Universitas Malahayati Perkuat Kolaborasi Hukum melalui MoU dan MoA dengan LBH Bandar Lampung

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Universitas Malahayati kembali menegaskan komitmennya dalam membangun jejaring kolaboratif dan memperkuat sinergi antarlembaga melalui perpanjangan Nota Kesepahaman (MoU) dan Nota Perjanjian Kerja Sama (MoA) dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung. Penandatanganan kerja sama ini berlangsung hangat dan penuh antusias di Kantor KPU Kota Bandar Lampung, pada Kamis, 3 Juli 2025.

Kegiatan ini dihadiri langsung oleh Dekan Fakultas Hukum Universitas Malahayati, Aditia Arief Firmanto, SH., MH, didampingi Ka.Prodi Ilmu Hukum dan sejumlah dosen Fakultas Hukum serta Kepala Humas dan Protokol Universitas Malahayati, Emil Tanhar, S.Kom. Kedatangan rombongan disambut secara resmi oleh Direktur LBH Bandar Lampung, Sumaindra Jawardi, SH, beserta jajaran staf LBH.

Dalam sambutannya, Aditia Arief Firmanto, SH., MH menegaskan bahwa kerja sama ini merupakan implementasi nyata dari Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya dalam aspek pendidikan dan pengabdian kepada masyarakat. “Kami ingin memastikan bahwa mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Malahayati tidak hanya unggul secara akademis, tetapi juga memiliki pengalaman langsung di lapangan. Kerja sama dengan LBH Bandar Lampung adalah jembatan penting agar para mahasiswa dapat memahami dinamika hukum masyarakat secara konkret, dan mampu memberikan kontribusi nyata dalam penyelesaian persoalan hukum di tengah masyarakat,” ujarnya.

Sementara itu, Direktur LBH Bandar Lampung, Sumaindra Jawardi, SH mengapresiasi kerja sama berkelanjutan ini dan menyambut baik kontribusi Universitas Malahayati dalam mendukung misi lembaganya. “Kehadiran mahasiswa dari Universitas Malahayati sangat kami nantikan. Mereka tidak hanya akan memperluas wawasan dan praktik hukum mereka, tetapi juga turut andil dalam proses edukasi, pendampingan, dan sosialisasi hukum kepada masyarakat, khususnya kelompok rentan yang selama ini belum terjangkau secara optimal. Inilah wujud sinergi yang bermakna antara institusi pendidikan dan lembaga pelayanan hukum,” jelasnya.

Dalam sesi wawancara, Emil Tanhar, S.Kom, selaku Kepala Humas dan Protokol Universitas Malahayati, menyampaikan bahwa kerja sama ini merupakan bagian dari strategi kampus dalam menjalin kemitraan strategis lintas sektor, baik dengan pemerintah, lembaga hukum, maupun organisasi masyarakat sipil. “Kami percaya bahwa kolaborasi semacam ini sangat penting untuk memperkaya ekosistem pembelajaran. Dengan turun langsung ke lapangan, mahasiswa akan melihat bagaimana hukum bekerja dalam realitas sosial, tidak hanya dalam ruang kelas. Ini sejalan dengan visi Universitas Malahayati sebagai kampus yang adaptif, kolaboratif, dan relevan terhadap kebutuhan zaman,” ungkapnya.

Dengan adanya MoU dan MoA ini, Universitas Malahayati membuka peluang lebih luas bagi mahasiswa Fakultas Hukum untuk terlibat dalam kegiatan magang, advokasi, hingga riset-riset berbasis pengabdian masyarakat. Harapannya, kerja sama ini tak hanya mempererat hubungan institusional, tetapi juga menghasilkan lulusan yang profesional, berintegritas, dan memiliki sensitivitas sosial yang tinggi dalam penegakan keadilan di masyarakat.

Dengan semangat kolaboratif ini, Universitas Malahayati kembali membuktikan dirinya sebagai institusi pendidikan tinggi yang tidak hanya unggul di bidang akademik, tetapi juga aktif berperan dalam pembangunan sosial berbasis ilmu dan kemanusiaan. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Puncak itu Tidak Pernah Kita Daki Sendirian

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Beberapa saat lalu negeri ini dihebohkan dengan adanya tragedi Gunung Rinjani di Nusa Tenggara Barat. Penulis, karena tugas direktorat, beberapa kali datang ke Lombok memandang dari kejauhan bagaimana menakjubkannya gunung itu. Dan, sangat terkejut bagaimana puncak-puncak yang indah dipandang itu telah memakan korban, terakhir warga Brazil menemui ajalnya di lereng jurang di puncak sana. Terlepas dari cerita harubiru semua, ada satu komentar dari nitizen dalam caption media sosialnya “Puncak itu tidak pernah kita daki sendirian”. Untaian kata ini menusuk relung hati filsafat penulis; dan perburuan literaturpun dimulai. Karena ini bukan soal puncak gunung semata, akan tetapi puncak-puncak kehidupan.

Di tengah dunia yang semakin menekankan individualitas dan pencapaian pribadi, kita sering kali lupa bahwa setiap puncak yang berhasil kita taklukkan adalah hasil dari jaringan relasi, dukungan, dan pengaruh dari orang lain. Kalimat “puncak itu tidak pernah kita daki sendirian” bukan sekadar metafora tentang solidaritas, tetapi juga pernyataan eksistensial tentang hakikat manusia sebagai makhluk sosial, historis, dan spiritual.

