Perilaku “Micek-Mbudeg”

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Hari menjelang senja ada teman nun jauh di sana mengajak diskusi situasi kekinian negeri ini melalui piranti media sosial. Beliau menyoroti bagaimana para elite negeri ini yang tidak mau mendengar aspirasi warga atau rakyat, yang nota bene sudah memilih mereka bahkan menggaji mereka. Ditambah lagi tindakan represif yang ditampilkan “anak-anak kemarin sore” yang berbaju seragam karena “membeli” kepada para pengunjuk rasa. Sisi lain perilaku pengujuk rasa dari zaman Malari (tahun 1970-an) sampai kini masih begitu-begitu saja. Kalau tidak membakar nan bekas, merobohkan pagar, mengangkat tiang bendera, rasanya tidak gagah. Kesimpulan sementara diskusi daring itu ada pada kebanyakan kita terutama pejabat yang berwenang termasuk anggota terhormat dari lembaga yang dipilih rakyat adalah “micek lan mbudeg” (pura-pura buta dan tuli).

Mata  picek kuping budeg” adalah sebuah metafora Jawa yang menggambarkan seseorang yang tidak peduli atau tidak mau mendengar dan melihat kenyataan di sekitarnya. Mata  picek secara harfiah berarti “mata buta”. Itu untuk menggambarkan  seseorang yang tidak bisa atau tidak mau melihat. Kuping budeg berarti “telinga tuli”, yang menunjukkan seseorang yang tidak bisa atau tidak mau mendengar.

Dalam konteks ini, istilah ini biasanya digunakan untuk menggambarkan orang atau sekelompok orang yang acuh tak acuh atau sengaja mengabaikan fakta, peringatan, atau pendapat dari orang lain. Filosofi dari ungkapan “moto picek kuping budeg” dalam budaya Jawa menggambarkan sikap seseorang yang memilih untuk menutup mata dan telinga terhadap realitas atau nasihat/ pendapat orang yang ada di sekitarnya. Secara mendalam, ungkapan ini mengandung makna terkait dengan etika dan perilaku sosial, serta pengajaran moral.

Beberapa poin filosofis yang dapat diambil dari ungkapan ini: Pertama, Penghindaran Tanggung Jawab: Ungkapan ini mencerminkan sikap seseorang yang berusaha menghindari tanggung jawab atau kenyataan dengan berpura-pura tidak tahu. Dalam kehidupan sosial, sikap ini dianggap tidak bertanggung jawab dan merugikan diri sendiri maupun orang lain.

Kedua, Penolakan Kebenaran: “Mata picek kuping budeg” juga bisa diartikan sebagai penolakan untuk menerima kebenaran atau kenyataan yang tidak sesuai dengan keinginan pribadi. Ini mengingatkan akan pentingnya keterbukaan pikiran dan hati dalam menghadapi berbagai kenyataan hidup.

Ketiga, Kebijaksanaan dalam Mendengar dan Melihat: Dalam tradisi Jawa, kebijaksanaan sering kali dilambangkan dengan kemampuan untuk mendengar dan melihat dengan baik. Ungkapan ini mengajarkan bahwa untuk menjadi bijaksana, seseorang harus mau membuka mata dan telinga, mendengarkan orang lain, serta menerima pandangan dan nasihat dari berbagai sudut.

Keempat, Kritik Sosial: Istilah ini juga sering digunakan sebagai kritik sosial terhadap mereka yang berkuasa atau memiliki pengaruh tetapi memilih untuk menutup mata dan telinga terhadap penderitaan atau masalah masyarakat. Ini menjadi pengingat agar para pemimpin tetap peka terhadap suara-suara di sekitarnya.

Secara keseluruhan, filosofi dari “moto picek kuping budeg” menekankan pentingnya kesadaran, keterbukaan, dan tanggung jawab dalam interaksi sosial serta dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Juga filosofis ini mengandung maksud sebagai pengingat bagi setiap individu atau kelompok untuk tetap membuka mata dan telinga terhadap dunia di sekitarnya. Ini mengajarkan bahwa kehidupan yang bijaksana adalah kehidupan yang penuh dengan kesadaran, kepekaan, dan perhatian terhadap orang lain serta lingkungan.

Pada kehidupan sehari-hari saja kita tidak boleh berperilaku seperti itu, apalagi dalam mengelola negara yang sangat pluralis seperti ini, tentu kemampuan menangkap aspirasi dan pendapat dari elemen bangsa harus menjadi skala prioritas. Apalagi berkaitan dengan nasib bangsa dan negara, tentu kepekaan “rasa dan karsa” sebagai individu yang diberi amanah untuk berada pada “selangkah di depan, seranting di atas” amat diperlukan.

Atas dasar parameter di atas, tinggal kita melakukan evaluasi sekaligus penilaian sedang bagaimana negeri ini sekarang. Jadi jangan salahkan generasi “Z” dan generasi “Alpha” saat ini menyalurkan ketidaksukaan akan kondisi yang selalu memaksakan kehendak hanya untuk kepentingan sepihak. Mereka sangat menguasai teknologi, bahkan mereka adalah generasi yang sangat diuntungkan oleh teknologi. Oleh karena itu, reaksi mereka dapat menggemparkan seantero negeri hanya cukup dengan bermodal ujung jari. Salam waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman