Parikesit Sang Raja Muda
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Syahdan diceritakan oleh dalang, setelah gugurnya Raja Hastinapura Prabu Duryudana dan Mahapatih Sengkuni, Kerajaan Hastinapur diambil alih oleh Pandawa. Pertemuan besar dilakukan untuk menetapkan siapa yang akan menjadi raja. Rapat yang dipimpin oleh Penasehat Agung Pandawa Prabu Kresna itu meminta pendapat semua yang hadir.
Lima orang anggota utama Pendawa dari Puntadewa, Bima, Arjuna, Nakula, Sadewa, tidak ada yang mau menjadi raja. Maka, diputuskanlah cucu Arjuna yang masih bayi bernama Parikesit dinobatkan menjadi raja. Saat itu punakawan Semar mohon waktu untuk mengungkapkan isi hati sebelum pelantikan dilaksanakan.
Dengan khas Pak Semar berkata, menggunakan diksi halus namun menohok. Intinya Semar keberatan Parikesit diangkat jadi raja. Sebab, Parikesit masih terlalu muda. Harus ada orang tua yang mendampingi anak kecil itu sebelum tumbuh dewasa guna memimpin negara. Menurut Semar, siapa yang akan menjadi pemimpin itu kodrat dari Sang Maha Kuasa. Sementara kepemimpinan itu diperoleh dari proses pengalaman kehidupan yang panjang. Tidak bersifat serta-merta atau “ujug-ujug” datang dari langit. Oleh karena itu, paling tidak harus ada tutor sebagai pendamping atau mentor dalam proses berkehidupan.
Suasana pertemuan menjadi hening, sunyi. Dalam hati, para petinggi kerajaan membenarkan apa yang dikatakan Semar. Namun untuk mengungkapkan mereka tidak memiliki keberanian.
Bahkan pemikiran Petruk anak Pak Semar lebih liar lagi bergumam, kenapa tidak cucunya Prabu Punthadewa saja, karena dia trah langsung raja Pandawa. Berbeda lagi otaknya Gareng, kenapa tidak kepemimpinan kolegial dengan cara semua cucu-cucu pendawa dari lima orang tadi diwakili cucu tertua masing-masing untuk menjadi Kepemimpinan Presedium.
Pemikiran-pemikiran “liar” tapi benar itu terbaca oleh Prabu Kresna yang juga sudah gaek; beliau mengajukan alternatif Raja Muda Parikesit didampingi Kakeknya yaitu Prabu Baladewa, yang beliau ini adalah Abangnya Prabu Kresna; karena ditipu Kresna agar tidak ikut perang Baratayuda maka dia masih hidup. Pendampingan ini dilakukan sampai Parikesit dewasa, dan atau sampai Baladewa pralaya, entah mana yang duluan.
Sejak pertemuan besar itu, para punakawan tidak lagi muncul di kerajaan; mereka lebih memilih menjauh dan tinggal di Kampung Karangkadempel. Semar sudah “samar” (khawatir) akan kelangsungan kerajaan. Karena beliau orang bijak, tidak mau memaksakan kehendak, maka pilihan terakhirnya “diam dan tinggalkan”.
Cerita yang mirip kisah pewayangan itu, bisa jadi, terjadi di dunia nyata. Raja atau mantan raja yang khawatir akan kelangsungan kedinastiannya, memaksakan keturunannya — walaupun masih bau kencur — untuk meraih kursi kekuasaan yang akan ditinggalkannya.
Kisah ayah menyiapkan anak untuk meneruskan kekuasaannya ada juga di dunia nyata lainnya, di negeri tetangga. Perdana Menteri Singapura Lee Kwan Yew, misalnya, menyiapkan putranya (Lee Hsein Long) menjadi penerusnya. Namun, Tuan Lee berhitung matang. Ia berhitung bukan demi kehendak berkuasa atau demi kemakmuran keluarga dan kroninya. Lee Kwan Yew mendidik anaknya dengan bekerja keras untuk meraih pendidikan tinggi di Barat (Cambridge dan Harvard), menempuh pengalaman nyata, baru kemudian meraih kekuasaan di usianya yang matang dan pengalaman yang lebih dari cukup.
Ternyata apa yang dikatakan Pak Semar dalam cerita di atas benar adanya, kita bukan tidak percaya pada orang muda, namun ada adagium yang mengatakan “kalau orang muda belum merasakan tua, sementara orang tua pernah merasakan muda”, tampaknya patut untuk dicermati.
Sisi lain ada semacam hukum alam, tidak ada orang tua yang menghendaki anak turunnya sengsara seperti dia. Hanya saja mungkin beda caranya. Oleh karena itu, orang Jawa punya pepatah anak polah, bapa kepradah. Artinya, jika anak memiliki persoalan justru yang sibuk orang tuanya, walaupun tafsir ini tidak tepat benar.