“Keluargaku Syurgaku”

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Pagi itu, sekalipun badan agak meriang, karena sesuatu hal harus berangkat menuju ke pusat penghasil gula di daerah ini. Sudah mendekati dua puluh tahun tidak masuk kemari, dan ternyata tidak terlalu banyak yang berubah, terutama debu yang memerah dan harus menghidupkan lampu kendaraan saat melintas jalan raya perkebunan. Setelah lapor ke bagian keamanan luar dan masuk wilayah jalan menerobos hujan debu, sesaat kemudian masuk wilayah perkantoran, dengan terlebih dahulu harus melapor kepada kemanan dalam sebagai prosedur standar baku perusahaan. Jika dahulu belum menggunakan teknologi canggih; saat ini sudah menggunakan “pindai wajah” bagi semua pengunjung.

Karena waktu panggilan menghadap Tuhan sedang berkumandang, maka kendaraan di arahkan ke masjid yang dari pertama kali ke mari, sampai hari ini tidak ada perubahan. Tampak bersih, asri, walau menjadi kuno dan antik, tempat ibadah ini nyaman. Sesaat setelah selesai ritual keagamaan, sambil menunggu yang sedang diurus, maka duduklah di dalam ruangan luas berpendingin udara, tentu sangat nyaman.

Sambil memandang areal kebun tebu yang sangat luas, dan juga memandang bangunan pabrik dari kejauhan, terbayang jika semua ini dimiliki sendiri. Betapa bahagianya tentu keluarga besar yang akan ikut menikmati keberhasilan ini. Dan jika itu terjadi, maka langkah yang akan diambil adalah mencalonkan diri menjadi bupati, kemudian mengumpulkan modal dan pengaruh melalui keuntungan jualan hasil pabrik, dilanjutkan mencalonkan diri menjadi gubernur.

Program yang digalakkan adalah intensifikasi dan modrnisasi pertanian. Lahan kosong diinstruksikan ditanami tebu untuk kemudian dibeli oleh pabrik dengan harga pantas. Maka akan terjadi ekonomi saling ketergantungan dan mendukung, yang pada akhirnya akan terjadi “tetesan ke bawah” seperti halnya tetes tebu yang menjadi induknya gula. Teori Gunnar Myrdal ini cocok untuk menyelesaikan persoalan ekonomi dengan pola subsistensi.

Setelah cukup modal, maka melalui lobi-lobi dengan partai yang dapat dibeli dengan cara halus, serta bermodalkan “muka sederhana” tapi “ganas” maka langkah berikutnya maju menjadi presiden di negeri ini. Tentu dengan modal satu pabrik gula dan intensifikasi modernisasi pertanian daerah, maka jabatan presiden amat mudah untuk diraih. Apalagi dipoles dengan tipu-tipu wajah sebagai orang kebun yang tampak tulus sejatinya bulus, banyak orang akan yakin dan percaya bahwa janji manis itu menggiurkan bagai manisnya gula.

Kabinetpun disusun, anak pertama yang sarjana hukum sekaligus pengacara; dijadikan menteri hukum dan perundang-undangan, agar undang-undang yang dibuat selalu menguntungkan keluarga. Anak kedua yang doktor kesenian dijadikan menteri kebudayaan, anak nomor tiga yang insinyur pertanian dijadikan menteri pertanian dan tanaman tebu. Anak nomor empat yang kandidat doktor ekonomi dijadikan menteri ekonomi. Anak kelima yang ahli sejarah dijadikan kepala museum nasional perkebunan. Anak berikutnya dijadikan menteri investasi, dan disusul adiknya yang bekerja di pesawat dijadikan menteri perhubungan agar dengan mudah menyiapkan pesawat sewa pribadi jika diperlukan. Terakhir yang dokter dijadikan menteri kesehatan.

Sementara tetangga kiri kanan yang ahli masjid dijadikan menteri agama, yang masih gagah-gagah dijadikan centeng pabrik yang nanti dibangun di seantero daerah. Mereka-mereka yang kelihatan bersuara vokal, diberi proyek dengan pengawasan longgar untuk kemudian dikondisikan sehingga terjadi korupsi. Kasus korupsinya ini dijadikan tali pengikat leher, jika macam-macam maka akan diperkarakan, dan diberi ancaman penjara maksimal. Agar mulus semua, maka tidak ada orang yang dipercaya, yang ada diadu domba; sehingga mereka sibuk dengan urusannya.

Para menantu yang akan sekolah ke luar negeri tidak perlu repot naik pesawat komersial, cukup lapor ke kepala rumah tangga, maka akan disiapkan pesawat pribadi beserta uang saku dan pengawal lengkap. Mereka yang berhasrat menjadi pimpinan pemerintahan, dijadikan kepala daerah, dengan cara apapun. Sementara saudara saudara dari istri ditempatkan sebagai pengaman strategis; seperti seluruh mahkamah, apapun nama dan bidangnya, harus ada keluarga yang berfungsi “mengamankan dan menyelamatkan” semua kebijakkan.

Langkah berikutnya mempersiapkan putra mahkota untuk dijadikan “penerus dinasti”, dasar pemikirannya negara Amerika saja yang dedengkot demokrasi keluarga Bush bisa menjadi presiden; kemudian tetangga sesama Asia Tenggaara Phillipina keluarga Marcos Sang Diktator-pun bisa; apa salahnya kita buat juga di sini.

Sayup sayup terdengan suara “……Pak…Pak…bangun urusan kita sudah diselesaikan anak-anak…ayo pulang..” Ternyata itu suara dari kepala polisi dapur yang membangunkan mimpi saya dalam tidur sesaat selesai shalat di Masjid Al-Ikhlas. Semoga para pendiri dan pengurus masjid ini selalu diberkahi oleh Allah dan dilipat gandakan amalnya. Salam Waras. (SJ)

Editor: Gilang Agusman