Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Pelantikan seorang pejabat tinggi di bidang keuangan negara adalah momen yang mengandung beban simbolik cukup besar. Di sanalah harapan kolektif digantungkan, seakan-akan sosok baru ini bukan hanya datang membawa kebijakan, tetapi juga membawa wajah baru bagi sistem ekonomi yang selama ini dirasa jauh dan tak terjangkau. Namun ketika pada momen pertama kehadirannya ke publik ia menyampaikan sebuah pernyataan yang mereduksi keresahan rakyat menjadi sekadar “reaksi emosional minoritas” yang akan reda seiring dengan pertumbuhan ekonomi, maka simbol yang semestinya mengandung harapan justru menjadi sumber luka. Yang hadir bukan kebaruan, melainkan pengulangan: bahwa kekuasaan masih saja berbicara dengan jarak, masih saja mendefinisikan realitas dari menara statistik.
Filsafat kontemporer telah berulang kali memperingatkan bahwa bahasa bukanlah sekadar sarana komunikasi, melainkan instrumen pembentukan dunia. Di dalam kata-kata, kekuasaan membangun realitas; dan bisa jadi, setiap kata menjadi dasar tindakan. Maka ketika seorang pejabat publik berbicara, ia tidak sedang menyampaikan pendapat personal, tetapi ia sedang menyusun lanskap makna tempat rakyat akan hidup di dalamnya. Kata-kata yang keluar dari mulut seorang pejabat keuangan bukan sekadar refleksi pemikiran pribadi, melainkan sebuah performa simbolik yang mengukuhkan atau merusak legitimasi.
Ketika rakyat merasa harga-harga tidak terjangkau, ketika ketimpangan sosial tampak semakin telanjang, suara mereka adalah bentuk paling otentik dari eksistensi keberadaannya: mereka hadir, mereka menuntut, mereka menyuarakan ketidakadilan. Dan ketika suara ini dijawab dengan penjelasan teknokratis bahwa semua akan baik-baik saja nanti, bahwa pertumbuhan akan menenangkan gejolak, maka pada saat itu pula eksistensi rakyat didegradasi menjadi gangguan statistik. Mereka yang lapar, cemas, dan frustasi tidak lagi diposisikan sebagai manusia dengan pengalaman otentik, tetapi sebagai data yang harus dikelola.
Pendekatan ini sangat mencerminkan logika positivistik yang mendominasi cara berpikir kekuasaan modern. Dalam logika tersebut, hanya yang terukur yang dianggap sahih. Maka yang tidak bisa diukur: seperti rasa sakit sosial, penghinaan simbolik, dan rasa ditinggalkan; dianggap sebagai gangguan yang harus diredam, bukan didengarkan. Di sinilah ironi paling tajam dari kekuasaan kontemporer: ia berbicara tentang rakyat, tetapi tidak mendengar apa kata rakyat; ia berbicara atas nama keadilan sosial, tetapi meragukan legitimasi rasa sakit rakyat.
Filsafat eksistensial mengajarkan bahwa manusia adalah makhluk yang tidak bisa direduksi menjadi fungsi. Ia bukan alat dari kebijakan ekonomi, bukan entitas pasif yang menunggu bantuan pemerintah. Ia adalah subjek yang hidup, berpikir, dan merasakan. Maka ketika seorang pejabat publik meremehkan perasaan publik, ia sedang menyatakan bahwa emosi kolektif rakyat tidak punya nilai epistemik; bahwa marah dan kecewa bukan bagian dari pengetahuan, melainkan hambatan yang harus dilampaui. Ini adalah bentuk pelecehan epistemik, di mana satu pihak merasa berhak mendefinisikan mana yang rasional dan mana yang emosional. Dan biasanya, yang emosional adalah rakyat miskin, sementara yang rasional adalah para penguasa.
Namun sesungguhnya, yang mereka sebut sebagai “reaksi emosional” itu adalah bentuk paling jujur dari komunikasi model rakyat. Rakyat tidak memiliki akses ke statistik, tidak paham bahasa pasar obligasi, tidak punya tempat dalam negosiasi IMF. Yang mereka miliki hanyalah pengalaman sehari-hari: harga beras naik, biaya sekolah melonjak, lapangan kerja menyempit. Maka kemarahan mereka bukan gangguan, tetapi narasi yang valid. Dan ketika narasi ini disangkal atau dikecilkan, maka rakyat bukan hanya dibuat tidak relevan, justru mereka dihapus.
Bahasa kekuasaan, dalam konteks ini, menjadi kekerasan simbolik. Ia mengatur siapa yang boleh berbicara, siapa yang layak didengar, dan mana yang hanya layak diabaikan. Ketika seorang pejabat mengatakan bahwa rakyat akan diam setelah ekonomi membaik, ia bukan hanya menyampaikan harapan, tetapi sedang menanamkan premis bahwa penderitaan hari ini sah demi masa depan yang belum tentu tiba. Di sinilah lahir kejahatan metafisika kekuasaan: penderitaan hari ini dianggap wajar, karena janji kesejahteraan telah dicanangkan di esok hari. Padahal, yang menderita hari ini tidak hidup di masa depan. Mereka hidup sekarang, mereka berhak untuk mendapatkan sekarang. Dan, mereka berhak untuk bersuara sekarang.
Filsafat kontemporer; khususnya yang mencermati relasi antara kekuasaan, bahasa, dan tubuh, melihat bahwa kekuasaan tidak lagi hadir dalam bentuk represi fisik, tetapi dalam bentuk pengaturan diskursif. Kekuasaan tidak perlu melarang rakyat berbicara; cukup dengan menciptakan wacana yang membuat suara rakyat tidak terdengar, atau terdengar sebagai keluhan tidak rasional. Maka bahasa pejabat publik bukan hanya soal gaya atau kecakapan komunikasi, tetapi tentang siapa yang dimungkinkan untuk eksis dalam ruang wacana.
Pernyataan yang merendahkan jeritan rakyat bukanlah insiden kecil. Ia adalah penanda ideologi yang lebih dalam: ideologi di mana rakyat diposisikan sebagai objek pembangunan, bukan subjek keadilan. Dalam ideologi ini, ekonomi menjadi berhala baru, dan rakyat hanya layak dihormati jika mereka produktif, patuh, dan tidak cerewet. Maka ketika mereka bersuara, kekuasaan menjawab bukan dengan empati, tetapi dengan perhitungan. Keseimbangan fiskal lebih penting daripada keseimbangan perasaan. Padahal, negara tidak dibangun di atas neraca. Ia dibangun di atas rasa saling percaya. Dan tidak ada kepercayaan tanpa penghormatan terhadap luka.
Ketika rakyat merasa kecewa, terluka, atau marah atas pernyataan pejabat, sesungguhnya mereka sedang menuntut satu hal: pengakuan. Bukan sekadar pengakuan bahwa mereka ada, tetapi pengakuan bahwa mereka berarti. Bahwa suara mereka bukan sekadar gangguan, tetapi ekspresi autentik dari warga negara. Maka tugas pertama seorang pemimpin, sebelum berbicara tentang solusi, adalah mendengarkan.
Mendengarkan bukan untuk menjawab, tetapi untuk mengakui dan memahami. Dalam konteks itu, seorang pejabat publik tidak boleh hanya menjadi perumus kebijakan, tetapi juga pembawa empati. Ia tidak boleh hanya menjadi manajer sistem, tetapi juga pelayan rasa. Dan dalam masyarakat yang luka, bahasa harus menjadi jembatan, bukan palu godam.
Dalam peradaban yang sehat, pemimpin pertama-tama adalah pendengar. Sebab, hanya dengan mendengar, ia bisa mengerti, dan hanya dengan mengerti, ia bisa merawat. Oleh sebab itu, pejabat keuangan yang baru, alih-alih segera bicara tentang bagaimana ekonomi akan menyembuhkan segalanya, seharusnya bertanya lebih dulu: “Apa yang kau rasa hari ini?” Bukan karena pertanyaan itu akan membuat angka berubah, tetapi karena ia akan membuat manusia merasa dilihat. Karena dalam negara yang demokratis, tidak ada hal yang lebih penting daripada rakyat merasa dilihat. Bukan karena mereka bagian dari statistik, tetapi karena mereka adalah alasan mengapa negara ada. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Ketika Ajal Tak Memilih Usia (Perenungan Eksistensial di Tengah Takziah)
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Pagi menjelang siang mendapat berita duka salah seorang keluarga besar lembaga ini berpulang. Seorang dosen pejabat teras nengajak membersamainya untuk bertakziah di rumah duka. Rombongan kecil itu berangkat dan sesampainya di tempat mendapat informasi usia almarhum saat dijemput pulang; tiba-tiba hadir kesadaran yang menohok: ajal tidak mengenal usia. Di hadapan kematian, angka hanyalah angka. Yang muda bisa pergi lebih dulu, yang tua bisa tetap tinggal. Ajal tak tunduk pada kalkulasi manusia.
Filsafat kontemporer mengajak kita untuk berhenti sejenak dari kebisingan hidup dan menatap langsung ke dalam diri. Di tengah dunia yang terus mendesak manusia untuk bergerak maju, menumpuk capaian, dan merayakan masa depan, takziah adalah momen yang memaksa kita berhenti. Ia bukan sekadar ritual belasungkawa, tetapi titik hening dalam aliran hidup y ang hiruk pikuk. Dan di titik hening inilah filsafat bekerja. Bukan sebagai wacana, melainkan sebagai cermin eksistensial yang memantulkan kerapuhan, keterbatasan, dan absurditas hidup manusia.
Pendapat bahwa ajal tidak mempertimbangkan usia, dalam filsafat kontemporer, menyentuh inti dari keberadaan manusia. Manusia tidak pernah lahir dengan kontrak masa hidup. Tidak ada jaminan bahwa masa muda berarti “masih lama” dan usia senja berarti “sudah dekat.” Kesadaran akan keterbatasan ini bukan untuk menumbuhkan ketakutan, tetapi untuk mendorong kejujuran dan keberanian eksistensial. Hidup menjadi berarti bukan karena panjangnya usia, tetapi karena bagaimana ia dijalani dalam kehadiran penuh. Dalam lanskap ini, ukuran hidup bukanlah waktu, melainkan intensitas dan keautentikan.
Zaman ini mendorong manusia untuk hidup dalam tumpukan target dan narasi yang dibentuk oleh industri dan budaya massa. Usia muda diasosiasikan dengan potensi, produktivitas, dan energi untuk mengejar. Sedangkan usia tua sering dipinggirkan sebagai fase “menunggu ajal.” Tetapi kematian membatalkan semua peta ini. Ia tidak tunduk pada logika pembangunan diri atau investasi masa depan. Kematian hadir sebagai koreksi radikal terhadap segala bentuk penundaan eksistensial. Penundaan untuk menjadi diri sendiri, penundaan untuk mencintai, memaafkan, mencipta, atau sekadar hadir secara jujur dalam hidup ini.
Filsafat kontemporer, dalam geliatnya yang berangkat dari kehampaan dan absurditas dunia modern, menyodorkan satu pernyataan yang tajam: hidup adalah proyek yang tidak pernah selesai. Dan justru karena tidak selesai itulah hidup harus dijalani dengan kesadaran penuh bahwa setiap saat bisa menjadi yang terakhir. Maka hidup bukanlah soal menunggu momen besar, tetapi bagaimana menanamkan makna dalam momen-momen kecil yang sering diabaikan. Duduk bersama keluarga, memandang langit senja, menulis dengan sepenuh hati, atau bahkan sekadar mendengar dengan sepenuh jiwa; semua ini menjadi tindakan filosofis yang bernilai karena dijalani dalam kesadaran akan kefanaan.
Kematian orang muda kerap menjadi tamparan keras karena ia mencabut keyakinan diam-diam yang kita pelihara: bahwa waktu akan cukup. Tetapi tidak pernah ada jaminan waktu akan cukup. Dalam ruang batin yang telah diterangi oleh kesadaran filsafat, kita mulai memahami bahwa rasa duka dalam takziah bukan hanya karena kepergian orang yang dicintai, tetapi juga karena kita melihat kemungkinan giliran diri sendiri dalam kematiannya. Yang kita tangisi bukan hanya dia, tetapi juga ilusi kita sendiri yang tiba-tiba runtuh. Di hadapan jenazah, yang kita lihat sebenarnya adalah wajah waktu yang sesungguhnya: tidak bisa ditebak, tidak bisa dikendalikan, dan tidak bisa diminta apalagi diundurkan.
Momen ini seharusnya menjadi ruang perlawanan terhadap struktur hidup modern yang menumpulkan sensitivitas eksistensial. Kita hidup dalam masyarakat yang membangun mekanisme untuk menjauhkan manusia dari kematian: rumah sakit, rumah duka, peti mati yang rapih, bahkan kata-kata eufemistik seperti “berpulang” atau “tidur panjang.” Kematian disterilkan dari kehidupan sehari-hari. Padahal, dalam filsafat kontemporer, justru dengan mengintegrasikan kesadaran akan kematian ke dalam hiduplah manusia bisa membebaskan diri dari alienasi. Sebab kematian bukan musuh, tetapi guru yang paling jujur.
Menghadiri takziah adalah momen pengungkapan, bukan penutupan. Ia membuka lapisan terdalam dari diri manusia; lapisan yang sering dikubur oleh rutinitas dan distraksi digital. Kita dihadapkan pada kemungkinan kehilangan, dan pada akhirnya, pada kehilangan diri sendiri. Ketika seseorang yang kita kenal, apalagi yang muda, meninggal dunia, kita tidak hanya kehilangan sosok, tetapi juga bagian dari narasi hidup kita yang ikut berakhir. Ini adalah bentuk kematian simbolik yang mengguncang. Di titik ini, filsafat tidak menawarkan kata-kata manis, tetapi kejujuran pahit: bahwa hidup adalah perjuangan terus-menerus untuk menghadirkan makna, bukan menundanya.
Namun, dari kejujuran pahit inilah muncul potensi pembebasan. Kesadaran bahwa kita bisa meninggal kapan saja memampukan kita untuk mencintai lebih dalam, mengampuni lebih cepat, dan hadir lebih penuh. Ia menelanjangi semua alasan untuk marah yang terlalu lama, ambisi yang menyesakkan, dan kecemasan yang tak produktif. Apa artinya semua itu jika besok kita tiada? Filsafat kontemporer mengajarkan untuk hidup seakan-akan setiap hari adalah yang terakhir, bukan dalam sikap fatalistik, tetapi dalam keterjagaan eksistensial. Dengan demikian, hidup menjadi tindakan penciptaan yang terus menerus: mencipta makna, relasi, harapan, dan kedalaman.
Akhirnya, ketika kaki melangkah meninggalkan rumah duka, pertanyaan besar itu datang: “sudahkah aku benar-benar hidup? Sudahkah aku memilih hidupku sendiri, bukan yang dipaksakan oleh harapan orang lain? Sudahkah aku memaafkan, mencinta, memberi, mencipta, dan melepaskan? Ataukah aku menunggu, menunggu waktu yang tidak pernah menjanjikan apapun?”. Di sinilah filsafat menjadi panggilan sunyi yang paling jujur untuk mengajak kita kembali pada yang esensial, pada hidup yang dijalani dengan kesadaran bahwa setiap hari adalah anugerah, bukan hak. Takziah adalah undangan untuk berhenti sejenak, menyadari bahwa hidup ini bukan panggung pertunjukan yang bisa diulang, tapi satu-satunya kesempatan untuk menjadi manusia yang utuh. Maka, siapa pun yang berani menatap kematian dengan jujur, akan menemukan kehidupan yang lebih layak untuk dijalani. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Kulit Boleh Ganti, Namun Racun Tetap Berbisa
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Seorang doktor muda dari seberang sana mengirim pesan lewat piranti sosial, yang isinya menunjuk beberapa petinggi; pada masa lalu memiliki persoalan dengan negeri saat menjadi pejabat. Untuk beberapa waktu hilang ditelan bumi, namun kini muncul dengan tampilan baru. Di sisi lain ada “narapidana” ujaran kebencian yang dilayangkan kepada orang nomor dua di negeri ini beberapa waktu lalu, dan keputusannya sudah memiliki kekuatan hukum. Namun entah mengapa eksekusi tidak pernah dilakukan, yang bersangkutan hilang ditelan bumi begitu terbuka kedoknya; berbeda dengan para pencuri ayam, kambing, getah karet; sekalipun belum memiliki kekuatan hukum tetap, mereka sudah masuk buih duluan. Tampaknya sekarang ada adagium bagai ular cuma ganti kulit, namun racun tetap berbisa.
