Dukungan itu Bernama Gombal

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Tulisan ini terinspirasi oleh penarikan dukungan dari dua kelompok “agak besar” terhadap satu calon pimpinan daerah “bekas” ibu kota negara; karena alasan yang “katanya” sulit diungkapkan. Dengan waktu hampir bersamaan, karena sesuatu “hil yang mustahal” mereka bersamaan menarik dukungan. Terlepas apa pun alasannya, tulisan ini tidak punya kepentingan apapun atas peristiwa itu. Hanya sebagai “penonton drama sosial” di negeri ini, menjadi tertawa sendiri melihat “penggombalan” yang dilakukan oleh kedua organisasi besar tadi.

Sebelum lebih jauh membahas apakah itu “gombal” dimaksud, maka dilakukan terlebih dahulu penelusuran maknanya. Dalam bahasa Jawa, kata “gombal” memiliki beberapa makna tergantung pada konteksnya. Secara harfiah, “gombal” bisa berarti kain perca atau kain bekas yang sudah tidak terpakai. Namun, dalam konteks sehari-hari, kata “gombal” juga sering digunakan secara kiasan untuk menggambarkan ucapan yang tidak tulus atau berlebihan, mirip dengan rayuan yang tidak serius atau basa-basi yang hanya untuk menyenangkan hati seseorang. Misalnya, jika seseorang dianggap terlalu banyak berbicara manis tetapi tidak benar-benar serius, mereka mungkin disebut “tukang gombal.”

Filsafat “gombal” adalah konsep yang sering kali digunakan secara kiasan untuk menggambarkan pandangan atau pemikiran yang terdengar mendalam atau filosofis, tetapi sebenarnya dangkal, tidak tulus, atau hanya berisi kata-kata indah tanpa makna yang nyata. Istilah ini menggabungkan gagasan filsafat, yang secara tradisional melibatkan pemikiran kritis dan mendalam tentang pertanyaan-pertanyaan fundamental kehidupan, dengan kata “gombal,” yang berarti sesuatu yang kosong, basa-basi, atau tidak serius.

Konsep filsafat gombal dapat mencakup beberapa hal berikut: Pertama, Retorika yang Keren, tapi Dangkal: Orang yang berfilsafat gombal mungkin menggunakan bahasa yang indah, retorika yang rumit, atau kutipan dari filsuf terkenal untuk memberikan kesan mendalam, tetapi tanpa landasan logis yang kuat atau tanpa maksud yang sungguh-sungguh.

Kedua, Rayuan Filosofis: Dalam konteks sosial, filsafat gombal bisa berarti menggunakan argumen filosofis atau pemikiran yang tampaknya serius sebagai cara untuk merayu atau memikat orang lain, tetapi tanpa maksud yang tulus atau komitmen yang mendalam.

Ketiga, Basa-Basi Intelektual: Filsafat gombal juga dapat merujuk pada percakapan atau diskusi intelektual yang hanya dilakukan untuk pamer atau untuk menunjukkan pengetahuan seseorang, tanpa niat untuk benar-benar mengeksplorasi atau memahami isu-isu yang dibahas.

Keempat, Kritik Sosial: Dalam beberapa kasus, konsep ini juga digunakan untuk mengkritik pemikiran atau gagasan yang dipandang tidak autentik, hanya mengikuti tren, atau hanya memanfaatkan istilah-istilah filosofis tanpa pemahaman yang mendalam.

Secara keseluruhan, filsafat gombal adalah semacam sindiran terhadap pemikiran atau ucapan yang terlihat pintar atau berbobot, tetapi sebenarnya tidak memiliki kedalaman atau keseriusan. Dan, inilah yang sangat membahayakan bagi mereka yang terkena gombalan, sehingga bagi mereka yang memiliki jiwa rapuh bisa-bisa mengalami “cidra psikhis”.

Akhir-akhir tampaknya negeri ini sedang dilanda sikap “saling gombal-i”; baik dari level atas, sampai paling bawah. Saling gombal ini diiringi dengan sikap “seolah-olah tidak tapi..Ya..” atau sebaliknya “seolah-olah ya padahal tidak”. Oleh sebab itu, bagi banyak orang ini disikapi sebagai kelompok tanpa pendirian; padahal sebenarnya mereka itu memang tidak berpendirian jika dirinya tidak ada didalamnya, atau tidak terpenuhi kepentingannya. Namun, jika ada, maka mereka akan berbuat apa saja sampai labidonya tersalurkan.

Politik gombal dapat memiliki berbagai akibat negatif bagi masyarakat dan sistem politik secara keseluruhan. Berikut adalah beberapa dampak yang bisa timbul akibat politik gombal:

Pertama, Kehilangan Kepercayaan Masyarakat: Janji-janji yang tidak terpenuhi dan retorika yang tidak diikuti dengan tindakan nyata dapat mengikis kepercayaan masyarakat terhadap politisi dan lembaga pemerintahan. Ini bisa menyebabkan apatisme politik di kalangan masyarakat bawah.

Kedua, Penurunan Partisipasi Politik: Masyarakat yang merasa dikecewakan oleh politik gombal cenderung menjadi kurang tertarik untuk terlibat dalam proses politik, seperti pemilu atau partisipasi dalam kegiatan politik lainnya. Banyak pihak memprediksi pada pemilukada yang akan datang sikap apatisme politik akan meningkat; ini bentuk kekecewaan terhadap penyelenggara negara.

Ketiga, Kebijakan yang Tidak Efektif: Politik gombal sering kali menghasilkan kebijakan yang bersifat populis dan tidak berdasarkan pada analisis yang mendalam. Akibatnya, kebijakan tersebut tidak efektif dalam menyelesaikan masalah yang ada dan hanya menjadi upaya untuk mencari popularitas semata.

Keempat, Korupsi dan Penyalahgunaan Kekuasaan: Ketika politisi lebih fokus pada retorika daripada tindakan nyata, ini bisa menjadi celah untuk korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Mereka mungkin mengalihkan perhatian dari tindakan-tindakan yang tidak etis dengan janji-janji besar yang tidak pernah terealisasi.

Kelima, Penurunan Kualitas Demokrasi: Jika politik gombal menjadi budaya yang meluas, kualitas demokrasi bisa menurun karena proses politik lebih banyak diwarnai oleh manipulasi dan pencitraan daripada substansi dan kebijakan yang baik.

Ternyata gombal-menggombal itu seolah-olah dilanggengkan dalam dunia perpolitikan saat ini, justru yang kasihan adalah rakyat yang semakin hari didorong untuk tidak memiliki pilihan. Memilih untuk tidak memilih seolah terkondisikan, sehingga penyelenggara negara tidak merasa bersalah. Sebab, rakyatlah yang memilih, sementara jatuhnya pemilihan di tangan rakyat dengan berada pada posisi tidak memilih adalah sesuatu yang memang dikondisikan jauh-jauh hari.

Soal gombal-menggombal ini ternyata juga menular kedaerah lain; sebagai contoh dikota ini beberapa waktu lalu seorang mantan kepala dinas dengan yakin betul mendapat rekomendasi dari salah satu partai untuk maju menjadi kepala daerah. Dengan gagah berani yang bersangkutan melaukan deklarasi; saat pelaksanaan molor sampai dua jam, dan ternyata hanya mendapat rekomendasi saja, itupun oleh sekretaris. Wal hasil hari ini yang bersangkutan-pun harus menerima kenyataan bahwa dirinya hanya “digombali”.

Ada lagi pimpinan partai politik besar yang sudah dibesarkan oleh dirinya, maksud hati ikut kontestasi pilkada dan berharap dapat dukungan dari ketua umum. Begitu hari “H” ternyata dukungan justru diberikan kepada rival politiknya, tentu dengan alasan yang dibuat “rasional”. Pupus sudah harapan dan entah apa yang ada di benak beliau, dibela-belain lompat partai, ternyata partainya sendiri menjadi “pembunuhnya”. Kasihan memang, tetapi “itulah politik bung” tidak ada teman abadi yang ada kepentingan abadi. Sementara salah satu metoda dari cara melanggengkannya dengan “pengkadalan”.

Tampaknya cerita belum tamat. Babak baru dimulai lagi dengan penetapan yang membangkitkan harapan baru untuk mereka yang ditinggalkan. Lembaga yang berwenang mengadili suatu aturan memutuskan lain. Keputusan itu justru membuyarkan skenario yang ada dan selama ini dipakai. Walaupun pada menit-menit terakhir namun tampaknya Tuhan berkehendakl lain, apakah itu mempercepat kesengsaraan atau menunjukkan jalan penyelesaian. Mari kita tunggu skenario langit dalam mengatur jagat raya dan isinya. Tuhan tidak akan menggombali makhluknya. Salam Waras. (SJ)

Editor: Gilang Agusman