Filsafat eksistensial banyak berbicara tentang individu, tentang kebebasan, pilihan, dan tanggung jawab. Namun, para pemikir besar seperti Martin Buber dan Gabriel Marcel menolak gambaran atomistik manusia sebagai subjek yang sepenuhnya mandiri. Buber dalam karyanya ”I and Thou” menegaskan bahwa manusia tidak bisa dipahami sepenuhnya dalam relasi “Aku-Itu” yang obyektif dan terpisah; manusia hanya mencapai keutuhannya dalam relasi “Aku-Kau,” yakni hubungan timbal balik yang otentik dan saling mengakui. Oleh sebab itu mendaki puncak kehidupan: baik itu karier, pendidikan, atau kebijaksanaan; tidak pernah merupakan hasil dari perjalanan soliter atau seorang diri. Akan tetapi selalu ada “Kau” yang menyertai: orang tua yang mendidik, sahabat yang menguatkan, guru yang menyalakan cahaya, atau bahkan lawan yang memaksa kita menjadi lebih baik. Dalam setiap puncak yang kita capai, ada jejak tangan orang lain yang membentuk, menantang, dan menyentuh kehidupan kita.

Setiap langkah yang kita ambil menuju puncak adalah respon terhadap perjumpaan-perjumpaan dengan orang lain. Bahkan ketika kita berjuang untuk membebaskan diri, kita melakukannya dalam konteks sosial yang membentuk perjuangan itu. Kita tidak dapat menafsirkan identitas kita, arah hidup kita, atau bahkan impian kita tanpa mengacu pada orang lain. Maka, puncak itu tidak pernah kita daki sendirian karena bahkan keinginan untuk mendaki pun sering kali muncul dari interaksi dengan orang lain.

Dalam pandangan filsuf hermeneutik seperti Hans-Georg Gadamer, pengalaman manusia tidak pernah netral. Setiap tindakan, keputusan, dan pemahaman kita terbentuk dalam horizon sejarah yang kita warisi. Kita membawa serta bahasa, nilai, kebudayaan, dan tradisi dalam setiap laku hidup. Maka, keberhasilan pribadi tidak dapat dilepaskan dari konteks sejarah kolektif yang melandasinya. Sebagai contoh, Seorang anak yang berhasil menjadi dokter bukan hanya mengandalkan kemauan dan usahanya sendiri, tetapi juga berdiri di atas fondasi yang dibangun oleh generasi sebelumnya: pengorbanan orang tua, sistem pendidikan, bahkan perjuangan dari banyak orang. Puncak itu bukan menara gading; ia adalah simpul dari ribuan ikatan sejarah.

Dalam filsafat personalisme yang digagas oleh filsuf seperti Karol Wojtyła, manusia dipahami bukan sebagai individu yang terisolasi, tetapi sebagai pribadi yang hanya menjadi diri sejatinya dalam relasi yang saling memberi. Pribadi tidak pernah selesai hanya dengan menjadi “aku,” tetapi terus menjadi dalam hubungan dengan “kamu” dan “kami.”

Saat kita mendaki puncak kehidupan, seperti mengatasi rasa takut yang melampaui batas, atau mewujudkan cita-cita. Semua itu kita melakukannya karena pernah disentuh oleh cinta, kepercayaan, dan harapan orang lain. Bahkan dalam kesendirian, memori dan makna hubungan itu menyertai kita. Kita didorong oleh suara ibu yang percaya kita mampu, oleh kenangan guru yang menyemangati kita, atau oleh sahabat yang pernah menolong kita berdiri kembali saat kita terpuruk. Pendakian menuju puncak tidak selalu mulus. Ada jurang, badai, dan kelelahan. Dalam momen-momen ini, kehadiran orang lain bukan hanya pelengkap, melainkan penopang eksistensial. Oleh karena itu orang bijak berpesan bahwa : Puncak yang sejati adalah ketika keberhasilan kita juga menjadi berkah bagi orang lain.

Dalam banyak tradisi spiritual, perjalanan menuju puncak adalah simbol dari transformasi batin. Puncak bukan sekadar tujuan eksternal, tetapi pencapaian integritas jiwa. Dalam konteks ini, pendakian adalah doa yang ditopang oleh banyak suara. Maka, puncak itu tidak pernah kita daki sendirian, karena dalam sunyi pun ada gema doa orang lain yang membela dan mendampingi kita.

Terakhir, kita harus menyadari bahwa setelah sampai di puncak, tugas kita bukanlah berdiam di sana, tetapi menolong yang lain untuk turut naik. Gabriel Marcel menyebutkan bahwa harapan adalah tindakan iman terhadap manusia dan masa depan. Kita tidak hanya mendaki bersama; kita juga terpanggil untuk menjadi jembatan bagi yang lain. “Puncak itu tidak pernah kita daki sendirian” bukan hanya pengakuan akan bantuan teknis dari orang lain. Ia adalah pernyataan filsafat tentang kodrat manusia yang saling bergantung, saling membentuk, dan saling mendefinisikan. Kita menjadi diri kita karena orang lain, dan kita mencapai apa yang kita capai karena jalinan kehidupan yang mengelilingi kita. Filsafat manusia mengajarkan bahwa keberhasilan bukan sekadar prestasi individual, tetapi juga refleksi dari relasi yang mendalam, sejarah yang dibagi, dan kasih yang menyertai. (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Tiga Mahasiswa Universitas Malahayati Terpilih Sebagai Duta Bahasa Provinsi Lampung 2025

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Tiga mahasiswa Universitas Malahayati berhasil mengharumkan nama kampus dalam ajang bergengsi Pemilihan Duta Bahasa Provinsi Lampung Tahun 2025. Mereka adalah Taufiqur Rahman (23610163) dari Prodi S1 Ilmu Hukum, Sintia Andela (23220484) dan Ars’y Junianda (NPM 23610163), keduanya dari Prodi S1 Manajemen. Ketiganya berhasil terpilih sebagai Duta Bahasa Provinsi Lampung 2025, dalam acara yang diselenggarakan oleh Kantor Bahasa Provinsi Lampung bekerja sama dengan Ikatan Duta Bahasa (Ikadubas) Lampung, bertempat di Hotel Emersia Lampung, Sabtu, 21 Juni 2025.

Pemilihan ini menjadi momentum berharga bagi para generasi muda Lampung untuk menunjukkan kepedulian mereka terhadap pelestarian dan pengembangan bahasa Indonesia, serta menggali potensi bahasa daerah sebagai kekayaan budaya bangsa.

Taufiqur Rahman mengungkapkan rasa bangga dan syukurnya atas capaian ini. “Ini kali pertama saya mengikuti ajang pemilihan duta, dan tentu saja menjadi pengalaman yang sangat berkesan. Saya belajar banyak tentang pentingnya peran bahasa dalam membentuk identitas bangsa, serta bagaimana menjadi representasi generasi muda yang peduli akan nilai-nilai kebahasaan dan kebudayaan. Saya berharap, melalui platform ini, saya bisa memberikan kontribusi nyata dalam pengembangan bahasa Indonesia yang baik dan benar di kalangan masyarakat, khususnya generasi muda.”

Sementara itu, Sintia Andela tidak bisa menyembunyikan rasa bahagianya. “Alhamdulillah, saya sangat senang dan bersyukur bisa terpilih menjadi Duta Bahasa Provinsi Lampung 2025. Ini adalah pencapaian yang luar biasa dan menjadi motivasi bagi saya untuk terus berkembang. Saya ingin membawa semangat ini hingga ke tingkat nasional, bahkan internasional, untuk membuktikan bahwa mahasiswa Universitas Malahayati mampu bersaing dan berkontribusi secara aktif dalam memajukan bangsa melalui bahasa,” ungkap Sintia dengan penuh semangat.

Senada dengan rekannya, Ars’y Junianda juga mengungkapkan komitmennya untuk menjalankan tugas sebagai Duta Bahasa dengan penuh tanggung jawab. “Menjadi Duta Bahasa bukan sekadar prestise, tetapi sebuah amanah untuk membawa misi literasi, pelestarian bahasa daerah, serta memperkuat eksistensi bahasa Indonesia di tengah arus globalisasi. Saya ingin mengajak lebih banyak anak muda untuk mencintai bahasa Indonesia dan tidak melupakan akar budayanya,” ujarnya.

Kemenangan ini tidak hanya menjadi kebanggaan pribadi, tetapi juga menjadi catatan prestasi membanggakan bagi Universitas Malahayati. Kampus hijau ini kembali membuktikan komitmennya dalam mencetak mahasiswa-mahasiswa unggul yang berprestasi, tidak hanya di bidang akademik, tetapi juga dalam peran sosial dan kebudayaan.

Selamat kepada para Duta Bahasa Provinsi Lampung 2025! Teruslah menginspirasi, berkarya, dan menjunjung tinggi bahasa sebagai jati diri bangsa. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Ihlas itu Butuh Waktu

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Siang menjelang sore aktivitas komplek perumahan tetap sunyi sepi; karena komplek ini dihuni orang-orang muda produktif; yang tinggalkan rumah untuk bekerja di pagi buta, dan pulang ke rumah sudah menjelang larut malam, bahkan ada yang dini hari. Mereka pejuang keluarga yang luarbiasa tangguhnya; berbeda dengan generasi tua seperti penulis, yang hanya menunggu waktu untuk “pulang”. Hidup pada kondisi seperti ini diperlukan keihlasan, agar mampu menerima tinggal ditempat ramai tetapi sunyi.

Ihlas. Kata yang singkat, sederhana, tapi berat. Diucapkan dengan mudah, dipraktikkan sangat susah. Banyak orang mendambakan keikhlasan, sedikit yang benar-benar bisa memilikinya. Bahkan, dalam niat baik sekalipun, terkadang kita menemukan bahwa ego, pencitraan, atau hasrat akan pengakuan diam-diam ikut campur. Lalu muncullah pertanyaan yang filosofis: Apakah ihlas itu benar-benar mungkin? Dan kalau mungkin, mengapa rasanya sulit sekali mencapainya?

Secara etimologis, kata “ihlás” berasal dari bahasa Arab akhlasa, yang berarti memurnikan. Dalam konteks spiritual dan agama, ihlas berarti melakukan sesuatu semata-mata karena Allah, tanpa mengharapkan imbalan atau pujian dari makhluk. Namun filsafat tidak hanya berhenti pada definisi normatif. Filsafat bertanya lebih jauh: apa yang membuat manusia bisa atau tidak bisa ikhlas. Berdasarkan penelusuran digital ditemukan informasi sebagai berikut:

Pandangan Filsafat eksistensial, terutama yang dikembangkan oleh Jean-Paul Sartre dan Martin Heidegger, menggatakan bahwa manusia adalah makhluk yang sadar akan dirinya. Ia hidup dalam dunia niat dan tujuan. Artinya, manusia selalu bertindak dengan alasan, dan dalam setiap alasan itu ada ego yang bermain. Sartre bahkan menekankan bahwa manusia “dikutuk untuk bebas”, artinya bebas memilih makna dan tujuan dari tindakannya, tapi sekaligus dibebani oleh konsekuensi pilihan tersebut. Sebagai contoh, ketika seseorang melakukan kebaikan, sangat mungkin ada banyak lapisan motivasi di baliknya: ingin dihargai, ingin merasa penting, ingin dicintai, bahkan ingin dianggap sebagai orang yang ikhlas. Inilah paradoksnya ihlas: saat kita menyadari bahwa kita ingin ikhlas, pada saat itu pula keikhlasan itu tercemar oleh kesadaran diri kita sendiri.

Berbeda lagi dalam pemikiran filsafat Timur, terutama dalam sufisme; keikhlasan identik dengan lenyapnya ego. Seorang sufi besar seperti Al-Ghazali membedakan antara amal yang dilakukan karena dunia (riya) dan amal karena Tuhan (ihlás). Tetapi di tingkat ini, seseorang bisa saja tertipu oleh egonya sendiri, sebab melakukan amal yang secara lahir tampak murni, tetapi batinnya dipenuhi harapan akan surga atau pahala. Maka dari itu, para sufi berkata, “Seandainya keikhlasan bisa diukur, maka ia tidak akan disebut keikhlasan.”

Kita cenderung memandang ihlas sebagai sebuah titik akhir dari tujuan yang harus dicapai. Tetapi sebenarnya pendekatan ini justru menjebak. Filsafat eksistensial mengajarkan bahwa manusia bukan “sesuatu yang jadi”, melainkan “menjadi”. Dalam istilah Heidegger, manusia adalah Dasein, eksistensi yang selalu dalam proses menafsirkan dan menentukan dirinya sendiri. Artinya, ihlas bukanlah sesuatu yang “kita punya” atau “tidak punya”, melainkan sesuatu yang kita pelajari seiring waktu, melalui pengalaman, refleksi, dan kecewa.

Lawrence Kohlberg, seorang psikolog moral yang juga dikaji dalam filsafat pendidikan, mengembangkan teori tahap-tahap perkembangan moral manusia. Pada tahap awal, anak-anak berbuat baik karena takut dihukum atau ingin imbalan. Seiring usia dan pengalaman, mereka mulai berbuat baik karena merasa itu benar secara moral. Pada tahap tertinggi, orang bertindak berdasarkan prinsip-prinsip etika universal, terlepas dari keuntungan pribadi. Oleh sebab itu dalam konteks ini, ihlas muncul di tahap akhir, saat seseorang melakukan sesuatu bukan karena ingin terlihat baik, tapi karena ia sungguh percaya bahwa itu adalah hal yang baik. Tapi untuk sampai ke sana, orang perlu waktu bertahun-tahun pergumulan, kegagalan, introspeksi, dan pertumbuhan batin yang panjang dan bias jadi melelahkan.

Seorang filsuf eksistensial mungkin akan berkata: “Tidak ada tindakan yang sepenuhnya ihlas, karena kesadaran manusia selalu bermain di dalamnya.” Ini bukan untuk menihilkan makna keikhlasan, tapi justru untuk menyadarkan bahwa keikhlasan adalah spektrum, bukan absolut. Dalam kerangka ini, tidak ada yang benar-benar “gagal” menjadi ikhlas. Yang ada adalah proses menuju kejernihan niat. Oleh sebab itu orang bijak mengatakan keikhlasan adalah kemampuan jiwa yang berkembang seiring kematangan spiritual. Dan, ihlas bukan berarti menjadi suci. Ia justru muncul ketika kita menerima kenyataan bahwa kita adalah makhluk yang tidak sempurna, yang sedang belajar, yang sedang mencoba. Dalam bahasa Rumi: “Mata air keikhlasan mengalir dari luka-luka yang kamu terima dengan sabar.”

Keikhlasan bukanlah tujuan yang ditandai dengan bendera finish, tapi perjalanan seumur hidup. Ia tidak lahir dari niat untuk terlihat ikhlas, tapi dari kelelahan ego yang akhirnya berserah. Ia adalah hasil dari proses batin yang panjang, kadang menyakitkan, tapi pada akhirnya memurnikan. Ternyata dalam kesunyianpun kita bisa menemukan nikmat manakala kita ihkas menerimanya. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Bahagia Itu Sederhana (Sebuah Refleksi tentang Manusia dan Makna Hidup)

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Setengah jam lagi waktu ibadah Jumat akan tiba. Perjalanan menuju masjid dimulai, sengaja dengan berjalan kaki untuk sekaligus olah raga, dan siapa tahu mendapatkan obyek tulisan. Karena sudah dua hari otak terasa buntu, yang membuat tidak satu ide-pun mengalir dilayar laptop. Betul saja, diperjalanan tidak sengaja melihat seorang Bapak Pemulung dengan nyenyaknya tidur di tepi jalan yang ada pohon rindangnya. Berbantal karung tempat hasil rongsokannya, kelihatan nikmat sekali.

Berhenti sejenak memandang wajah beliau, sambil berkata dalam hati “Bahagia itu sederhana”. Takut mengganggu, akhirnya di tinggal dengan harapan kalau nanti pulang beliau sudah terjaga, maka akan ada sedikit sesuatu yang diberikan. Sayang selesai shalat, saat kembali, dan melewati jalan itu; Bapak tadi sudah tidak ada. Sambil melangkah pulang untaian ide bergelanyut di kepala untuk segera menulis dengan judul di atas.

Di dunia yang bergerak cepat ini, kebahagiaan menjadi sesuatu yang terdengar megah, namun terasa jauh. Kita melihatnya di iklan berkejaran dalam media sosial, dan didefinisikan oleh ukuran-ukuran eksternal: rumah besar, mobil mewah, liburan mahal, atau pengakuan publik. Namun, bila kita berhenti sejenak, menarik napas, dan bertanya ke dalam diri, “Benarkah kebahagiaan itu harus serumit itu?” Maka kita mungkin akan menemukan jawaban mengejutkan: bahagia itu sederhana. Seperti yang baru saja dijumpai beberapa saat lalu.

Tentu pernyataan ini bukan sekadar ungkapan klise. Di balik kesederhanaan ternyata terdapat kedalaman makna yang luar biasa, terutama jika kita melihatnya dari kacamata filsafat manusia. Filsafat tidak hanya bicara tentang konsep abstrak atau pertanyaan metafisik, tapi juga soal hidup sehari-hari: tentang bagaimana manusia mencari makna, menjalani eksistensinya, dan menemukan kedamaian batin. Penjelajahan rujukan bacaan mulai dilakukan, baik yang digital maupun konvensional.

Manusia tidak sekadar makhluk biologis yang hidup untuk makan, tidur, dan berkembang biak. Kita memiliki kesadaran, kehendak bebas, dan dorongan eksistensial untuk mencari makna. Viktor Frankl, seorang psikiater dan filsuf eksistensialis, menulis dalam bukunya “Man’s Search for Meaning”, bahwa penderitaan manusia bisa ditanggung jika ia menemukan maknanya. Dengan kata lain, kebahagiaan bukanlah soal kenikmatan yang datang dari luar, tapi soal bagaimana kita memaknai hidup itu sendiri.

Sering kali kita terjebak dalam ilusi bahwa kebahagiaan akan datang setelah mencapai sesuatu: lulus kuliah, menikah, punya rumah, naik jabatan dan sebagainya yang bersifat duniawi. Namun saat pencapaian itu hadir, kita kerap merasa hampa lagi. Filsafat eksistensialisme mengajarkan bahwa manusia tidak diberi makna hidup dari luar; kita sendirilah yang menciptakannya. Maka, ketika seseorang memilih untuk menyirami tanamannya setiap pagi dan merasakan ketenangan dari ritual itu, ia sedang menjalani bentuk kebahagiaan yang sangat manusiawi dan itu sederhana.

Salah satu filsafat yang kini kembali populer dalam dunia modern adalah stoisisme, yang dipopulerkan oleh tokoh seperti Epictetus dan Marcus Aurelius. Dalam ajaran stoik, kebahagiaan sejati bukan terletak pada hal-hal di luar diri kita, tetapi pada bagaimana kita merespons segala sesuatu. Kita tidak bisa mengendalikan cuaca, tindakan orang lain, atau nasib; yang bisa kita kendalikan adalah pikiran dan sikap kita sendiri.

Dari sudut pandang ini, kebahagiaan menjadi sangat personal dan terjangkau. Ia tidak membutuhkan dunia berubah; ia hanya membutuhkan kita untuk memahami apa yang benar-benar penting dan melepaskan kelekatan terhadap hal-hal yang tak bisa kita kendalikan. Coba bayangkan seseorang yang duduk di teras rumahnya, menatap hujan sambil meminum secangkir kopi panasdan sepotong singkong rebus. Di matanya, itu bukan momen biasa. Itu adalah momen hadir penuh, menerima kehidupan sebagaimana adanya, tanpa tergesa atau penolakan. Itulah kebahagiaan yang sederhana dan hasil dari ketenangan batin, bukan gemerlap luar.

Kebahagiaan sederhana terjadi saat kita mampu duduk dengan tenang, mengunyah makanan dengan penuh kesadaran, atau sambil berbincang hangat dengan orang-orang terdekat. Oleh sebab itu Epikurus berkata, “Jika engkau ingin menjadi kaya, kurangi keinginanmu, bukan menambah harta.” Dengan kata lain kita harus menyadari bahwa kehidupan yang sederhana bukanlah pengorbanan, melainkan bentuk kebijaksanaan. Ia membantu kita mengenali apa yang esensial, dan membuang keinginan-keinginan palsu yang justru membebani.

Filsafat juga menunjukkan bahwa manusia bukan makhluk yang terpisah dari orang lain. Aristoteles menyatakan bahwa manusia adalah zoon politikon, yaitu makhluk sosial. Kebahagiaan sejati tidak bisa hadir dalam kesendirian total. Ia tumbuh dalam relasi, dalam kasih sayang, dan dalam tindakan baik yang memberi arti. Kesederhanaan terletak pada pilihan untuk hadir dalam relasi, bukan dalam mengejar pengakuan.

Mengapa kebahagiaan sederhana terasa langka di era modern? Karena kita hidup di tengah dunia yang mendorong konsumsi tanpa henti dan kecepatan yang melelahkan. Kita dibombardir iklan yang menyatakan bahwa kita akan bahagia jika memiliki ini dan itu. Media sosial membuat kita merasa “kurang” jika hidup kita tidak semewah influencer. Namun dari sudut pandang filsafat, ini adalah jebakan. Jean Baudrillard, seorang filsuf kontemporer, menyebut bahwa kita hidup dalam masyarakat simulacra, yaitu di mana realitas digantikan oleh simbol dan citra. Kebahagiaan bukan lagi soal rasa, tapi tentang bagaimana kita tampak bahagia.

Bahagia itu sederhana, dan bukan karena hidup tidak kompleks, tetapi karena kita memilih untuk tidak memperumitnya. Dalam kacamata filsafat manusia, kebahagiaan bukanlah tujuan di ujung jalan, melainkan cara kita melangkah setiap hari. Manusia memiliki kapasitas untuk merasa cukup, untuk mencintai, untuk hadir dalam kesunyian, dan untuk menemukan makna dalam hal-hal kecil.

Kebahagiaan tidak datang dari luar, tapi dari dalam, serta dari kesadaran, penerimaan, dan tindakan kecil yang lahir dari niat baik. Di dunia yang bising dan penuh distraksi, kesederhanaan adalah oasis. Filsafat mengajarkan bahwa kita tidak perlu menjadi orang lain, tidak perlu memiliki segalanya, tidak perlu menang dalam segala hal. Kita hanya perlu menjadi manusia yang hidup sepenuhnya dalam tiap momen, dan dalam kesadaran itulah kita akan temukan bahwa bahagia memang sederhana. Semua hal di atas diringkaskan dalam ajaran filsafat Islam “Syukuri yang ada karena hidup adalah anugerah…”. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Program Studi D3 Anafarma Universitas Malahayati Gelar OSPE UKMPDFI, Targetkan Kelulusan 100% di Tahun 2025

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Program Studi Diploma III Analis Farmasi dan Makanan (Anafarma) Universitas Malahayati kembali menunjukkan komitmennya dalam mencetak tenaga teknis kefarmasian yang kompeten dan profesional. Hal ini dibuktikan dengan terselenggaranya Objective Structured Practical Examination (OSPE) dalam rangka Uji Kompetensi Mahasiswa Pendidikan Diploma Farmasi Indonesia (UKMPDFI), yang digelar di Laboratorium Terpadu Universitas Malahayati pada Kamis, 3 Juli 2025.

Sebanyak 54 mahasiswa angkatan 2022 mengikuti ujian ini dengan penuh semangat dan kesiapan. OSPE sendiri merupakan bagian penting dari proses uji kompetensi, yang bertujuan untuk mengukur kemampuan praktis mahasiswa dalam situasi yang menyerupai kondisi kerja nyata di dunia farmasi. Ujian OSPE UKMPDFI ini terdiri dari beberapa station atau pos ujian, di mana mahasiswa diuji kemampuan praktiknya

Pada tahun sebelumnya, tingkat kelulusan mahasiswa D3 Anafarma Universitas Malahayati dalam UKMPDFI mencapai 86%, sebuah capaian yang membanggakan dan menjadi bukti kualitas pendidikan yang diberikan oleh institusi ini.

Ketua Program Studi D3 Anafarma, Agustina Retnaningsih, S.Si., Apt., M.Farm, menyampaikan optimisme yang tinggi terhadap hasil OSPE tahun ini.

“Kami telah melakukan berbagai persiapan secara intensif, mulai dari pembekalan materi, simulasi ujian, hingga pendampingan belajar bagi mahasiswa. Dengan persiapan yang matang, saya yakin tahun ini tingkat kelulusan bisa mencapai 90%, bahkan harapan kami bisa mencapai 100%,” ujar Agustina dengan penuh keyakinan.

Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa keberhasilan mahasiswa tidak hanya ditentukan dari aspek akademik, tetapi juga dari mental kesiapan dan integritas saat menghadapi ujian praktik.

“Kami tidak hanya menekankan penguasaan keterampilan teknis, tetapi juga membangun mental percaya diri dan tanggung jawab profesional mahasiswa sebagai calon tenaga teknis kefarmasian. Mereka bukan hanya harus bisa melakukan prosedur, tetapi juga memahami dampak dan pentingnya ketelitian dalam setiap tindakan,” tambahnya.

Universitas Malahayati melalui Program Studi D3 Anafarma terus berkomitmen untuk mendukung penuh pencapaian kelulusan mahasiswanya. Salah satunya dengan menyelenggarakan pelatihan intensif menjelang ujian, memperkuat fasilitas laboratorium, serta menjalin kemitraan dengan institusi farmasi untuk mendukung proses pembelajaran berbasis praktik.

Dengan semangat dan dukungan penuh dari seluruh sivitas akademika, Program Studi D3 Anafarma berharap para peserta tahun ini dapat membuktikan kompetensinya dan menjadi lulusan yang siap berkontribusi nyata di dunia kesehatan Indonesia. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Fakultas Hukum Universitas Malahayati Jalin Kerja Sama Strategis dengan Kantor Notaris & PPAT Rendy Renaldy, SH., M.Kn

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Fakultas Hukum Universitas Malahayati kembali memperluas jejaring kerja samanya melalui perpanjangan penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) dan Nota Perjanjian Kerja Sama (MoA) dengan Kantor Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Rendy Renaldy, SH., M.Kn, dalam sebuah pertemuan yang berlangsung hangat pada Senin, 30 Juni 2025.

Rombongan dari Fakultas Hukum yang dipimpin langsung oleh Dekan, Aditia Arief Firmanto, SH., MH, beserta jajaran dosen, disambut dengan penuh antusias oleh pemilik kantor, Rendy Renaldy, SH., M.Kn, bersama tim dan staf profesionalnya. Kegiatan ini menandai komitmen kedua belah pihak dalam memperkuat sinergi antara dunia akademik dan praktik profesional hukum.

Dalam sambutannya, Dekan Fakultas Hukum Universitas Malahayati, Aditia Arief Firmanto, SH., MH menyampaikan bahwa kerja sama ini merupakan salah satu wujud nyata implementasi Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya dalam bidang pendidikan dan pengabdian kepada masyarakat.

“Kami menyambut baik kerja sama ini sebagai langkah penting dalam mempersiapkan mahasiswa Fakultas Hukum menghadapi dunia praktik. Dengan adanya MoU dan MoA ini, mahasiswa kami akan memiliki kesempatan untuk menjalani praktik magang langsung di lingkungan kerja notaris dan PPAT yang sesungguhnya, sehingga dapat memahami dinamika hukum pertanahan, perjanjian, dan akta secara riil,” ujarnya.

Tak hanya itu, kerja sama ini juga membuka peluang kolaborasi dalam penyusunan riset hukum terapan, pelatihan hukum praktis, serta seminar bersama yang dapat memperkaya pengetahuan dan pengalaman mahasiswa.

Sementara itu, Rendy Renaldy, SH., M.Kn menyambut kerja sama ini dengan sangat antusias dan mengapresiasi kepercayaan yang diberikan oleh Universitas Malahayati. Ia menyatakan bahwa hubungan antara kantornya dan Fakultas Hukum Universitas Malahayati sebenarnya telah terjalin cukup lama melalui program magang mahasiswa.

“Kerja sama ini menjadi bentuk perpanjangan dan penguatan dari apa yang telah kami jalani sebelumnya. Banyak mahasiswa dari Universitas Malahayati yang telah menjalani magang di sini dan menunjukkan etos kerja serta pengetahuan hukum yang baik. Dengan adanya MoU dan MoA ini, kami berharap dapat memberikan pengalaman praktik yang lebih terstruktur, bermanfaat, dan membuka wawasan profesional mereka sebelum terjun ke dunia kerja,” ungkap Rendy.

Kolaborasi ini diharapkan dapat memberikan dampak positif yang saling menguntungkan, tidak hanya bagi mahasiswa dan dosen, tetapi juga bagi masyarakat luas yang mendapatkan pelayanan hukum yang lebih baik dari generasi hukum masa depan.

Dengan semangat membangun sumber daya manusia hukum yang unggul, Fakultas Hukum Universitas Malahayati terus berupaya menjalin kerja sama strategis dengan berbagai institusi profesional. Penandatanganan kerja sama ini menjadi langkah konkret dalam menciptakan lulusan yang tidak hanya kuat secara teori, tetapi juga kompeten secara praktik. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Mahasiswa Universitas Malahayati Raih Juara 3 Judo Kapolda Cup 2025

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Prestasi membanggakan kembali ditorehkan oleh mahasiswa Universitas Malahayati. Dimas Baskoro (24410040), mahasiswa Program Studi S1 Kesehatan Masyarakat, sukses meraih Juara 3 dalam Kejuaraan Judo Kapolda Cup 2025 untuk Kategori Senior -66 Kg. Kejuaraan ini diselenggarakan di Gedung Serba Guna (GSG) Presisi Polda Lampung dalam rangka memperingati Hari Bhayangkara ke-79. Sabtu (14/6/2025).

Kompetisi yang berlangsung sengit ini diikuti oleh atlet-atlet terbaik dari berbagai daerah, menjadikan perjuangan Dimas sebagai sebuah capaian yang patut diapresiasi. Dengan semangat juang dan kedisiplinan tinggi, Dimas berhasil menunjukkan teknik dan mental bertanding yang matang hingga berhasil naik podium juara.

“Pertandingan ini menjadi bahan bakar saya untuk berlatih lebih giat lagi. Ini bukanlah akhir, melainkan awal bagi saya untuk bertemu dengan lawan-lawan yang akan saya hadapi dengan keberanian,” ujar Dimas.

Capaian ini tidak hanya menjadi kebanggaan pribadi, tetapi juga membawa nama baik Universitas Malahayati di kancah olahraga daerah. Pihak kampus menyambut baik kabar tersebut dan memberikan dukungan penuh bagi pengembangan minat dan bakat mahasiswa dalam bidang non-akademik, khususnya olahraga bela diri seperti judo.

Dengan prestasi ini, Dimas Baskoro telah membuktikan bahwa mahasiswa tidak hanya unggul di bidang akademik, tetapi juga mampu menunjukkan performa luar biasa di arena kompetisi fisik dan mental. Semoga kemenangan ini menjadi motivasi bagi seluruh mahasiswa Universitas Malahayati untuk terus berprestasi dan mengharumkan nama almamater.

Selamat dan sukses untuk Dimas Baskoro! Teruslah melangkah dengan semangat dan keberanian! (gil)

Editor: Gilang Agusman

Berdamai dengan Waktu (Ruang Eksistensial Manusia)

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Beberapa waktu lalu mendapat berita “kepulangan” seorang sahabat yang juga kerabat. Kami hanya terpaut usia satu tahun. Dan, bulan lalu tetangga dekat berusia lebih muda, juga berpulang. Tampak sekali jika manusia selalu dalam spektrum waktu; oleh sebab itu dalam filsafat, waktu bukan sekadar detik yang berdetak. Ia adalah ruang eksistensial, tempat manusia menjadi. Waktu bukan benda mati. Ia adalah pengalaman hidup itu sendiri yang terus bergerak seturut nafas dalam diri. Martin Heidegger, dalam karyanya “Being and Time”, menulis bahwa waktu adalah dimensi fundamental dari keberadaan manusia (Dasein). Artinya, manusia tak pernah terpisah dari waktu, dan manusia hidup di dalam waktu. Kita lahir, tumbuh, membuat keputusan, menyesal, berharap; semua itu terjadi karena waktu memungkinkan keberadaan itu sendiri.

Tapi anehnya, waktu juga menjadi kecemasan terbesar bagi manusia. Kita tahu bahwa waktu bergerak ke satu arah: maju, tak bisa kembali. Kita tahu bahwa dengan berjalannya waktu, kita semakin dekat pada akhir. Kesadaran akan kefanaan inilah yang membedakan manusia dari makhluk lainnya. Maka pertanyaannya adalah: Bagaimana kita hidup di dalam waktu, tanpa dikendalikan oleh waktu? Bagaimana kita bisa berdamai dengan sesuatu yang tak bisa kita pegang, kendalikan, atau ulangi.

Dari sudut pandang eksistensial, manusia bukan takut terhadap waktu. Manusia takut tidak bermakna di dalam waktu. Kita takut menjadi sia-sia, takut tidak sempat mencapai sesuatu, takut dilupakan. Pada dunia modern, waktu menjadi ukuran nilai. Seseorang dianggap sukses jika ia cepat mencapai puncak. Seseorang dianggap produktif jika jadwalnya penuh dari pagi sampai malam. Kita seolah dikejar oleh “jam ideal manusia sukses”. Namun di balik itu, tersembunyi kegelisahan yang dalam: kita tidak tahu apa sebenarnya arti hidup yang kita kejar ini. Kita hanya takut tertinggal, tanpa tahu sebenarnya kita sedang menuju ke mana. Jean-Paul Sartre mengatakan bahwa manusia dikutuk untuk bebas. Kita bebas memilih jalan hidup kita, tapi karena itulah kita juga bertanggung jawab atas semua makna yang kita berikan pada waktu yang kita jalani. Maka ketika kita gagal, kita merasa waktu telah menghukum kita.Padahal sebenarnya kitalah yang memberinya beban makna tertentu.

Satu hal yang membuat waktu terasa mengerikan adalah karena tidak bisa diulang. Masa lalu hanya bisa dikenang, masa depan belum tentu datang, dan masa kini terlalu cepat berlalu. Inilah paradoks eksistensial manusia: kita sadar bahwa waktu adalah anugerah sekaligus keterbatasan. Namun sejatinya justru keterbatasan itulah yang memberi hidup kita makna. Jika waktu tak terbatas, mungkin kita tak akan pernah benar-benar menghargai momen yang kita miliki.

Finitude (keterbatasan) adalah tema besar dalam filsafat eksistensial. Manusia baru akan benar-benar hidup secara otentik ketika ia sadar bahwa hidup ini tak kekal. Maka berdamai dengan waktu; artinya berdamai dengan keterbatasan kita sebagai manusia. Kita tidak bisa memiliki segalanya. Kita tidak bisa mengalami segalanya. Tapi dari situ kita belajar memilah: mana yang benar-benar penting, mana yang hanya kebisingan.

Banyak diantara kita yang merasa bahwa waktu adalah musuh. Karena terlalu cepat saat kita bahagia, dan terlalu lambat saat kita menderita. Tetapi sebenarnya ialah waktu hanya memperbesar apa yang ada di dalam diri kita. Oleh sebab itu waktu, dalam posisi ini adalah cermin. Ia memantulkan sejauh mana kita hidup dengan otentik. Apakah kita menjalani hari-hari karena kita sadar dan memilihnya, atau karena kita mengikuti tekanan sosial dan ekspektasi luar. Dengan memahami bahwa waktu bukan musuh, melainkan cermin dari eksistensi kita, kita bisa mulai berdamai dengannya. Kita berhenti berlari. Kita mulai menghadirkan diri sepenuhnya dalam momen yang ada.

Penyesalan adalah produk dari waktu yang telah lewat. Harapan adalah bentuk relasi kita dengan waktu yang akan datang. Keduanya adalah pengalaman khas manusia. Oleh sebab itu dalam filsafat kita diajarkan untuk mengendalikan apa yang bisa dikendalikan, dan melepaskan sisanya. Masa lalu adalah sesuatu yang tak bisa diubah, maka menyesalinya terus-menerus adalah menyia-nyiakan waktu sekarang. Masa depan pun belum tentu datang, maka terlalu mengkhawatirkannya adalah bentuk pemborosan eksistensial.

Seneca menulis dalam On the Shortness of Life, bunyinya: “It is not that we have a short time to live, but that we waste much of it.” Waktu yang kita miliki sebenarnya cukup. Yang kurang adalah kesadaran kita untuk menjalaninya dengan penuh makna. Maka berdamai dengan waktu berarti menerima masa lalu dengan bijak, dan menyambut masa depan tanpa ketakutan berlebih. Kita tidak menyangkal rasa menyesal, tapi kita tidak membiarkannya mengikat kita. Kita tidak mematikan harapan, tapi kita tidak membiarkan masa depan mencuri hari ini.

Waktu tak bisa dihentikan. Ia juga tak bisa dipercepat atau diulang. Tapi kita bisa mengubah cara kita memandangnya. Dari musuh menjadi teman. Dari tekanan menjadi pengingat. Dari batas menjadi keindahan. Berdamai dengan waktu bukan berarti pasrah; oleh sebab itu yang paling penting bukan berapa banyak waktu yang kita punya, tapi bagaimana kita menggunakannya untuk menjadi manusia yang utuh, sadar, dan bermakna. Seperti kata Kierkegaard, bahwa hidup hanya bisa dipahami setelah kita lewati, tapi harus dijalani ke depan. Maka jalanilah hari ini, bukan dengan terburu-buru, tapi dengan kesadaran bahwa tiap detik adalah kesempatan untuk menjadi lebih manusiawi. Tuhan sudah mengingatkan dalam FirmanNYA : Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Dosen Universitas Malahayati Raih “Outstanding Thesis Award 2024” dari Prince of Songkla University, Thailand

THAILAND (malahayati.ac.id): Kabar membanggakan datang dari dunia akademik Universitas Malahayati. Salah satu dosen terbaik dari Fakultas Kedokteran, Dwi Marlina Syukri, S.Si., M.BSc., Ph.D, berhasil meraih penghargaan bergengsi “Outstanding Thesis Award 2024” dari Prince of Songkla University (PSU), Thailand.

Penghargaan ini diberikan oleh Faculty of Science, Prince of Songkla University, sebagai bentuk apresiasi atas kontribusi luar biasa dalam riset ilmiah tingkat doktoral. Dr. Dwi Marlina Syukri, yang merupakan lulusan Program Doktor Ilmu Mikrobiologi PSU, dinilai memiliki inovasi yang sangat tinggi serta pendekatan ilmiah yang kuat dalam penelitiannya.

Tesis doktoralnya yang berjudul: “Antibacterial Functionalization of Surgical Sutures through Ex Situ and In Situ Deposition of Biogenic Silver Nanoparticles, as an Alternative Strategy to Limit Surgical Site Infections”, menjadi sorotan karena menggabungkan pendekatan green synthesis dengan pemanfaatan nanopartikel perak biogenik untuk mengatasi infeksi pascaoperasi.

Penelitian ini dinilai tidak hanya unggul dalam aspek metodologi, tetapi juga memiliki dampak aplikatif yang luas di dunia medis. Solusi yang ditawarkan sangat potensial untuk menekan risiko infeksi di lokasi pembedahan, sebuah tantangan serius dalam dunia bedah modern. Inovasi ini memanfaatkan material ramah lingkungan dan mengusung semangat keberlanjutan, sejalan dengan misi global Sustainable Development Goals (SDGs).

Pihak Prince of Songkla University menyampaikan rasa bangga dan apresiasi mendalam atas kontribusi Dwi Marlina Syukri, Ph.D yang dianggap telah membawa standar penelitian PSU ke level internasional serta memberikan kontribusi nyata bagi kemajuan ilmu pengetahuan, kesehatan masyarakat, dan perlindungan lingkungan.

“Ini adalah pencapaian luar biasa yang tidak hanya membanggakan Fakultas Sains PSU, tetapi juga menunjukkan bagaimana riset dapat menjadi jembatan antara ilmu pengetahuan dan solusi nyata bagi dunia. Dwi Marlina, Ph.D adalah contoh teladan dari peneliti berdedikasi dengan visi masa depan yang kuat,” demikian pernyataan resmi dari PSU.

Sementara itu, civitas akademika Universitas Malahayati turut menyampaikan rasa bangga dan apresiasi mendalam atas pencapaian ini. Rektor, dekan, dosen, hingga mahasiswa memberikan ucapan selamat dan dukungan atas prestasi internasional tersebut.

Prestasi ini menjadi bukti bahwa Universitas Malahayati terus mendorong dosennya untuk unggul di kancah global dan aktif dalam pengembangan ilmu pengetahuan berbasis riset. Dedikasi Dr. Dwi Marlina Syukri di bidang mikrobiologi dan kesehatan lingkungan diharapkan dapat menginspirasi para akademisi dan mahasiswa untuk terus berinovasi dan berkontribusi nyata bagi kemajuan dunia.

Selamat dan sukses selalu untuk Dr. Dwi Marlina Syukri Ph.D! Semoga prestasi ini menjadi motivasi untuk terus berkarya dan menjadi pionir dalam inovasi kesehatan yang berkelanjutan. (gil)

Editor: Gilang Agusman