Ungkapan ini sebenarnya bukan hanya pernyataan bernuansa peringatan, tapi juga sebuah jendela menuju refleksi filsafat kontemporer yang dalam dan berlapis. Ia memuat kritik tajam terhadap segala bentuk perubahan yang sifatnya kosmetik; perubahan yang hanya terjadi di permukaan, namun esensi dan potensi bahayanya tetap utuh. Di balik metafora sederhana tentang seekor ular, tersembunyi kebenaran sosial, politik, psikologis, bahkan eksistensial yang sangat relevan dengan dunia modern. Dunia di mana kulit bisa diganti kapan saja, tetapi racun tetap aktif dalam diam.
Pada kehidupan saat ini, perubahan tampilan adalah mata uang sosial yang sangat berharga. Individu, institusi, bahkan negara, berlomba-lomba mengganti ‘kulit’ mereka agar terlihat segar, adaptif, dan progresif. Gaya berpakaian, cara bicara, slogan, merek, desain visual, jargon digital; semua bisa diganti dalam hitungan hari. Namun, jarang yang bertanya: apakah perubahan tersebut juga menyentuh niat, struktur, atau nilai-nilai terdalam yang membentuk entitas itu? Atau jangan-jangan, yang terjadi hanyalah kamuflase? Kulit berubah, namun isi tetap busuk. Racun yang dahulu mengancam tetap aktif, hanya saja sekarang dibungkus lebih rapi, lebih modern, dan lebih sulit dikenali.
Filsafat kontemporer banyak berbicara soal relasi antara penampilan dan esensi. Dunia modern telah menciptakan kondisi di mana representasi bisa menggantikan kenyataan. Penampilan luar tidak lagi menjadi jendela menuju yang dalam, tetapi justru menjadi penghalang yang menyembunyikan kenyataan yang sebenarnya. Dalam konteks ini, kulit baru menjadi alat yang sangat efektif untuk membentuk ilusi perubahan. Di sinilah letak bahayanya. Karena dengan kulit yang mengilap dan dirancang secara estetis, racun bisa bergerak lebih leluasa tanpa menimbulkan kecurigaan. Bahkan, racun itu bisa dipasarkan sebagai obat, karena tampilannya kini dibungkus oleh kata-kata yang menenangkan dan visual yang menipu.
Ular dalam ungkapan tersebut bukan hanya mewakili individu yang berpura-pura berubah. Ia juga bisa menjadi simbol dari sistem, institusi, atau kekuasaan yang telah mahir mengubah wajahnya agar tetap relevan dan tidak diganggu. Di ranah kehidupan nyata, sering kali kita melihat pemimpin yang berbicara tentang reformasi, regenerasi, dan transformasi. Namun setelah naik ke tampuk kekuasaan, mereka mengulangi pola dominasi lama, dengan teknik yang lebih halus. Retorika demokrasi digunakan untuk menutupi praktik oligarki. Bahasa perubahan digunakan untuk membungkus pelanggengan struktur lama. Ular telah mengganti kulit, dan masyarakat pun terkecoh. Padahal, racunnya bukan hanya tetap berbisa, melainkan semakin tersembunyi dan lebih sulit diberantas.
Bahkan dalam kehidupan personal, kita melihat pola serupa. Individu berlomba-lomba memperbaiki penampilan, membentuk identitas digital yang rapi, dan berbicara tentang pertumbuhan diri. Kata-kata seperti “healing”, “self-love”, dan “transformasi diri” menjadi bagian dari bahasa sehari-hari. Namun dalam banyak kasus, ini hanya lapisan baru di atas luka lama yang tidak pernah benar-benar dihadapi. Orang mengganti kulitnya, tetapi masih memelihara pola pikir destruktif, cara mencintai yang posesif, atau cara marah yang menekan. Racun dalam diri tidak dinetralkan, hanya disembunyikan agar tidak terlihat oleh publik. Padahal, racun yang disangkal jauh lebih mematikan daripada racun yang diakui.
Esensi dari perubahan yang sejati bukanlah pergantian bentuk, melainkan pergeseran nilai dan pembaruan kesadaran. Filsafat kontemporer berulang kali menekankan pentingnya kesadaran reflektif yaitu kesadaran yang mampu melihat ke dalam, mengakui keretakan, dan bersedia membongkar hal-hal yang telah lama dianggap mapan. Dalam hal ini, kulit baru yang tanpa kesadaran mendalam hanya akan menjadi selubung penipuan. Transformasi sejati menuntut keberanian untuk menyentuh racun, memahami asal-usulnya, dan perlahan-lahan menetralkannya. Bukan dengan menyembunyikannya di balik retorika positif, melainkan dengan proses jujur dan sering kali menyakitkan.
Filsafat kontemporer juga menunjukkan bahwa racun tidak selalu muncul dalam bentuk negatif yang vulgar. Terkadang, racun justru memakai wajah yang manis, kata-kata yang memikat, atau strategi yang menyentuh emosi. Dalam konteks ini, racun bukan sekadar ancaman biologis atau sosial, tapi juga ideologis. Sebuah ide bisa menjadi racun ketika ia menipu, mengontrol, dan meniadakan keberagaman. Dan ketika ide itu dikemas dalam format yang indah, dalam narasi kemajuan, atau dalam janji utopis, ia menjadi racun yang sangat sulit ditolak. Kulit baru membuat racun tampak seperti hadiah. Dan inilah yang membuatnya begitu berbahaya.
Dari seluruh perenungan ini, muncul kesimpulan penting: bahwa kita perlu membangun kepekaan untuk membedakan antara perubahan yang sejati dan yang semu. Kita perlu belajar mengenali kapan seseorang atau sesuatu telah berubah karena kesadaran, dan kapan mereka hanya mengganti kulit agar terlihat baik. Kita perlu belajar melihat ke dalam, tidak hanya terpaku pada permukaan. Dan yang lebih penting, kita perlu bertanya pada diri sendiri: apakah kita pun telah menjadi ular yang mengganti kulit namun tetap memelihara racun?
Transformasi sejati bukanlah kosmetik. Ia adalah proses lambat, reflektif, dan menyakitkan yang dimulai dari pengakuan atas racun yang kita miliki; baik sebagai individu maupun sebagai bagian dari sistem. Ia bukan tentang tampak lebih baik, tapi tentang menjadi lebih jujur. Ia bukan tentang citra, tapi tentang keberanian menantang kenyamanan lama. Kulit baru tidak cukup, jika racun tetap disimpan.
Maka, dalam dunia yang penuh pencitraan, mungkin peringatan terdalam untuk kita adalah:” jangan hanya jadi ular yang ganti kulit. Jadilah makhluk yang berani membuang racunnya”. Bukan untuk tampil lebih indah, tapi untuk hidup lebih jujur dan menyembuhkan dunia yang sudah terlalu lama dibungkus oleh transformasi yang menipu. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Ketika Kata Menjadi Luka
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Pelantikan seorang pejabat tinggi di bidang keuangan negara adalah momen yang mengandung beban simbolik cukup besar. Di sanalah harapan kolektif digantungkan, seakan-akan sosok baru ini bukan hanya datang membawa kebijakan, tetapi juga membawa wajah baru bagi sistem ekonomi yang selama ini dirasa jauh dan tak terjangkau. Namun ketika pada momen pertama kehadirannya ke publik ia menyampaikan sebuah pernyataan yang mereduksi keresahan rakyat menjadi sekadar “reaksi emosional minoritas” yang akan reda seiring dengan pertumbuhan ekonomi, maka simbol yang semestinya mengandung harapan justru menjadi sumber luka. Yang hadir bukan kebaruan, melainkan pengulangan: bahwa kekuasaan masih saja berbicara dengan jarak, masih saja mendefinisikan realitas dari menara statistik.
Filsafat kontemporer telah berulang kali memperingatkan bahwa bahasa bukanlah sekadar sarana komunikasi, melainkan instrumen pembentukan dunia. Di dalam kata-kata, kekuasaan membangun realitas; dan bisa jadi, setiap kata menjadi dasar tindakan. Maka ketika seorang pejabat publik berbicara, ia tidak sedang menyampaikan pendapat personal, tetapi ia sedang menyusun lanskap makna tempat rakyat akan hidup di dalamnya. Kata-kata yang keluar dari mulut seorang pejabat keuangan bukan sekadar refleksi pemikiran pribadi, melainkan sebuah performa simbolik yang mengukuhkan atau merusak legitimasi.
Ketika rakyat merasa harga-harga tidak terjangkau, ketika ketimpangan sosial tampak semakin telanjang, suara mereka adalah bentuk paling otentik dari eksistensi keberadaannya: mereka hadir, mereka menuntut, mereka menyuarakan ketidakadilan. Dan ketika suara ini dijawab dengan penjelasan teknokratis bahwa semua akan baik-baik saja nanti, bahwa pertumbuhan akan menenangkan gejolak, maka pada saat itu pula eksistensi rakyat didegradasi menjadi gangguan statistik. Mereka yang lapar, cemas, dan frustasi tidak lagi diposisikan sebagai manusia dengan pengalaman otentik, tetapi sebagai data yang harus dikelola.
Pendekatan ini sangat mencerminkan logika positivistik yang mendominasi cara berpikir kekuasaan modern. Dalam logika tersebut, hanya yang terukur yang dianggap sahih. Maka yang tidak bisa diukur: seperti rasa sakit sosial, penghinaan simbolik, dan rasa ditinggalkan; dianggap sebagai gangguan yang harus diredam, bukan didengarkan. Di sinilah ironi paling tajam dari kekuasaan kontemporer: ia berbicara tentang rakyat, tetapi tidak mendengar apa kata rakyat; ia berbicara atas nama keadilan sosial, tetapi meragukan legitimasi rasa sakit rakyat.
Filsafat eksistensial mengajarkan bahwa manusia adalah makhluk yang tidak bisa direduksi menjadi fungsi. Ia bukan alat dari kebijakan ekonomi, bukan entitas pasif yang menunggu bantuan pemerintah. Ia adalah subjek yang hidup, berpikir, dan merasakan. Maka ketika seorang pejabat publik meremehkan perasaan publik, ia sedang menyatakan bahwa emosi kolektif rakyat tidak punya nilai epistemik; bahwa marah dan kecewa bukan bagian dari pengetahuan, melainkan hambatan yang harus dilampaui. Ini adalah bentuk pelecehan epistemik, di mana satu pihak merasa berhak mendefinisikan mana yang rasional dan mana yang emosional. Dan biasanya, yang emosional adalah rakyat miskin, sementara yang rasional adalah para penguasa.
Namun sesungguhnya, yang mereka sebut sebagai “reaksi emosional” itu adalah bentuk paling jujur dari komunikasi model rakyat. Rakyat tidak memiliki akses ke statistik, tidak paham bahasa pasar obligasi, tidak punya tempat dalam negosiasi IMF. Yang mereka miliki hanyalah pengalaman sehari-hari: harga beras naik, biaya sekolah melonjak, lapangan kerja menyempit. Maka kemarahan mereka bukan gangguan, tetapi narasi yang valid. Dan ketika narasi ini disangkal atau dikecilkan, maka rakyat bukan hanya dibuat tidak relevan, justru mereka dihapus.
Bahasa kekuasaan, dalam konteks ini, menjadi kekerasan simbolik. Ia mengatur siapa yang boleh berbicara, siapa yang layak didengar, dan mana yang hanya layak diabaikan. Ketika seorang pejabat mengatakan bahwa rakyat akan diam setelah ekonomi membaik, ia bukan hanya menyampaikan harapan, tetapi sedang menanamkan premis bahwa penderitaan hari ini sah demi masa depan yang belum tentu tiba. Di sinilah lahir kejahatan metafisika kekuasaan: penderitaan hari ini dianggap wajar, karena janji kesejahteraan telah dicanangkan di esok hari. Padahal, yang menderita hari ini tidak hidup di masa depan. Mereka hidup sekarang, mereka berhak untuk mendapatkan sekarang. Dan, mereka berhak untuk bersuara sekarang.
Filsafat kontemporer; khususnya yang mencermati relasi antara kekuasaan, bahasa, dan tubuh, melihat bahwa kekuasaan tidak lagi hadir dalam bentuk represi fisik, tetapi dalam bentuk pengaturan diskursif. Kekuasaan tidak perlu melarang rakyat berbicara; cukup dengan menciptakan wacana yang membuat suara rakyat tidak terdengar, atau terdengar sebagai keluhan tidak rasional. Maka bahasa pejabat publik bukan hanya soal gaya atau kecakapan komunikasi, tetapi tentang siapa yang dimungkinkan untuk eksis dalam ruang wacana.
Pernyataan yang merendahkan jeritan rakyat bukanlah insiden kecil. Ia adalah penanda ideologi yang lebih dalam: ideologi di mana rakyat diposisikan sebagai objek pembangunan, bukan subjek keadilan. Dalam ideologi ini, ekonomi menjadi berhala baru, dan rakyat hanya layak dihormati jika mereka produktif, patuh, dan tidak cerewet. Maka ketika mereka bersuara, kekuasaan menjawab bukan dengan empati, tetapi dengan perhitungan. Keseimbangan fiskal lebih penting daripada keseimbangan perasaan. Padahal, negara tidak dibangun di atas neraca. Ia dibangun di atas rasa saling percaya. Dan tidak ada kepercayaan tanpa penghormatan terhadap luka.
Ketika rakyat merasa kecewa, terluka, atau marah atas pernyataan pejabat, sesungguhnya mereka sedang menuntut satu hal: pengakuan. Bukan sekadar pengakuan bahwa mereka ada, tetapi pengakuan bahwa mereka berarti. Bahwa suara mereka bukan sekadar gangguan, tetapi ekspresi autentik dari warga negara. Maka tugas pertama seorang pemimpin, sebelum berbicara tentang solusi, adalah mendengarkan.
Mendengarkan bukan untuk menjawab, tetapi untuk mengakui dan memahami. Dalam konteks itu, seorang pejabat publik tidak boleh hanya menjadi perumus kebijakan, tetapi juga pembawa empati. Ia tidak boleh hanya menjadi manajer sistem, tetapi juga pelayan rasa. Dan dalam masyarakat yang luka, bahasa harus menjadi jembatan, bukan palu godam.
Dalam peradaban yang sehat, pemimpin pertama-tama adalah pendengar. Sebab, hanya dengan mendengar, ia bisa mengerti, dan hanya dengan mengerti, ia bisa merawat. Oleh sebab itu, pejabat keuangan yang baru, alih-alih segera bicara tentang bagaimana ekonomi akan menyembuhkan segalanya, seharusnya bertanya lebih dulu: “Apa yang kau rasa hari ini?” Bukan karena pertanyaan itu akan membuat angka berubah, tetapi karena ia akan membuat manusia merasa dilihat. Karena dalam negara yang demokratis, tidak ada hal yang lebih penting daripada rakyat merasa dilihat. Bukan karena mereka bagian dari statistik, tetapi karena mereka adalah alasan mengapa negara ada. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Sinergi Akademisi Universitas Malahayati dan Masyarakat, Arah Baru Pengelolaan Sampah dan Akses Sanitasi di Tanggamus melalui Pelatihan Bank Sampah
Program ini melanjutkan hasil penelitian Vera Yulyani (Universitas Malahayati) mengenai pemberdayaan sanitasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa banyak masyarakat belum memiliki jamban. Melalui Bank Sampah Kapuran, diharapkan masyarakat dapat menabung dari sampah untuk membangun jamban sendiri, menciptakan lingkungan bersih, sehat, dan bebas BABS.
Harapannya, kegiatan ini dapat memperkuat kesadaran lingkungan, meningkatkan akses sanitasi, dan menjadi model pemberdayaan berkelanjutan di Kabupaten Tanggamus.
Pelatihan dan penimbangan di Bank Sampah Kapuran ini merupakan tindak lanjut dari pengukuhan bank sampah yang telah dilakukan sebelumnya oleh Dina Dwi Nuryani, Nova Muhani, Anita, serta tim dosen dan mahasiswa Universitas Malahayati sebagai bagian dari perwujudan Tri Dharma perguruan tinggi di bidang kesehatan masyarakat.
Pendanaan kegiatan ini didukung oleh Direktorat Jenderal Riset dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi melalui Skema PKM dengan judul:
“Peningkatan Partisipasi Masyarakat dalam Sinergi Pengelolaan Sampah dan Akses Sanitasi untuk STOP BABS di Kabupaten Tanggamus.” (gil)
Editor: Gilang Agusman
Hari Kedua PKKMB Universitas Malahayati, Prof. Sudjarwo Kupas Peran Pendidikan Tinggi dalam Membangun SDM Unggul
Acara dipandu oleh Satria Wijaya, S.Pd., M.Pd sebagai moderator, dengan narasumber utama Prof. Dr. Sudjarwo, MS, Guru Besar Universitas Malahayati yang dikenal sebagai akademisi senior dengan kepakaran dalam bidang pendidikan.
“Pendidikan tinggi bukan sekadar tempat belajar teori, tetapi juga laboratorium kehidupan yang mempersiapkan generasi muda untuk menghadapi perubahan dunia,” ungkap Prof. Sudjarwo.
Beliau menjelaskan, peran pendidikan tinggi sangat strategis dalam membangun sumber daya manusia (SDM) yang unggul dan berdaya saing global. Tiga poin utama yang menjadi sorotan adalah:
1. Menciptakan tenaga kerja terampil dan adaptif – Mahasiswa dipersiapkan agar mampu bersaing di dunia kerja yang terus berubah.
2. Mendorong inovasi dan riset – Perguruan tinggi harus menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bermanfaat bagi masyarakat.
3. Membangun karakter dan kepemimpinan – Pendidikan tinggi harus melahirkan generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berintegritas, visioner, dan siap memimpin.
Selain peluang besar, Prof. Sudjarwo juga menyoroti tantangan global yang dihadapi dunia pendidikan tinggi, mulai dari revolusi industri 4.0, perkembangan teknologi digital, hingga persaingan tenaga kerja lintas negara. Mahasiswa dituntut untuk tidak hanya menguasai ilmu pengetahuan, tetapi juga memiliki soft skill, kemampuan komunikasi, dan daya adaptasi yang tinggi.
Materi ini disambut antusias oleh mahasiswa baru Universitas Malahayati. Sesi tanya jawab berlangsung dinamis, memperlihatkan rasa ingin tahu dan semangat mereka untuk memahami lebih dalam tentang sistem pendidikan tinggi serta perannya bagi masa depan. Kemudian dilanjut pemaparan langsung dari LPPM (Lembaga Penelitian Pengabdian Masyarakat) yang dipimpin langsung Kepala LPPM, Prof. Erna Listyaningsih, SE, M.Si., Ph.D.
Universitas Malahayati melalui PKKMB 2025 berkomitmen tidak hanya memperkenalkan kehidupan kampus, tetapi juga menanamkan wawasan yang membekali mahasiswa untuk siap menghadapi tantangan global.
Hari kedua PKKMB ini menjadi bukti bahwa pendidikan tinggi bukan hanya ruang akademik, melainkan juga sarana untuk mencetak generasi bangsa yang cerdas, inovatif, dan berkarakter. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Hari Kedua PKKMB Universitas Malahayati, Brigjen TNI Enjang Tanamkan Semangat Bela Negara kepada Mahasiswa Baru
Acara dipandu oleh Satria Wijaya, S.Pd., M.Pd selaku moderator, dan menghadirkan narasumber istimewa, Brigadir Jenderal TNI Enjang, S.I.P., M.Han, Inspektur Daerah Militer (IRDAM) XXI/ Radin Inten.
Dalam pemaparannya, Brigjen TNI Enjang menekankan bahwa mahasiswa memiliki peran penting dalam menjaga keberlangsungan bangsa dan negara. Menurutnya, kehidupan berbangsa dan bernegara bukan hanya sekadar identitas formal, tetapi juga pengamalan nilai-nilai kebersamaan, gotong royong, serta kepedulian terhadap sesama.
Ia mengingatkan bahwa jati diri bangsa Indonesia berpijak pada Pancasila sebagai ideologi, UUD 1945 sebagai konstitusi, Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan, dan NKRI sebagai bentuk final negara. Mahasiswa, sebagai generasi penerus, diharapkan mampu menjaga keempat pilar tersebut dalam menghadapi berbagai tantangan zaman, termasuk arus globalisasi, degradasi moral, hingga penyalahgunaan teknologi.
Brigjen TNI Enjang menjelaskan bahwa bela negara bukan hanya berarti angkat senjata, melainkan bisa diwujudkan dalam banyak hal, seperti: belajar dengan tekun dan berprestasi, menjaga persatuan dan kerukunan, taat hukum dan berdisiplin, serta berkontribusi nyata di masyarakat.
“Kesadaran bela negara adalah kewajiban seluruh warga negara, termasuk mahasiswa. Dengan menanamkan disiplin, etika, dan kepedulian, kita semua bisa menjadi bagian dari benteng pertahanan bangsa,” ujarnya.
Dalam sesi tanya jawab, mahasiswa tampak antusias menggali pandangan narasumber tentang peran generasi muda di tengah kondisi bangsa saat ini. Brigjen Enjang menegaskan bahwa mahasiswa harus menjadi agen perubahan (agent of change) yang mampu memberikan solusi, bukan hanya menjadi penonton.
Hari kedua PKKMB ini menjadi momentum berharga untuk memperkokoh pemahaman mahasiswa baru tentang pentingnya berbangsa, bernegara, serta kesiapan mereka dalam membangun negeri. Dengan semangat bela negara, Universitas Malahayati berharap para mahasiswa mampu menjadi generasi tangguh yang siap menghadapi tantangan masa depan. (gil)
Editor: Gilang Agusman
PKKMB Universitas Malahayati Hari Kedua, Bekal Memasuki Era Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0
Acara pada Kamis (11/9/2025) ini dipandu oleh Rika Yulenda Sari, S.Kep., Ns., M.Kep selaku moderator, dan menghadirkan Dr. M. Arifki Zainaro, S.Kep., Ns., M.Kep, Kepala Lembaga Penjaminan Mutu Internal (LPMI) Universitas Malahayati, sebagai narasumber utama. Dr. Arifki membawakan materi dengan tema “Perguruan Tinggi di Era Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0”, yang memberikan wawasan penting bagi mahasiswa baru dalam menyiapkan diri menghadapi tantangan zaman.
Lebih jauh, Dr. Arifki menjelaskan konsep Society 5.0 yang diperkenalkan di Jepang pada tahun 2019. Society 5.0 merupakan visi masyarakat super cerdas (super smart society), di mana teknologi digital tidak hanya untuk efisiensi industri, melainkan juga diarahkan bagi kesejahteraan manusia.
“Jika Revolusi Industri 4.0 lebih menekankan pada integrasi teknologi, maka Society 5.0 menempatkan manusia sebagai pusatnya. Teknologi hadir untuk meningkatkan kualitas hidup, bukan sekadar menggantikan peran manusia,” jelasnya.
Suasana PKKMB hari kedua terasa penuh antusiasme. Para mahasiswa mendengarkan dengan seksama, banyak yang mencatat poin-poin penting, bahkan terlibat aktif dalam sesi tanya jawab.
Kegiatan ini tidak hanya memberikan pengetahuan akademik, tetapi juga motivasi untuk menjadi generasi unggul yang adaptif di era digital, serta mampu memberikan kontribusi nyata bagi masyarakat. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Hari Kedua PKKMB Universitas Malahayati, Bentuk Mahasiswa Berkarakter, Tegas Tolak Narkoba
Acara berlangsung hangat dengan dipandu oleh moderator Ayu Nursari, SE., ME. Dalam sesi ini, Universitas Malahayati menghadirkan narasumber istimewa, Fhata Z’Af Al’Ali, M.I.Kom, Penyuluh Narkoba Ahli Muda dari Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Lampung.
“Mahasiswa adalah agen perubahan. Jika kalian kuat dan tegas menolak narkoba, maka lingkungan sekitar pun akan ikut terlindungi,” tegasnya.
Lebih lanjut, ia juga mengajak mahasiswa baru Universitas Malahayati untuk menjadi duta anti narkoba di kampus maupun di masyarakat. Menurutnya, langkah kecil seperti berani berkata tidak terhadap ajakan, menjaga pergaulan, hingga aktif menyuarakan bahaya narkoba di media sosial merupakan kontribusi nyata dalam upaya pencegahan.
Kegiatan ini tidak hanya memberikan pemahaman, tetapi juga menjadi ajang motivasi bagi mahasiswa untuk mengembangkan diri dengan karakter yang sehat, tangguh, dan berintegritas. Universitas Malahayati pun menegaskan komitmennya untuk mendukung program pemerintah dalam menciptakan lingkungan kampus yang bersih dari narkoba.
PKKMB hari kedua ini menjadi bukti nyata bahwa Universitas Malahayati tidak hanya fokus pada aspek akademik, tetapi juga serius membentuk mahasiswa yang berkarakter kuat, peduli lingkungan, dan siap menjadi garda terdepan dalam melawan narkoba. (gil)
Editor: Gilang Agusman
PKKMB Universitas Malahayati 2025, Rektor Beri Pesan Inspiratif dan Sukses untuk Generasi Baru
Dalam pidatonya, Rektor menekankan pentingnya membangun karakter mahasiswa yang disiplin, kreatif, kolaboratif, dan tangguh. Menurutnya, keempat nilai ini merupakan pondasi penting untuk menghadapi dinamika dunia kampus sekaligus persaingan global di masa depan.
Rektor juga mengingatkan mahasiswa agar selalu menjaga nama baik almamater Universitas Malahayati, baik di dalam maupun di luar kampus. Ia menegaskan bahwa setiap mahasiswa adalah duta kampus yang membawa citra universitas di tengah masyarakat. “Nama baik almamater ada di pundak kalian. Jadilah pribadi yang berintegritas, santun, dan membanggakan keluarga serta kampus tercinta ini,” tegas Dr. Muhammad Kadafi.
Dalam pesannya, Rektor juga menyampaikan harapan besar kepada generasi muda Malahayati. “Kita melihat semangat luar biasa dari mahasiswa baru tahun ini. Mari kita doakan mereka bisa lulus tepat waktu, menjaga amanah orang tua, serta tumbuh menjadi insan cerdas dalam ilmu pengetahuan dan religius dalam sikap. Jadilah seperti pohon yang selalu memberikan kebaikan-kebaikan bagi masyarakat sekitar,” ucapnya penuh makna.
PKKMB 2025 pun menjadi momentum penting, bukan hanya sebagai pengenalan kehidupan kampus, tetapi juga sebagai langkah awal membangun generasi unggul yang siap berkontribusi bagi bangsa, masyarakat, dan dunia. (gil)
Editor: Gilang Agusman
PKKMB Universitas Malahayati 2025 Resmi Dibuka, Mahasiswa Baru Siap Jalani Perjalanan Akademik
Tahun ini, sebanyak 1.296 mahasiswa baru resmi bergabung dengan keluarga besar Universitas Malahayati. Kehadiran mereka menjadi bukti semakin tingginya kepercayaan masyarakat terhadap kampus yang dikenal sebagai salah satu perguruan tinggi unggulan di Lampung dan Indonesia.
“PKKMB bukan sekadar kegiatan seremonial, tetapi momentum bagi mahasiswa baru untuk mengenal lebih dekat budaya, nilai, dan kehidupan akademik di Universitas Malahayati. Inilah langkah awal untuk menyiapkan diri menjadi insan yang berkarakter, berintegritas, dan siap berkontribusi bagi bangsa dan masyarakat,” ujar Prof. Dessy.
Beliau juga berpesan agar mahasiswa baru memanfaatkan kesempatan belajar di universitas dengan sebaik-baiknya, tidak hanya untuk meraih prestasi akademik, tetapi juga mengasah soft skill, kepemimpinan, serta kepedulian sosial
PKKMB Universitas Malahayati 2025 sendiri akan berlangsung dengan serangkaian agenda, mulai dari pengenalan visi misi kampus, tata tertib akademik, organisasi mahasiswa, hingga berbagai kegiatan motivasi dan kebangsaan.
Dengan resmi dibukanya PKKMB 2025, Universitas Malahayati berharap para mahasiswa baru dapat segera beradaptasi, menemukan potensi diri, serta tumbuh menjadi generasi unggul yang membawa nama baik almamater ke kancah nasional maupun internasional. (gil)
Editor: Gilang Agusman