Pemimpin Mental “Samo Iyo”

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Lampung

DIKSI di atas biasa diucapkan oleh “wong plembang” dalam melihat, mengevaluasi, menilai kemudian menyimpulkan dalam rangkaian berpikir keseharian; manakala berhadapan dengan dua peristiwa atau lebih, atau juga dua orang atau lebih; pada waktu menunjukkan kesamaan tindakan atau pikiran. Namun konotasinya lebih kepada yang bersifat negatif.

Bahasa sehari-hari yang khas ini memaksa para pendatang harus cepat beradaptasi, karena jika tidak maka mereka akan “dikerjoi”, terjemahan bebasnya akan dipermainkan, atau bisa sampai dipermalukan. Namun pada dasarnya, mereka ramah dan mau membantu, dan satu hal lagi sebagai sesuatu yang khas yaitu rasa humor yang tinggi, bahasa setempat “pernesan”.

Kita tinggalkan wong plembang pernesan, ternyata sekarang banyak orang yang berperilaku “samo iyo” yang diidentifiksi oleh orang Palembang tadi. Pada waktu menjabat mereka tampak patuh dan taat akan pimpinan; bahkan tidak jarang membungkuk-bungkukkan badan sebagai bentuk penghormatan.

Setelah tidak lagi menjabat; ternyata menjadi penghianat dengan berkedok demokrasi. Tidak jarang mereka berbalik badan kepada mantan pimpinannya; Dan, tidak jarang disertai dengan gumanan “aku balas kau sekarang”, atau, “gantian sekarang saya kerjain kamu”.

Padahal, dalam hati mantan pimpinannya juga berguman “sarolah kau” terjemahan bebasnya sudahlah kamu. Mereka berdua sama sama bermental samo iyo.

Ada seorang sekretaris daerah satu wilayah, semula sangat santun dengan pimpinannya, bahkan mengamini pada saat ditanya soal informasi bahwa pimpinannya tidak pernah ambil gaji. Ternyata setelah lepas jabatan dan menjadi orang biasa, berkoar-koar bahwa semua yang dahulu dikatakan itu bohong; karena sejatinya sang pemimpin mengambil gaji tiap bulannya.

Begitu ditanya mengapa berketerangan palsu, mereka dengan ringan mengatakan “dulu masih menjabat”. Padahal, pejabatnya juga berkata “ku budi ke kau” bahasa bebasnya saya tipu kamu.

Peristiwa di atas yang “samo iyo” itu; sekarang banyak yang beginian muncul kepermukaan mencari panggung. Mereka seolah “maboknya sekarang, minumnya besok”; sehingga tampak sekali bagaimana bermanis muka di depan kamera, apalagi di layar gadget.

Seolah menjelaskan dengan meyakinkan bahwa pimpinannya penuh dosa, dan dirinya orang bersih. Begitu ada klarifikasi bahwa sebenarnya dia adalah termasuk samo iyo dengan pimpinannya, langsung menghilang.

Mereka lupa bahwa jejak digital itu sulit untuk dihapus, dan itu bisa dibaca nanti di masa depan. Kalau jejak riel bisa di baca kemudian, sementara jejak digital bisa terbaca sampai kapanpun.
Ada lagi yang lebih aneh adegan samo iyo ini kompak ditampilkan dilayar kaca bersama “sesame iyoan”; sehingga tampak manis bagai sripanggung dalam berakting.

Mereka tidak sadar masyarakat sudah muak melihat mukanya, akibatnya drama India dan Korea lebih menarik untuk dilihat dari pada mereka.
Rakyat sudah semakin cerdas, tampaknya seleksi alam sedang berlangsung, saringan demi saringan berjalan sebagaimana adanya.

Mereka akan tersisih masuk barisan Samo Iyo; dan cacat sejarah yang mereka ukir sendiri menjadi semacam arsip dibenak banyak orang. Kita bisa mengingat opurtunis-opurtunis ini akan selalu muncul manakala bertemu panggung dalam acara apapun. Herannya lagi mereka seolah tidak punya muka justru mencalonkan diri menjadi anggota lembaga terhormat di negeri ini.

Semoga negeri ini segera terhindar dari orang-orang yang “samo iyo” ini, agar selamat sampai pada waktunya mewujudkan negeri yang sejahtera untuk semua, sesuai dengan tugas dan fungsi kita masing-masing.
Salam Waras dari penulis yang berangsur sehat. (SJ)

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply