Buyan

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Hari Minggu, 1 September lalu, media ini memuat opini tulisan HBM yang membahas tentang seharusnya menjadi kepala daerah dengan mentor gratis berstatus pejabat dikirim Mendagri Tito Karnavian ke daerah ini.

Mantan mahasiswa yang ijazah pascasarjananya ditandatangani penulis artikel ini merasa tersanjung membaca tulisan itu. Namun, begitu ditutup dengan satu diksi buyan malah merangsang urat geli untuk ikutan menguliknya.

Kita telusuri terlebih dahulu apa makna diksi judul tulisan ini: buyan. Kata itu merupakan bahasa yang sehari-hari digunakan oleh masyarakat Kota Palembang, Sumatera Selatan dan sekitarnya.

Dikutip dari laman resmi Universitas Krisnadwipayana, buyan dalam Bahasa Palembang memiliki arti “bodoh” dan tergolong sebagai kata celaan.

Penelusuran lebih jauh ditemukan informasi, kata buyan diturunkan dari Bahasa Jawa Kuno (Kawi) buyan (tergila-gila, gila, sinting, sakit jiwa, tidak dapat berpikir rasional).

Diksi ini juga sering bersanding dengan kata bengak yang memiliki arti “bodoh” atau “tolol”. Kata ini digunakan sebagai makian untuk mengungkapkan kejengkelan atau kemarahan.

Kesimpulan sementara jika diksi buyan digunakan itu masih dalam tataran kesal hati melihat sesuatu yang tidak tepat. Namun jika diksi bengak yang dipakai, itu menunjukkan kemarahan terhadap sesuatu.

HBM lebih memilih diksi buyan karena beliau tahu betul apa yang sudah ditampilkan oleh roll model (dalam hal ini penjabat gubernur) adalah contoh gratis yang bisa diambil pelajaran oleh para calon kepala daerah (cakada).

Namun HBM lupa bahwa para cakada saat ini “belum” atau mungkin “tidak” akan memikirkan contoh teladan tadi, karena kepalanya sedang diisi oleh rasa khawatir yang amat sangat akan kehilangan dukungan partai pengusung.

Bahkan banyak diantara mereka sedang ada pada posisi “ngeri-ngeri sedap” karena dukungan bisa dengan cepat lijung. Sudah gelek segalo jemat dukungan belum mantap; tentu kondisi ini membuat cakada pada blingsatan.

Contoh perilaku yang ditampilkan “Pak Guru Gubernur” adalah sesuatu yang penuh dengan muatan moral dan etika, sehingga memposisikan orang bukan pada atas bawah secara hirarkhis.

Walaupun itu sah-sah saja; tetapi beliau memposisikan pada kesetaraan, bahkan tidak jarang sedikit meninggikan kepada lawan bicara atau lawan hadap.

Hal ini diakui oleh banyak tamu yang sudah sowan kepada Beliau. Terakhir, rombongan tamu asosiasi keperawatan yang di dalamnya ada dosen, sampai beliau berdecak kagum dan berkomentar “baru nemu pejabat kayak gini”.

Bahkan ada yang membandingkan saat yang bersangkutan bertamu kepada kepemimpinan pendahulu, baru masuk ruangan sudah kena “gas poll”.

Apakah pejabat yang memiliki latarbelakang guru akan begini perilakunya? Sebagai guru juga, saya katakan belum tentu. Belum ada penelitian juga menemukenalinya.

Namun jika dikaitkan dengan keperibadian “melayani” yang itu melekat pada profesi guru, tentu kesimpulan itu sudah dapat dijadikan aksioma untuk dinaikkan menjadi hipotesis, yang kemudian dilakukan uji lapang.

Namun demikian ada hal yang menarik lainnya, ialah karena kepribadian seperti ini, berkecenderungan sikap yang ditampilkan sangat hati-hati.

Kehati-hatian yang berlebih ini terkesan jadi lamban dalam mengambil keputusan, sebab pertimbangan yang diambil bukan hanya materi yang diputuskan, akan tetapi juga cara memutuskan sampai dampak akan keputusan itu baik secara institusional maupun personal.

Oleh sebab itu saat ada isu yang dihembuskan akan adanya pergantian pejabat di lingkungan pemerintah daerah, mereka yang paham akan karakter PJ bersikap senyum dikulum, karena hal itu tidak akan terjadi secepat apa yang dipikirkan orang.

Kehati-hatian menjadi selalu yang terdepan, sekalipun banyak orang sulit membedakan kehati-hatian dengan lamban.

Beliau tentu akan mengedepankan “waktu boleh singkat, namun kesan harus mendalam” adalah sesuatu yang selalu diupayakan terus menerus dalam segala langkah, sikap dan perbuatan kepada siappun itu.

Ini bisa diuji dengan tesis apakah gubernur terpilih nantinya juga akan menemui wali kota. Jika jawabannya “Ya”; maka PJ berhasil membangun budaya baru dalam pergaulan kepemerintahan dan apa yang dilakukannya selama menjadi PJ berbuah manis.

Akan tetapi jika tidak, bukan berarti beliau gagal, tetapi karena kebuyanan yang bersangkutan dalam mengambil contoh. Terimakasih HBM yang telah memberikan rangsangan berfikir akan Lampung Yang Lebih Baik. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman