Mesin Pintar yang tidak Pintar

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Minggu lalu redaktur dan penulis dari rekan media dibuat bingung sebab tulisan yang diunggah ternyata tidak mucul penuh, yang hadir di laman pembaca hanya judul, sementara isinya tidak tampak sama sekali. Tentu saja hal ini membuat seribu tanya bagi kami yang bergerak di media online.

Satu persatu kami telusuri, dari langkah awal sampai dengan akhir, serta uji coba dengan berita lain, ternyata semua baik-baik saja. Hipotesis kami ajukan bagaimana jika judul tulisan ditambah dengan diksi lain tanpa mengubah makna, walaupun sebenarnya itu sudah ada penjelasan pada alineia kedua batang tubuh tulisan. Betul saja setelah diberi penambahan diksi yang tidak mengubah makna, baru tulisan bisa ditampilkan penuh oleh mesin pintar.

Peristiwa ini membuat kami semua tertawa terbahak-bahak; ternyata mesin pintar itu tetap buatan manusia dan memiliki keterbatasan. Manakala aspek rasa dan budaya dilambangkan dengan diksi, maka mesin tidak mampu melakukan diteksi, akhirnya mesin memfonis kategori yang tidak bisa tampil.

Hal serupa dialami oleh teman sejawat saat menghadiri undangan pernikahan dirumah seorang sahabat. Beliau mencoba menggunakan media pintar menditeksi jalan dan tempat. Ternyata beliau disesatkan ketempat yang jauh memutar. Padahal lokasi yang dituju itu ditepi jalan utama kota ini, setelah dicek semua benar, dan beliau menyimpulkan mesin ini justru menjadi mesin penyesat.

Seiring dengan itu ada peristiwa pengabulan permohonan kepada lembaga tertinggi dinegeri ini yang mengadili peraturan perundangan. Ternyata keputusannya “dianggap” tidak sejalan dengan keinginan dari penguasa negeri ini. Saat tulisan ini dibuat, ada upaya dari para penguasa negeri untuk membuat “mesin sosial” tandingan. Tentu saja mesin sosial ini tampak menjadi “mesin bodoh”, karena untuk mereka berlaku “penidakan” sementara untuk orang lain “pengharusan”.

Hal ini membuat para cerdik pandai negeri ini merasa terpanggil untuk menyelamatkan negeri dari “keserakahan kekuasaan” dari segelintir orang. Mereka bahu-membahu melakukan penggalangan agar supaya semua kita menyadari bahwa sedang berlangsung “perampokan sosial” demi melangengkan kekuasan .

Ternyata mesin pintar yang tidak pintar sedang meraung dinegeri ini, mengejar tenggat waktu yang tinggal hitungan minggu, mereka mengeluarkan tenaga sekuat-kuatnya, dan dilakukan dengan cara apa saja; agar kemamuan mereka dapat terwujud, mengatur negeri seolah milik sendiri. Mereka lupa bahwa di sana ada Tuhan yang mengawasi dan siap menghakimi kita mahluknya. Mesin pintar bisa mereka akali untuk mengikuti kemauannya, namun mereka lupa ada kodrat disetiap tangan mahlukNYA.

Sistem algoritma ini memungkinkan mesin pintar untuk bekerja di berbagai bidang, mulai dari analisis data, pengambilan keputusan otomatis, hingga pemrosesan informasi kompleks dalam waktu nyata. Pemilihan algoritma tergantung pada jenis tugas yang harus diselesaikan dan karakteristik data yang digunakan. Termasuk mengutakatik hasil pemilihan apapun, karena dengan cara ini seolah-olah kecurangan menjadi kebenaran. Namun jangan lupa mesin, tetap mesin yang tidak punya rasa; oleh karena itu jangan kaget kalau yang dihasilkannya menjadi mati rasa. Akibatnya semua mau diakali termasuk undang-undangpun akan dikerjain, dianggap semua orang sudah buta rasa.

Peristiwa di atas seyogyanya menyadarkan kita bahwa sepintar apapun kita, bahkan mesin pintarpun dapat kita buat; namun itu tidak berarti apa-apa. Ilmu pengetahuan ditugaskan salah satunya adalah “mencari kesalahan dari tumpukkan kebenaran, dan mencari kebenaran dari tumpukan kesalahan”; karena tidak ada kebenaran dan kesalahan sempurna di muka bumi ini. Manusia hanya menjalankan kodrat dari apa yang telah ditetapkan sebelum dirinya lahir didunia ini. Salam Waras. (SJ)

Editor: Gilang Agusman