‘Tantrum’ atau Mengamuk Sambil Mengantuk

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Barangkali pembaca mempunyai pengalaman melihat anak kecil, baik itu anak sendiri, kemenakan, atau cucu —  yang pada satu momen menangis sejadi-jadinya, tetapi matanya terpejam karena mengantuk. Jika pernah menemukan beginian, maka ini disebut dengan tantrum. Yaitu rasa marah pada anak, dengan intensitasnya kuat, tetapi asa kantuknya mengalahkan itu semua.

Tantrum merupakan bagian dari proses perkembangan yang dilalui anak. Biasanya terjadi terhadap anak berusia dua atau tiga tahun. Anak usia ini sudah bisa berbicara, namun belum jelas bahasanya. Kosakatanya juga masih minim sehingga kemampuan berbicaranya belum baik. Anak usia ini belum bisa mengelola emosi walaupun kemampuan tersebut sudah mulai ada. Bahayanya adalah pada cara mendidik anak dari orang tua, atau juga disebut pola asuh. Kebanyakan orang tua jika menghadapi anak yang sedang Tantrum akan memberikan apa yang dikehendaki anak. Akibatnya terbentuk pengalaman belajar pada anak, jika ingin sesuatu segera diituruti maka harus tantrum dulu.

Pertanyaan lanjut ialah:  apakah tantrum ini melekat sampai dewasa, dan bagaimana kalau yang terkena Tantrum adalah orang tua kepada anak. Tentu pembahasan menjadi sangat seru jika didasarkan pada penelitian yang sudah dipublikasi lewat jurnal-jurnal ilmiah. Namun rasanya tidak begitu tepat ruang ini untuk memaparkan sejumlah hasil penelitian; namun kita bisa langsung saja mengambil kerangka pikir dan beberapa kesimpulan yang dapat dijadikan dasar analisis.

Tantrum pada orang dewasa terjadi ketika seseorang kehilangan kendali diri secara emosional dan meluapkannya melalui tindakan agresif. Tindakan tersebut bisa dalam bentuk verbal atau fisik, misalnya berteriak, memaki, membanting pintu, menendang, atau melempar benda. Orang yang mengalami tantrum dapat kehilangan kepercayaan dari orang lain. Perilaku negatif ini juga membuat mereka sulit mempertahankan hubungan yang sehat dan harmonis. Tak hanya itu, perilaku tantrum juga bisa merusak reputasi, merenggangkan hubungan dengan rekan kerja, dan mengganggu produktivitas kerja. Betapa berbahayanya jika Tantrum ini melanda orang-orang yang diberi kepercayaan untuk memimpin suatu lembaga, apalagi negara. Tentu akibatnya akan sangat fatal, karena akan berimbas kepada banyak hal, dan banyak pihak.

Tantrum sekarang sudah bermetamorfose dalam bentuk lain, yaitu bagaimana orang tua berupaya sekeras tenaga dengan cara apapun, untuk mengkondisikan situasi agar anak-anak atau keluarga mereka untuk terus berlanjut menggantikan posisi orang tuanya. Terlepas dengan cara apapun mereka lakukan, semua itu demi generasinya. Dan ini sekarang disebut dengan “politik dinasti”, walaupun mungkin istilah ini tidak tepat benar.

Bisa dibayangkan sebagai contoh kecil, suami yang semula kepala daerah, itu pun sudah dua periode. Kemudian merasa banyak hal yang harus ditutupi, maka berupaya keras bagaimana kemudian agar istrinya jadi kepala daerah. Ada juga semula suaminya Kepala Desa, kemudian dengan situasi dan kondisi yang direkayasa sedemikian rupa, maka untuk pemilihan berikutnya harus menang istrinya. Secara hukum tidak ada yang dilanggar di sana, dan tidak ada juga yang dirugikan, hanya saja azas kepatutan: apakah itu elok?

Memang kewajiban orang tua itu salah satu diantaranya adalah memproteksi keluarga dari hal-hal yang tidak diinginkan, dengan cara apapun termasuk bila perlu sampai mengamuk, walau sambil ngantuk. Namun jika itu melanggar tatakrama, sopan santun ke timuran termasuk fatsun politik, rasanya menjadi kurang beradab. Apalagi sampai memaksakan kehendak kepada pihak lain, agar menuruti apa yang menjadi kemauan dirinya dalam melindungi keluarga. Tindakan overprotektif seperti ini adalah kekonyolan luar biasa dan sangat tidak berbudaya. (SJ)