Mengejar Asa
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Saat diundang oleh organisasi guru terbesar di negeri ini, saya diminta memberikan semacam “tauziah” atau wejangan. Karena pertemuan itu dalam rangka “penjaringan” dan dilanjutkan “penyaringan” bakal calon pimpinan organisasi untuk periode ke depan, maka ular-ularpun diberikan yang berkaitan dengan kedewasaan berorganisasi. Hal itu mengingat banyak di antara kita sering memaknai demokrasi masih kurang tepat. Salah satu di antaranya adalah yang berbeda itu adalah lawan. Padahal, perbedaan itu justru menunjukkan tumbuhkembangnya demokrasi.
Menjadi menarik karena banyak fenomena yang muncul sebagai dinamika organisasi tertua itu. Di antaranya bagaimana di antara anggotanya berkeinginan untuk mengejar asa dengan caranya. Ada yang sudah berposisi di samping, ingin pindah ke tengah. Ada yang sudah di tengah ingin pindah ke atas. Ada yang sudah di atas ingin turun ke bawah. Semua itu sah-sah saja asal “benar” dan “betul”. Karena bisa jadi benar tetapi tidak betul, betul tetapi tidak benar, atau tidak betul dan tidak benar. Untuk mencapai derajat betul dan benar itulah diperlukan aturan. Jika ada perselisihan dalam memaknai aturan itu diselesaikan dengan cara musyawarah dan mufakat. Tidak ketemu juga jalannya, maka persoalan diserahkan kepada jenjang diatasnya.
Sebelum lebih jauh kita mendiskusikan hal di atas, terlebih dahulu kita menemukenali apa yang dimaksud dengan mengejar asa. Mengejar asa berarti mengejar harapan, cita-cita, atau impian. Frasa ini sering digunakan untuk menggambarkan usaha seseorang dalam meraih tujuan atau harapan yang telah mereka tetapkan. Oleh karena itu, agar upaya tadi dapat berhasil dicapai dengan baik, maka diperlukan aturan yang benar dan betul.
Secara filosofis, perbedaan antara “benar” dan “betul” dapat dilihat dari aspek epistemologi (teori pengetahuan) dan ontologi (teori keberadaan) serta konteks budaya dan bahasa.
Mari kita telaah lebih dalam: Dalam epistemologi, “benar” sering kali dikaitkan dengan konsep kebenaran objektif. Ini berarti sesuatu dianggap benar jika sesuai dengan fakta atau realitas yang ada. Kebenaran objektif biasanya diverifikasi melalui metode ilmiah atau logika yang ketat, atau tataaturan yang telah disepakati dan diformulasikan sebagai azaz yang harus dipatuhi oleh lingkup yang menggunakannya. Sedangkan “betul” dapat lebih berhubungan dengan kebenaran subjektif atau intersubjektif, yang artinya sesuai dengan persepsi atau kesepakatan bersama. Ini bisa melibatkan aspek penilaian, persetujuan sosial, atau consensus; dasarnya adalah musyawarah untuk mufakat.
Secara ontologis, “benar” bisa berkaitan dengan keberadaan dan esensi sesuatu yang nyata dan ada. Mengacu pada sesuatu yang memiliki eksistensi nyata dan dapat dibuktikan keberadaannya. Sedangkan “Betul” dapat lebih mengarah pada kesesuaian atau kelayakan dalam konteks tertentu. Ini tidak selalu harus bersifat universal tetapi dapat diterima dalam situasi tertentu.
Mengacu pada konteks budaya dan bahasa,”benar” dan “betul” bisa menunjukkan cara pandang yang berbeda terhadap kebenaran. “Benar” lebih formal dan mungkin menunjukkan penilaian yang lebih ketat dan objektif karena dasarnya parameter yang disepakati. Sedangkan “betul” Lebih kasual dan fleksibel, dan sering digunakan untuk menyatakan persetujuan atau konfirmasi.
Oleh karena itu, benar dan betul sering terkait dengan marwah organisasi; konsekwensinya anggota dan seluruh unsur yang terkait didalam organisasi itu harus selalu menjaga diri agar selalu ada pada posisi benar dan betul. Manakala ada perbedaan diantara keduanya, harus ada rasionalitas sebagai alasan yang mendukungnya. Tanpa itu semua organisasi apapun nama dan tujuannya, akan kehilangan kepercayaan dari para pendukungnya.
Banyak contoh yang dapat kita lihat di negeri ini. Misalnya pada masa lalu ada organisasi politik yang begitu besar dan berwibawa, bahkan setiap pemilihan umum selalu keluar sebagai pemenang, malah sebelum digelar pemilihan umum, organisasi ini sudah menang duluan. Seiring perjalanan wakt, begitu anggotanya ada yang berposisi membedakan antara benar dan betul, maka mulailah satu persatu anggotanya rontok, bahkan membuat organisasi baru sebagai organisasi tandingan.
Mengejar asa itu boleh, tetapi berputus asa itu jangan; sebab manakala kita mengejar asa tidak kesampaian itu bukan berarti gagal, tetapi Tuhan ingin menunjukkan kekuasaan atas mahluknya; Demikian halnya jika saat kita sukses mengejar asa, bukan berarti kita harus bangga dan bertepuk dada; sebab jangan-jangan itu cara Tuhan menguji kita dalam menerima karunia-Nya. Agama mengajarkan “jika kita berhasil bersyukurlah, jika kita gagal bersabarlah” karena hanya Tuhan penentu segalanya. Salam waras. (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!