Kesantunan Berbahasa

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati, Pemerhati Masalah Sosial dan Pendidikan

Pada beberapa hari lalu negeri ini dihebohkan dengan ucapan dari “orang terkenal” memberi stigma kepada pemimpin negeri ini dengan memakai diksi yang tidak lazim. Akibatnya, publik menjadi meradang. Ada yang tersinggung secara kolektif, kemudian melaporkan yang bersangkutan kepada yang berwajib. Sementara itu,  secara personal pimpinan negeri ini tidak merasa tersinggung,dan tidak melapor ke polisi.

Sebagian orang memberi apresiasi kepada sang pemimpin akan keluhuran budi, dan kebesaran jiwanya. Itu berbanding terbalik dengan yang merasa tokoh pemberi stigma. Wilayah subjektif seperti ini kita diberi kebebasan untuk menafsir. Tampaknya pemimpin tertinggi kita saat ini banyak memposisikan persoalan personalnya pada wilayah ontologis, sehingga pihak lain bebas berpersepsi. Oleh karena itu, jika kita cerdas membacanya, maka tidak sembarang komentar kita lontarkan, sebelum melengkapi fakta objektifnya. Di sinilah diperlukan kesantunan tingkat tinggi bagi mereka yang ingin menangkap esensi persoalan dengan tidak merasa tinggi, apalagi merasa paling pandai, dan oleh karenanya tidak dengan sembarang ucap dan sikap.

Sebelum jauh maka kita tilik terlebih dahulu apa itu kesantunan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kesantunan atau santun adalah halus dan baik (budi bahasanya, tingkah lakunya); sabar dan tenang; sopan. Jadi, kesantunan berbahasa tercermin dalam tatacara berkomunikasi lewat tanda verbal atau tatacara berbahasa.

Sementara itu Windrasari dari UM Surabaya memberi batasan: kesantunan adalah meminimkan ungkapan yang tidak santun, dalam bertutur perlu memilih kata-kata dan tidak meremehkan status penutur. Kesantunan berbahasa adalah perilaku yang baik saat menggunakan bahasa, khususnya dalam berkomunikasi. Faktor penentu kesantunan adalah segala hal yang dapat mepengaruhi pemakaian bahasa menjadi santun atau tidak santun. Karena ketidaksantunan berucap itu pertanda dari pada strata mana yang bersangkutan berada. Strata dimaksud bukan sebatas strata sosial tetapi lebih kepada strata budi pekerti dan keluhuran budi. Dalam budaya jawa lebih mendekati pada makna “unggah-ungguh”.

Bentuk kesantunan berbahasa terbagi dalam dua bentuk yakni bentuk kesantunan linguistis dan bentuk kesantunan pragmatis. Kajian kesantunan linguistik yang sering dirujuk selama ini yakni Brown dan Levinson, serta Leech mencampurkan norma sosial dan penggunaan sumber daya linguistic. Kesantunan pragmatik adalah salah satu teori dalam kajian pragmatik. Prinsip kesantunan ini berhubungan dengan dua peserta percakapan, yakni diri sendiri (self) dan orang lain (other). Kata santun mempunyai makna yang sangat berbeda dengan kata sopan, meskipun sebagian besar masyarakat menganggapnya sama.

Jika kerangka pikir di atas kita gunakan untuk mengkaji ucapan yang boleh dipakai disaat ada pada wilayah publik; maka tidak salah mereka yang merasa tidak nyaman dengan pilihan diksi yang dipakai oleh pembicara, siapapun dia, jika itu ada pada wilayah yang harus menghormati orang lain sebagai pihak ketiga, keempat atau seterusnya. Manakala ketidak sukaan itu menjadi ketidaksukaan kolektif, tidak menutup kemungkinan akan ada perlawanan publik; terlepas dalam bentuk apa perlawanan itu.

Manakala kebebasan berbicara atau berpendapat dijadikan acuan, maka tidak salah juga pihak yang tersinggung atau terkena akan ucapan tadi, menggunakan hak yang sama untuk menunjukkan ketidaksukaan akan sesuatu yang tidak disukai. Dengan kata lain hak berbicara juga diimbangkan dengan hak menyatakan ketidaksukaan akan pendapat, adalah suatu kesetaraan yang esensial dalam mengemukakan pendapat. Dengan kata lain tidak sependapat juga sama dan sebangun dengan sependapat, hanya dari sudut sisi yang berbeda. Di sini letak kesantunan itu dituntut, baik bagi mereka yang sependapat maupun yang tidak sependapat.

Peringatan dini telah diberikan oleh Yuyun S Surya Sumantri bahwa; Bahasa, Matematika, dan Statistika yang diikat oleh logika, adalah dasar filsafat bagi tumbuhkembangnya ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu, jika ada ilmuwan yang tidak mendasarkan dirinya pada ketiganya dalam bertindak, maka sesungguhnya mereka diragukan untuk disebut ilmuwan apalagi filosuf. Dengan katalain semakin seseeorang itu berilmu, maka sikap tawaduk akan semakin kelihatan dalam ucapan, sikap dan tindakannya. Oleh sebab itu, tidak salah jika ada diantara kita mengatakan “saya sependapat dengan pendapatnya, tetapi saya tidak sependapat dengan caranya mengemukakan pendapat” adalah bentuk keagungan dan kedalaman budi teman tadi dalam menjalani kehidupan; dan itulah sebenarnya hakekat dari kematangan budi yang bersangkutan.

Kesimpulan sementara yang dapat kita ambil adalah “katakanlah kebenaran itu dengan cara yang benar” atau tegakkanlah kebenaran itu dengan cara yang benar, karena bisa jadi kebenaran yang kita suarakan atau tegakkan dengan cara yang tidak benar, tidak jarang berakhir dengan ketidakbenaran. Manakala kita masih berhubungan dengan mahluk berlabel manusia, maka di sana ada tatacara yang harus kita patuhi, dan itulah akhlakulkharimah yang membedakan manusia dengan mahluk lainnya. Oleh karena itu, jika kita menunjukkan perilaku atau sikap yang mengingkari kodrat kita sebagai manusia, maka akan tampak jelas kelas kita ada di mana. (SJ)

Selamat ngopi pagi

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply