Tua Perkasa, Muda Digdaya

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Beberapa waktu lalu, media ini memuat tulisan tentang bagaimana kekhawatiran akan munculnya pemimpin tua renta. Diperkaya dalil agama, penulisnya seakan berpesan bahwa mereka yang sudah lansia sebaiknya tidak direpotkan dengan urusan dunia.

Sampai pada titik ini, penulis sangat sependapat. Dipanjangkannya umur seseorang oleh Tuhan Yang Maha Esa (TYME), menurut penulis, setidaknya ada dua peluang, yakni:

PERTAMA, TYME memberikan kesempatan kepada seseorang supaya memperbaiki diri atau bertobat nasuha, sehingga kalkulasi akhir nanti sudah banyak perbaikan.

KEDUA, TYME memberikan kesempatan untuk memperbanyak amal sebagai bekal kelak di hari akhir. Dengan kata lain, panjangnya usia itu berbanding lurus dengan rasa sayangnya Tuhan pada mahluk-Nya. Tidak satupun mahluk yang mampu menembus rahasia keilahian itu.

Namun jika dikaitkan dengan pilihan hidup, salah satu diantaranya adalah menjadi pemimpin. Wilayah ini adalah wilayah usaha sebagai mahluk.
Adapun keputusan akhir dari usaha itu adalah wilayah ketuhanan.

Hak untuk mencalonkan diri juga sama dan sebangun dengan hak untuk berpendapat akan ketidaksukaan pencalonan diri. Untuk wilayah usaha sebagai bidang garap manusia, di sana tidak mengenal batas usia.

Sudah selayaknya manakala kita berbicara tentang usaha dan hak seseorang, finalisasi kita serahkan kepada TYME. Rasanya tidak elok kalau tulisan ini memaparkan hikayat bagaimana Tuhan mengubah takdir hamba-Nya karena sudah maduk hak prerogratif-Nya.

Banyak saat ini deretan pemimpin dunia yang sudah berusia lanjut, namun tetap mumpuni. Banyak pula, pemimpin muda yang tangguh. Misalnya, Presiden AS Donald Trump yang jadi presiden di usia 76 tahun dan Joe Biden di usia 77 tahun.

Masih banyak lagi pemimpin tua dan muda yang terpilih secara demokrastis.
Yang muda juga ada, Najib Bukele yang jadi presiden Amerika Tengah dalam usia 35 tahun dan Gabriel Boric yang terpilih jadi presiden Chile tahun 2021 dalam usia 35 tahun.

Saya yang juga telah berusia 70 tahun tetap juga berikhtiar dan berkarya sesuai watak, watek, watok bawaan lahir yang memang sulit untuk diubah.

Dengan begitu kita tidak bisa menghakimi keputusan seseorang atas sudut pandang kita. Karena itu, menyukai dan tidak menyukai adalah karena sudut pandang yang berbeda, serta memiliki porsi yang sama bobotnya.

Oleh sebab itu, biarkan perbedaan itu menjadi indah sebagi mozaik dunia. Tidak salah jika ada pendapat “sekalipun saya tidak suka dengan keputusan anda, tetapi saya tetap hormati hak untuk memutuskan pada anda.”

Hal ini yang tampaknya harus kita kedepankan, sehingga kita tidak memposisikan atau meminggirkan orang karena ketidaksukaan subyektif kita.

Semua kita membawa takdir sendiri-sendiri; dan harus dipahami bahwa selagi bukan takdir kita, maka tidaklah sesuatu itu menjadi milik kita. Dihalangi dengan cara apapun, jika takdir itu memang untuk kita, maka tidaklah ada artinya halangan itu.

Justru sekarang bagaimana kita menampilkan etika dan budaya yang lebih baik dari yang ada; karena penilaian dari aspek ini menjadi semacam tolok ukur kematangan seseorang dalam bersikap dan berperilaku.

Jangan sampai perilaku yang kita tampilkan menjadi kontra produktif dari apa yang kita cita-citakan bersama. Bahkanbisa jadi orang yang semula simpati, karena melihat tingkahpolah kita berbalik menjadi anti pati.

Hidup adalah pembelajaran, siapapun kita, apapun status kita; manakala kita tidak mampu menangkap “sasmito” kehidupan; maka kita termasuk orang yang merugi. Oleh karena itu janganlah kita bermain api kalau tidak siap terbakar; jangan pula kita bermain air kalau tidak siap untuk basah.

Dunia ini tempat kita bermain, oleh karena itu waktu yang singkat ini jangan sampai secara sengaja menyakiti hati teman; karena kita tidak mengetahui siapa diatara kita yang akan pulang duluan.
Salam Waras (SJ)

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply