dalam “Simulacra and Simulation” menjelaskan bahwa dalam masyarakat postmodern, tanda-tanda bisa menggantikan realitas itu sendiri. AI bisa menciptakan ilusi kehadiran spiritual, tapi tidak bisa menghadirkan realitas rohani itu sendiri. Simulasi spiritualitas adalah bentuk pengganti yang tidak memiliki kedalaman.

Ia menenangkan tetapi tidak menyelamatkan. Ia memberikan jawaban tetapi tidak memberikan makna.
Di tengah gempuran AI, manusia memiliki pilihan: apakah akan tunduk pada sistem, atau kembali menemukan identitas spiritualnya? Oleh karena itu, filsafat eksistensial mengajarkan pentingnya otentisitas. Jean-Paul Sartre menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang “dikutuk untuk bebas” oleh sebab itu ia harus memilih, dan bertanggung jawab atas pilihannya. Dalam dunia yang semakin otomatis, tantangan terbesar adalah mempertahankan kebebasan untuk menjadi manusia sejati. Anugerah

Ilahi menawarkan ruang untuk kebebasan ini. Ia tidak memaksa, tidak mengotomatisasi. Ia mengundang manusia untuk masuk ke dalam relasi yang menghidupkan, bukan sistem yang mengendalikan. Kehilangan makna ini bukan sekadar krisis ekonomi, tetapi krisis spiritual. Manusia tidak hanya butuh bekerja untuk hidup, tetapi juga butuh merasa bahwa hidupnya bermakna. Anugerah Ilahi menegaskan bahwa nilai manusia tidak ditentukan oleh produktivitasnya, tetapi oleh relasinya dengan Yang Transenden.

Filsafat kontemporer tidak menolak teknologi. AI bisa menjadi alat yang luar biasa untuk kemanusiaan, namun jika digunakan secara bijak. Namun, kita perlu menyadari bahwa tidak semua hal bisa atau seharusnya diserahkan kepada AI. Artificial Intelligence harus tetap berada dalam ranah teknis, sementara Anugerah Ilahi tetap menjadi pusat dari makna dan tujuan hidup manusia.

Integrasi antara keduanya hanya mungkin jika manusia menyadari batas-batas AI, dan membuka diri terhadap dimensi spiritual yang lebih tinggi. Ini adalah panggilan untuk kembali menyeimbangkan dunia yang terlalu rasional dengan kedalaman relasi dan kontemplasi. Dengan kata lain kita tidak bisa menghindari AI, tetapi kita bisa memilih untuk tetap membuka diri terhadap Anugerah Ilahi. Dan di situlah letak kebijaksanaan sejati: menggunakan kecerdasan buatan tanpa kehilangan jiwa kemanusiaan. Caranya jika ada informasi yang diperoleh lewat AI, maka gunakan AI satunya untuk menyaring; dengan cara ini kita menjadi bijak berteknologi, dan berketuhanan dalam bersikap. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Namanya Masih Rumah Sakit, Belum Rumah Sembuh

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Baru saja Herman Batin Mangku (HBM) menulis tentang pelanggaran fatal yang dilakukan seorang oknum dokter spesialis, yang tega “ngelokak” pasiennya. Tulisan ini mencoba melihat sisi lain dari peristiwa itu, dengan tujuan menjadi bahan pembelajaran: agar ada pembenahan, pengawasan, dan pemeliharaan sistem kesehatan di masa mendatang.

Di Indonesia, Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) merupakan tumpuan utama masyarakat dalam mengakses layanan kesehatan. Terutama bagi kalangan menengah ke bawah yang sangat bergantung pada layanan BPJS Kesehatan. RSUD sejatinya dirancang sebagai fasilitas publik yang berlandaskan asas keadilan dan pemerataan. Namun, dalam praktiknya, rumah sakit sering kali menjadi cerminan kompleksitas persoalan: antrean panjang pasien, keterbatasan alat, krisis tenaga medis, hingga pelayanan yang belum sepenuhnya manusiawi.

Keluhan “sudah sakit, malah makin stres di rumah sakit” bukan sekadar ungkapan emosi. Pasien kerap menghadapi proses administrasi yang melelahkan, komunikasi yang kurang ramah, serta ruang rawat inap yang penuh sesak. Tidak jarang, mereka datang dalam keadaan sakit, dan pulang dengan rasa lelah fisik maupun psikis yang bertambah.

Di sinilah filsafat kesehatan mengajukan pertanyaan mendasar: apakah rumah sakit hanya sekadar tempat mengobati penyakit, ataukah ruang hidup yang seharusnya menghadirkan penyembuhan holistik?

Pasien yang Menjadi “Angka”

Banyak pasien RSUD merasa kehilangan eksistensinya sebagai manusia utuh. Ruang tunggu IGD dipenuhi puluhan orang, bau obat dan desinfektan menusuk, tangisan bayi bercampur dengan panggilan petugas, serta suara pengeras nomor antrean yang menggelegar. Semua itu menciptakan tekanan mental tersendiri.

Pasien BPJS, misalnya, harus melewati meja verifikasi berlapis, antre panjang hanya untuk mendapat giliran diperiksa. Dalam sistem yang terburu-buru ini, manusia diperlakukan sebagai “angka”, bukan individu.

Prosedur medis yang terfragmentasi juga memperburuk keadaan: pasien dipindahkan dari ruang A ke B, lalu ke radiologi di gedung lain, kembali ke poliklinik, kemudian diarahkan ke farmasi. Dari sudut pandang administratif, hal ini dianggap wajar. Namun secara eksistensial, pasien merasa terasing dari dirinya sendiri. Mereka tidak memahami sepenuhnya apa yang terjadi, hanya mengikuti arus tanpa kendali.

Waktu yang Terlalu Singkat

Kurangnya waktu dari tenaga kesehatan memperberat pengalaman pasien. Seorang penderita penyakit kronis, misalnya, hanya mendapat 5–7 menit konsultasi dengan dokter umum. Ia merasa tidak benar-benar didengarkan, padahal suara pasien adalah bagian penting dari proses penyembuhan.

Etika yang Terkikis

Dalam layanan kesehatan publik seperti RSUD, etika kedokteran seharusnya menjadi fondasi utama. Namun, praktik di lapangan kerap melenceng. Kasus yang diungkap HBM hanyalah salah satu contoh.

Dari perspektif bioetika, ada tiga bentuk pelanggaran serius yang kerap terjadi:

1. Mengaburkan batas profesional. Relasi dokter–pasien seharusnya dibangun atas dasar kepercayaan dan niat tulus menyembuhkan, bukan peluang komersial.

2. Memanfaatkan ketidaktahuan pasien. Banyak pasien tidak tahu bahwa alat kesehatan tertentu bisa diperoleh lebih murah, bahkan ada yang tersedia melalui program bantuan pemerintah.

3. Menyuburkan ketimpangan. Pasien yang tidak mampu membeli merasa layanan yang diterimanya kurang optimal, lalu dihantui rasa bersalah atau inferior.

Praktik-praktik ini mencederai martabat profesi kedokteran dan memperkuat persepsi bahwa rumah sakit adalah “pasar terselubung”, bukan tempat penyembuhan.

Mengapa Bisa Terjadi?

Ada beberapa faktor struktural yang membuka celah praktik tidak etis di RSUD:

Pengawasan lemah. Manajemen rumah sakit kurang mengawasi interaksi pasien–dokter di luar ruang klinik, termasuk potensi transaksi informal.

Sistem insentif yang tidak transparan. Banyak dokter honorer atau kontrak mengeluhkan gaji rendah serta keterlambatan insentif. Situasi ini mendorong munculnya “jalan alternatif” untuk menambah penghasilan.

Regulasi lokal yang absen. Belum ada aturan jelas yang melarang praktik jual-beli pribadi di lingkungan RSUD, sehingga sulit memberi sanksi tegas.

Dalam perspektif filsafat struktural ala Michel Foucault, rumah sakit bukanlah institusi yang netral. Ia bisa menjadi alat kekuasaan dan kapitalisasi, di mana relasi dokter–pasien berubah menjadi bentuk dominasi.

Luka Kedua

Masuk rumah sakit seharusnya menjadi simbol harapan: untuk sembuh, pulih, dan hidup lebih baik. Namun, bagi sebagian pasien RSUD, pengalaman itu justru menghadirkan “luka kedua”.

Filsafat kesehatan memberi kita alat untuk membongkar ketidakadilan itu, baik dari dimensi etik, eksistensial, maupun struktural. Rumah sakit tidak boleh menjadi pasar yang menyaru sebagai institusi penyembuhan.

Ketika dokter menjual alat, ketika keputusan medis dipengaruhi kepentingan pribadi, ketika akses layanan dibatasi oleh dompet pasien, maka di situlah kepercayaan pada sistem kesehatan runtuh.

Terima kasih, HBM, yang telah berani menyuarakan ketidakadilan. Semoga suara ini terus menggema agar rumah sakit kembali menjadi tempat penyembuhan, bukan tempat yang membuat sakit makin sakit. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Universitas Malahayati Gelar Rapat Sosialisasi Penyusunan Kalender Akademik Tahun Ajaran 2025/2026

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Universitas Malahayati terus menunjukkan komitmennya dalam menjaga kualitas tata kelola pendidikan tinggi. Hal ini diwujudkan melalui Rapat Sosialisasi Penyusunan Kalender Akademik Tahun Ajaran 2025/2026 yang digelar di Ruang Rapat Gedung Rektorat Universitas Malahayati, pada Senin (25/8/2025).

Rapat penting ini dipimpin langsung oleh Wakil Rektor I, Prof. Dr. Dessy Hermawan, S.Kep., Ns., M.Kes, dengan didampingi jajaran pimpinan universitas, yakni Wakil Rektor II, Drs. Nirwanto, M.Kes., Wakil Rektor III, Dr. Eng. Rina Febrina, ST., MT., serta Wakil Rektor IV, Drs. Suharman, M.Pd., M.Kes.

Acara ini dihadiri oleh seluruh pejabat di lingkungan Universitas Malahayati, mulai dari para dekan, direktur pascasarjana, kepala biro, hingga ketua program studi. Kehadiran mereka mencerminkan keseriusan universitas dalam menyusun kalender akademik yang terstruktur, adaptif, dan sesuai kebutuhan perkembangan zaman.

Dalam arahannya, Prof. Dr. Dessy Hermawan menekankan bahwa kalender akademik bukan hanya sekadar jadwal kegiatan perkuliahan, tetapi juga menjadi pedoman utama dalam mengatur seluruh aktivitas akademik, penelitian, pengabdian kepada masyarakat, serta kegiatan kemahasiswaan.

“Kalender akademik yang disusun dengan baik akan menjadi acuan bersama, sehingga setiap kegiatan dapat berjalan efektif, terukur, dan terintegrasi. Hal ini juga menjadi wujud komitmen Universitas Malahayati dalam memberikan pelayanan akademik yang optimal bagi mahasiswa dan dosen,” ujar Prof. Dessy.

Sementara itu, Wakil Rektor II, III, dan IV juga menyampaikan pandangan strategis masing-masing bidang, mulai dari aspek pengelolaan keuangan dan sarana prasarana, pengembangan kemahasiswaan, hingga kerja sama dan penguatan hubungan eksternal universitas.

Dengan adanya rapat sosialisasi ini, Universitas Malahayati berharap penyusunan kalender akademik 2025/2026 dapat menghasilkan pedoman yang tidak hanya memudahkan koordinasi internal, tetapi juga mampu meningkatkan mutu penyelenggaraan pendidikan tinggi. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Universitas Malahayati Laksanakan Monitoring KKL-PPM di Pekon Sampang Turus, Kecamatan Wonosobo, Tanggamus

TANGGAMUS (malahayati.ac.id): Universitas Malahayati terus menunjukkan keseriusannya dalam memperkuat pelaksanaan Kuliah Kerja Lapangan – Pengabdian kepada Masyarakat (KKL-PPM). Hal tersebut terlihat melalui kunjungan panitia KKL-PPM ke Pekon Sampang Turus, Kecamatan Wonosobo, Kabupaten Tanggamus, pada Kamis (21/8/2025).

Kegiatan ini menjadi rangkaian monitoring sekaligus evaluasi atas program yang dijalankan mahasiswa di lokasi pengabdian. Kehadiran rombongan mendapat sambutan antusias dari masyarakat, mencerminkan adanya hubungan erat serta kerja sama yang baik antara perguruan tinggi dengan warga desa.

Turut hadir dalam kunjungan ini, Ketua KKL-PPM Universitas Malahayati, Eka Yudha Chrisanto, S.Kep., Ns., M.Kep., dan Koordinator DPL, Prima Dian Furqoni, S.Kep., Ns., M.Kes.. Mereka didampingi Dosen Pembimbing Lapangan (DPL), Annisa Mayang Soliha, M.Gz., yang selama ini mengarahkan mahasiswa kelompok 48 dalam melaksanakan program kerja mereka.

Dalam kesempatan tersebut, Ketua KKL-PPM Universitas Malahayati, Eka Yudha Chrisanto, S.Kep., Ns., M.Kep., menyampaikan bahwa program pengabdian masyarakat ini tidak boleh hanya dipandang sebagai kewajiban akademik semata. Menurutnya, KKL-PPM merupakan wadah penting bagi mahasiswa untuk melatih kepedulian sosial, memahami permasalahan di lapangan, sekaligus menghadirkan solusi nyata.

“KKL-PPM menjadi salah satu bentuk peran aktif mahasiswa. Kami menginginkan agar kegiatan ini tidak sekadar memberi efek sementara, tetapi terus berlanjut, memberi nilai positif bagi masyarakat, dan menanamkan semangat kepedulian mahasiswa terhadap kehidupan warga.” Ia juga menambahkan, “Kami juga berharap setiap program kerja yang dijalankan dapat menjadi sarana penerapan ilmu dari masing-masing jurusan, sehingga benar-benar bermanfaat dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Bahkan, dalam satu program kerja, diharapkan seluruh disiplin ilmu yang dimiliki mahasiswa dari berbagai jurusan dapat terintegrasi dan memberikan kontribusi nyata,” ujarnya.

Mahasiswa kelompok 48 yang sedang bertugas di Pekon Sampang Turus pun menyambut kunjungan ini dengan penuh semangat. Mereka menunjukkan berbagai kegiatan yang tengah dijalankan, mulai dari bidang kesehatan, pendidikan, hingga sosial kemasyarakatan.

Di SD Pekon Sampang Turus, sebagian mahasiswa mengadakan sosialisasi gizi seimbang kepada siswa-siswi. Materi sosialisasi ini bahkan dipantau langsung oleh DPL Annisa Mayang Soliha, M.Gz., yang ikut turun tangan memberikan arahan. Kegiatan ini diharapkan mampu menanamkan kebiasaan makan sehat sejak usia dini, sehingga dapat mendukung tumbuh kembang anak sekaligus mencegah risiko stunting.

Sementara itu, kelompok mahasiswa lainnya tengah berbaur bersama warga di Dusun 3, menjadi panitia perlombaan dalam rangka peringatan HUT RI ke-80. Suasana desa terlihat meriah dengan berbagai lomba yang digelar, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Kehadiran mahasiswa tidak hanya membantu kelancaran acara, tetapi juga mempererat hubungan emosional dengan masyarakat melalui semangat gotong royong.

Monitoring ini tidak hanya berfungsi sebagai evaluasi, tetapi juga sebagai wadah refleksi agar program yang dijalankan mahasiswa dapat terus dikembangkan dan memberi dampak berkelanjutan. Kehadiran jajaran universitas di lokasi lapangan memberikan motivasi tambahan bagi mahasiswa untuk semakin serius melaksanakan pengabdian.

Dengan dukungan penuh Universitas Malahayati, KKL-PPM diharapkan dapat menghasilkan mahasiswa yang lebih peka, tangguh, dan siap menjadi agen perubahan. Sementara bagi masyarakat, kehadiran mahasiswa menjadi energi baru yang membantu menggali potensi lokal sekaligus menjawab tantangan di bidang kesehatan, lingkungan, dan sosial.

Suasana penuh keakraban dalam kunjungan ini seakan menegaskan bahwa KKL-PPM bukan sekadar program wajib akademik, melainkan jembatan penghubung antara dunia pendidikan tinggi dengan masyarakat.

Universitas Malahayati berkomitmen untuk terus memperkuat peran mahasiswa dalam program pengabdian masyarakat, sehingga nilai gotong royong, kepedulian sosial, dan pengembangan potensi lokal dapat terus diwariskan lintas generasi. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Fakultas Hukum Universitas Malahayati Jalin Kerja Sama Strategis dengan PKBI Lampung

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Fakultas Hukum Universitas Malahayati kembali menunjukkan komitmennya dalam memperluas jejaring kolaborasi strategis dengan berbagai pihak. Kali ini, langkah tersebut diwujudkan melalui penandatanganan Nota Perjanjian Kerja Sama (MoA) dengan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Daerah Lampung. Kegiatan berlangsung di Hotel Kyria M2 Lampung, pada Kamis (21/8/2025).

Rombongan Fakultas Hukum yang dipimpin langsung oleh Dekan, Aditia Arief Firmanto, SH., MH., didampingi jajaran dosen, disambut hangat oleh Direktur PKBI Lampung, Muhammad Fajar Santoso, SH., MH., beserta timnya. Suasana penuh keakraban sekaligus semangat kolaborasi mewarnai jalannya acara.

Dalam sambutannya, Dekan Fakultas Hukum Universitas Malahayati menegaskan bahwa kerja sama ini menjadi langkah konkret dalam mewujudkan implementasi Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya pada aspek pendidikan dan pengabdian kepada masyarakat.

“Melalui MoA ini, kami berharap dapat membuka ruang sinergi yang lebih luas, baik dalam bentuk penelitian bersama, praktik lapangan bagi mahasiswa, maupun program-program pengabdian masyarakat yang bersentuhan langsung dengan isu hukum, kesehatan reproduksi, serta perlindungan hak-hak masyarakat,” ujar Aditia.

Sementara itu, Direktur PKBI Lampung, Muhammad Fajar Santoso, SH., MH., menyampaikan apresiasi yang tinggi kepada Universitas Malahayati, khususnya Fakultas Hukum, yang telah menjalin kolaborasi dengan PKBI. Menurutnya, kerja sama ini bukan hanya sekadar formalitas, tetapi akan berfokus pada program nyata yang memberi dampak positif bagi masyarakat.

“PKBI dan Fakultas Hukum memiliki visi yang sama, yakni memperkuat kesadaran hukum, kesehatan, dan hak-hak masyarakat. Kami yakin sinergi ini akan menghadirkan program yang bermanfaat, terutama dalam mengedukasi generasi muda dan masyarakat luas terkait pentingnya perlindungan hak reproduksi, kesetaraan gender, dan isu-isu sosial yang relevan,” ungkapnya.

Melalui kerja sama ini, kedua pihak berkomitmen untuk mengembangkan berbagai program kolaboratif, mulai dari kuliah umum, pelatihan, riset bersama, hingga program advokasi berbasis masyarakat. Diharapkan, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Malahayati juga dapat terlibat langsung dalam kegiatan-kegiatan PKBI, sehingga memperoleh pengalaman praktis yang memperkuat kompetensi akademik maupun profesional mereka.

Penandatanganan MoA ini sekaligus menjadi momentum penting bagi Fakultas Hukum Universitas Malahayati dalam memperluas jejaring dengan organisasi masyarakat sipil yang bergerak di bidang kesehatan reproduksi, kependudukan, dan perlindungan hak asasi manusia. Dengan sinergi ini, Universitas Malahayati menegaskan posisinya sebagai perguruan tinggi yang tidak hanya berorientasi pada pendidikan, tetapi juga aktif membangun kebermanfaatan bagi masyarakat luas.

Dalam kesempatan ini, Aditia Arief Firmanto, SH., MH., menjadi narasumber dalam talkshow yang bertajuk “Diversi yang Memulihkan Sinergi Hukum, Psikologi, dan Kemanusiaan untuk Anak”(gil)

Editor: Gilang Agusman

Lika-Liku Menghadap Pejabat

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Beberapa hari lalu bersama ketua program studi mendapat tugas dari lembaga, dalam rangka bedah kurikulum, salah satu syaratnya mendapatkan masukan dari “pengguna lulusan”. Maka dilakukanlah “Temu Cawo” (dari bahasa Lampung yang terjemahan bebasnya, berjumpa untuk bicara atau diskusi) dengan para pejabat lembaga terkait di daerah, dari tingkat provinsi sampai kabupaten. Dari pengalaman menghadap para petinggi daerah ini dapat dikatakan “sulit-sulit mudah”. Sulit jika tidak ada relasi sosial, sehingga harus berhadapan dengan birokrasi yang membelit. Sebaliknya jika ada relasi sosial, maka kita bagai menggunakan jalan bebas hambatan untuk langsung menuju sasaran. Tulisan ini mencoba melihat bagaimana relasi tadi jika dilihat dari perspektif Filsafat Sosial.

Filsafat sosial adalah cabang filsafat yang mengkaji realitas sosial dan struktur masyarakat, khususnya bagaimana relasi antarindividu dan kelompok diatur oleh norma, institusi, dan kekuasaan. Dalam konteks “menghadap pejabat,” filsafat sosial membantu kita memahami bahwa tindakan ini bukan sekadar interaksi personal, melainkan bagian dari sistem sosial yang lebih luas.

Karl Marx mengajarkan bahwa struktur sosial sangat ditentukan oleh relasi produksi dan kepemilikan alat produksi. Dalam konteks birokrasi dan kekuasaan, pejabat negara sering kali menjadi representasi atau pelayan kepentingan kelas penguasa. Oleh karena itu, menghadap pejabat adalah refleksi ketergantungan masyarakat kelas bawah pada elite penguasa yang mengendalikan sumber daya ekonomi dan sosial. Praktik ini menjadi simbol bagaimana kelas bawah harus menyesuaikan diri dengan aturan main yang dibuat oleh kelas dominan agar bisa memenuhi kebutuhannya.

Max Weber memberikan analisis penting mengenai birokrasi modern yang idealnya beroperasi atas dasar otoritas legal-rasional. Menurut Weber, birokrasi harus memberikan pelayanan berdasarkan aturan yang jelas dan transparan. Namun, Weber juga mengakui bahwa birokrasi kerap menjadi mekanisme yang sangat impersonal dan sulit diakses, sehingga individu sering terpaksa mencari jalur informal atau personal untuk mengatasi hambatan administrasi. Dengan demikian, “menghadap pejabat” bisa menjadi jalan pintas atau bentuk negosiasi kuasa yang dibutuhkan untuk mengatasi kerumitan birokrasi.

Michel Foucault melengkapi pemahaman ini dengan gagasan bahwa kekuasaan bukan hanya berpusat pada pejabat atau institusi, melainkan tersebar dalam berbagai praktik sosial dan wacana yang mengatur perilaku masyarakat. Proses menghadap pejabat merupakan arena di mana kekuasaan dipraktikkan dan dipertahankan melalui interaksi sosial yang penuh pengawasan dan disiplin. Warga yang “menghadap” secara tidak langsung menerima dan mereproduksi norma serta aturan kekuasaan tersebut, sehingga membentuk jaringan kontrol sosial yang kompleks.

Sedangkan Pierre Bourdieu menekankan aspek simbolik dan budaya dalam kekuasaan. Dalam pandangannya, menghadap pejabat adalah bagian dari praktik sosial yang mereproduksi dominasi melalui habitus dan modal simbolik. Habitus adalah struktur mental dan kebiasaan yang terbentuk dalam pengalaman sosial individu sejak dini, yang membuat mereka menyesuaikan diri dengan norma dan struktur sosial yang ada. Modal simbolik pejabat, yakni otoritas, pengakuan, dan prestise yang dipertahankan dan diperkuat melalui interaksi ini, sementara masyarakat belajar untuk tunduk dan menghormati sebagai bagian dari habitus mereka.

Pada praktiknya, menghadap pejabat bukanlah proses yang mudah dan lurus. Lika-liku yang dialami masyarakat sangat beragam dan seringkali menunjukkan sisi gelap dari birokrasi dan relasi kekuasaan. Pertama, masyarakat kerap menghadapi ketidakjelasan prosedur. Informasi mengenai siapa yang harus ditemui, kapan, dan bagaimana tata caranya sering kali tidak transparan. Hal ini menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian yang menambah beban psikologis bagi masyarakat yang ingin mengakses pelayanan. Mereka sering kali harus “bertanya ke sana kemari” atau mengandalkan jaringan informal untuk mendapatkan informasi tersebut.

Kedua, ada ketimpangan akses terhadap pejabat. Tidak semua warga memiliki kesempatan yang sama untuk “menghadap”. Mereka yang memiliki modal sosial, seperti koneksi keluarga, pertemanan, jaringan politik, atau kemampuan finansial, cenderung lebih mudah mendapatkan akses dibandingkan kelompok marginal yang lemah secara sosial dan ekonomi. Hal ini memperkuat ketidaksetaraan sosial yang sudah ada dan membentuk sistem patronase yang tidak jarang merugikan prinsip keadilan.

Ketiga, proses ini seringkali dikaitkan dengan budaya patron-klien, di mana pejabat bertindak sebagai pemberi jasa atau pelindung yang mengharapkan balasan berupa loyalitas atau penghormatan. Dalam konteks ini, menghadap pejabat menjadi arena negosiasi yang tidak hanya melibatkan urusan administratif, tetapi juga aspek sosial dan ekonomi yang kompleks. Terkadang, sulit dipahami, karena tidak ada standard yang jelas.

Keempat, ada dimensi simbolik yang kuat dalam proses ini. Masyarakat mempersiapkan diri dengan penuh ritual: berpakaian rapi, dan menggunakan bahasa serta sikap yang menunjukkan penghormatan. Semua ini merupakan bagian dari pertunjukan sosial yang memperlihatkan posisi dan hierarki antara masyarakat biasa dan pejabat. Bagi pejabat, ini memperkuat prestise dan otoritasnya. Bagi masyarakat, ini adalah tanda tunduk yang kadang dianggap sebagai kewajiban budaya.

Karl Marx melihat praktik ini sebagai manifestasi dominasi kelas atas atas kelas bawah. Dalam pandangan Marx, ketimpangan dan eksploitasi ekonomi membuat kelas pekerja dan masyarakat miskin harus bergantung pada elite yang memegang kekuasaan untuk mendapatkan akses terhadap kebutuhan dasar. Oleh karena itu, menghadap pejabat bukan semata-mata urusan administratif, melainkan ekspresi hubungan kelas yang timpang dan reproduksi ketidakadilan sosial.

Max Weber menunjukkan ironi birokrasi modern. Di satu sisi, birokrasi harus bekerja secara sistematis dan legal untuk menjamin keadilan dan efisiensi. Namun kenyataannya, birokrasi sering kali sangat kaku dan sulit ditembus, sehingga masyarakat beralih pada relasi personal dan informal untuk memecahkan masalah. Ini mengindikasikan kegagalan sistem rasional birokrasi dalam memenuhi kebutuhan pelayanan kepada masyarakat.

Menurut Michel Foucault, lika-liku menghadap pejabat merupakan bagian dari mekanisme kekuasaan yang tersebar dalam masyarakat. Kekuasaan ini tidak hanya datang dari pejabat secara vertikal, tetapi juga dari internalisasi norma dan disiplin sosial yang membentuk perilaku warga. Proses ini menjadi arena di mana kekuasaan diinternalisasi, dipertahankan, dan direproduksi oleh semua pihak yang terlibat. Dengan kata lain, masyarakat sendiri turut serta dalam mempertahankan struktur dominasi ini melalui praktik sosial sehari-hari.

Pierre Bourdieu menekankan bahwa masyarakat tidak semata-mata terpaksa tunduk karena tekanan eksternal, melainkan juga karena terbentuknya habitus yang membuat mereka “alami” menjalani praktik-praktik tersebut. Melalui proses sosialisasi dan pengalaman hidup, individu belajar bahwa menghadap pejabat adalah bagian dari tata cara sosial yang harus diikuti untuk bertahan dan mendapatkan pengakuan. Ini memperkuat modal simbolik pejabat dan mengukuhkan posisi dominan mereka dalam medan sosial.

Lika-liku menghadap pejabat bukan sekadar cerita tentang interaksi antara individu dan birokrasi, melainkan gambaran kompleks mengenai relasi kekuasaan, simbolisme sosial, dan ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat. Juga perlu dipahami bahwa pejabatpun dipaksa untuk membangun tembok sosial, akibat dari perilaku sebagian masyarakat dengan baju organisasi, melakukan intimidasi yang berujung meminta imbalan sesuatu. Akibatnya ada semacam seleksi untuk dapat berhadapan dengan pejabat. Dengan kata lain masyarakat sendiri yang membuat eliminasi pejabat dari masyarakat. Untuk itu harus ada edukasi dan standard procedure secara berjenjang, apa dan sampai level mana satu persoalan dapat diselesaikan. Dengan kata lain tidak semua persoalan harus sampai pada meja pimpinan tertinggi. Melalui lensa filsafat sosial, kita dapat memahami bahwa praktik ini merupakan refleksi dari struktur sosial yang tidak sempurna dan budaya politik yang perlu dikritisi. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman