Risak dan Dunia Pendidikan Kita
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Lampung
–
Beberapa hari lalu penulis mendapati kiriman video di group alumni dari seorang sahabat yang tinggal di Jakarta. Isi video itu tentang anak-anak pelajar muda merisak (bully/bullying) temannya. Kami di grup media sosiak mengomentari bagaimana lasaknya anak-anak itu dan tidak ada tindakan apa pun dari yang berwenang. Malang nian nasib anak pelajar tadi. Beberapa hari kemudian dari sumber yang sama dikabarkan yang anak malang itu meninggal dunia.
Sebelum kita lebih jauh berbicara, kita kenal dahulu apa itu bullying. Bullying berasal dari bahasa Inggris yaitu bull yang berarti banteng. Secara etimologi bullying berarti penggertak, orang yang mengganggu yang lemah. Dalam bahasa Indonesia, bullying disebut menyakat yang artinya mengusik (supaya menjadi takut, menangis, dan sebagainya), merisak secara verbal. Sementara itu, mengutip hasil rapat terbetas bullying Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA), bullying juga dikenal sebagai penindasan/perisakan (dari kata dasar risak).
Bullying merupakan segala bentuk penindasan atau kekerasan yang dilakukan dengan sengaja oleh satu orang atau sekelompok orang yang lebih kuat atau berkuasa terhadap orang lain, dengan tujuan untuk menyakiti dan dilakukan secara terus menerus. Menurut Unicef, bullying bisa diidentifikasi lewat tiga karakteristik yaitu disengaja (untuk menyakiti), terjadi secara berulang-ulang, dan ada perbedaan kekuasaan. Bullying bisa terjadi secara langsung atau online. Bullying online atau biasa disebut cyber bullying sering terjadi melalui media sosial, SMS/teks atau pesan instan, email, atau platform online tempat anak-anak berinteraksi.
Kembali kepada pokok persoalan di atas, ternyata ada masalah dengan pendidikan kita, jika memperhatikan bagaimana bullying atau yang dikenal populer sekarang perundungan itu sekarang. Ada teman yang mengatakan karena tidak adanya pendidikan budi pekerti, sehingga anak tidak memiliki adab sama sekali. Hipotesis ini sebenarnya terbantahkan karena pendidikan agama salah satu pokok bahasannya adalah adab, kemudian sopan santun dan seterusnya.
Ternyata ada yang esensial yang hilang. Pendidik kita dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi sangat disibukkan dengan administrasi akademik yang bergaris lurus dengan “cuan sertifikasi”. Bukti-bukti fisik itu lebih penting dibandingkan dengan keseriusan proses dalam arti “guru hadir” secara kejiwaan pada diri anak. Kehadiran guru sekarang hanya dimaknai hadir di muka kelas, bukan hadir di dalam jiwa anak didiknya.
Ada penelitian yang dilakukan oleh seorang kandidat Doktor bernama Herdian berkaitan dengan “Teacher Work Engagement”, menemukan pembuktian bahwa guru (dan bisa jadi juga dosen) dalam mengajar baru sebatas kehadiran fisik, belum secara total hadir sebagai seorang guru/dosen di muka kelas. Akhirnya yang terjadi adalah baru sekedar transformasi ilmu pengetahuan, dan ini yang dituntut oleh pemerintah kepada guru/dosen; buktinya adalah guru/dosen hanya mengejar target kurikulum. Sementara transformasi sikap, nilai dan yang berhubungan dengan aspek kematangan psikologis belum berjalan. Dengan kata lain pemerintah baru mampu melaksanakan pendidikan sebatas memindahkan ilmu pengetahuan dari kepala guru ke kepala murid. Jadi, tidak aneh jika pendidikan era sekarang belum sampai pada memanusiakan manusia Indonesia, baru sampai pada “memintarkan” rakyat Indonesia.
Sebagai pembuktian pada tahun 2024/2025 akan ada pemerintahan baru, berarti ada menteri pendidikan yang baru. Langkah pertama dari Sang Menteri adalah merombak kurikulum dengan diberi label, bisa penyempurnaan, penyelarasan, dan masih banyak lagi kamuflase bahasa yang dapat dipakai, namun intinya perombakan. Perombakan itu adalah keniscayaan, namun selalu menjadi persoalan perombakan-perombakan yang selama ini dilakukan, tidak lebih berfokus pada transformasi ilmu pengetahuan, tidak menyentuh esensi dasar dari pendidikan; yaitu transformasi nilai-nilai kemanusiaan yang universal.
Kesimpulan sementara yang dapat diambil bullying, perundungan, risak dan apapun namanya akan tetap terus berjalan manakala pendidikan yang digelar di muka kelas hanya sekedar transformasi pengetahuan, tidak menyentuh esensi pendidikan ansich. Perbaikan apapun yang dilakukan termasuk di dalamnya perbaikan kurikulum, perbaikan kesejahteraan guru, dan lainnya akan menjadi tidak maksimal jika perbaikan tidak menyentuh aras paling tinggi yaitu memanusiakan manusia.
Semua koreksian ini tidak untuk diratapi, apalagi mencari siapa yang salah. Akan tetapi yang lebih esensial adalah mari berubah bersama untuk menuju Indonesia yang lebih baik, dengan salah satu caranya adalah kembali mengkaji dan menerapkan nilai-nilai keindonesiaan untuk dapat diimplementasikan dalam dunia nyata melalui pendidikan.
Dari guru sampai guru besar harus mampu mengartikulasikan kembali nilai-nilai keindonesiaan yang telah dirumuskan dan disebut Pancasila itu, ke dunia nyata dalam kehidupan sehari-hari baik di dalam kelas maupun di luar kelas; salah satu caranya mereka (guru sampai guru besar) tidak perlu dibebani hal-hal yang bersifat administratif, biarkan mereka berkreasi untuk mengindonesiakan anak Indonesia dengan cara Indonesia. (SJ)