Pendidikan Etika
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Beberapa waktu lalu heboh di dunia maya ada calon taruna salah satu angkatan di negeri ini melawan pelatih dengan cara menyerang secara fisik; padahal pelatih tadi pangkatnya perwira . Kejadian seperti ini menambah panjang daftar kasus yang menimpa lembaga ini, apalagi penyebabnya hanya karena menolak laptop yang bersangkutan akan dilihat oleh sang pelatih. Tentu saja hukuman disiplin berat langsung dijatuhkan dengan pemecatan kepada calon taruna.
Secara administratif kejadian itu sudah selesai, tetapi secara filosofis kejadian itu belum dapat dikatakan selesai; sebab itu hanya puncak gunung es dari gumpalan es yang besar di bawahnya. Maksudnya menjadi pertanyaan kenapa sampai berani seperti itu, note bene yang bersangkutan “baru tamat” Sekolah Lanjutan Tingkat Atas. Dengan kata lain ada sesuatu yang kurang, bahkan mungkin salah pada dunia pendidikan dijenjang ini.
Belum selesai merenungkan peristiwa itu; mendadak mendapat kiriman dari seorang sohib yang menjabat pimpinan tertinggi bidang pendidikan di daerah ini yang berisi rekaman “ledakan” pidato mantan wakil presiden dua periode di negeri ini. Beliau menggugat bagaimana kegagalan seorang menteri yang mengurusi pendidikan, riset dan teknlogi serta kebudayaan.
Isi pidato beliau sangat menohok karena disertai pembanding para pendahulunya yang dinilai banyak berhasil membawa generasi bangsa ini ke level yang terbaik pada zamannya. Serta kesalahan mencari negara rujukan sebagai tolok-kesepadanan; sebab selama ini yang dipakai adalah negara-negara Eropa yang memiliki budaya serta kebiasaan yang sangat berbeda. Dipertanyakan oleh beliau mengapa tidak menggunakan India, Korea Selatan yang itu merupakan negara satu kawasan dengan budaya yang tidak terlalu jauh berbeda.
Sebagai mantan pejabat nomor dua di negeri ini, tentu banyak makan asam garamnya mengelola negeri; terutama yang berkaitan dengan pendidikan. Beliau sendiri dikenal memiliki yayasan pendidikan sampai universitas yang bergengsi. Itu menunjukkan apa yang diucapkannya bukan hanya ilusi tetapi persepsi; sekalipun persepsi sendiri tidak bebas nilai, karena bisa saja orang lain yang memiliki pengalaman lain sehingga berpersepsi lain, justru mengatakan menteri pendidikan sekaranglah yang paling berhasil.
Terlepas dari itu semua, data menunjukkan banyaknya setiap tahun anak-anak muda negeri ini yang menuntut ilmu di luar negeri, baik atas biaya sponsor maupun biaya sendiri. Indikator ini dapat dijadikan penanda bahwa kualitas anak-anak bangsa ini mampu bersaing di kelas global.
Walaupun menjadi kaget manakala ada lembaga nirlaba dari luar sana yang melakukan penelitian, ternyata IQ anak-anak kita berkategori papan bawah.
Belum lagi jika kita simak dengan seksama bagaimana perubahan sikap dan perilaku generasi Alfa sekarang terhadap tatakrama sopan santun kepada orang dewasa, termasuk guru.
Jadi jika kita kaitkan dengan peristiwa di atas, ternyata isi pendidikan kita saat ini diduga hanya bermuatan capaian materi pembelajaran, tidak disertai capaian kematangan kepribadian. Dengan kata lain transfer materi pembelajaran tidak disertai transfer nilai-nilai kepribadian, atau kemampuan menguasai kecakapan keterampilan, tidak disertai capaian penguasaan kematangan diri.
Hubungan antara pendidikan dan kepribadian merupakan topik yang penting dalam psikologi dan pendidikan. Pendidikan tidak hanya memberikan pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga berperan dalam pembentukan kepribadian seseorang. Secara keseluruhan, pendidikan memainkan peran kunci dalam pembentukan kepribadian individu. Pengalaman pendidikan yang positif dapat mendukung pengembangan kepribadian yang sehat dan seimbang, sementara pengalaman pendidikan yang negatif dapat memiliki dampak sebaliknya.
Sementara itu hubungan antara pendidikan dengan etika sangat erat, termasuk didalamnya tatalaku beragama; karena pendidikan berperan penting dalam pengembangan pemahaman etika dan moral individu. Oleh sebab itu secara keseluruhan, pendidikan berfungsi sebagai sarana utama untuk mengajarkan dan memperkuat etika.
Dengan memberikan pengetahuan, nilai-nilai, dan keterampilan yang diperlukan untuk memahami dan menerapkan prinsip-prinsip etika, pendidikan membantu membentuk individu yang mampu bertindak dengan integritas dan tanggung jawab dalam kehidupan pribadi dan profesional mereka. Termasuk didalamnya menjalankan syariat agama yang dianut.
Negeri ini tidak hanya membutuhkan orang pintar, tetapi lebih kepada pintar yang beretika dan bermoral, serta berahlakulkharimah; karena tidak ada satupun koruptor yang ditangkap KPK itu orang bodoh, mereka boleh dikatakan semua sarjana, bahkan ada yang bergelar doktor dan guru besar; itu merupakan salah satu indikator mereka orang pintar. Tetapi kepintaran yang tidak disertai moral dan etika serta tatalaku beragama; maka kehancuranlah yang akan dijumpai. Bagaimana tidak hancur jika kursi jabatan dan kursi sekolah/kuliah diberi label “harga” untuk dapat mendudukinya.
Sudah sangat mendesak sekarang memahamkan pentingnya pendidikan kepribadian yang didalamnya ada unsur etika dan moral serta agama. Semua itu tidak mungkin bisa dikerjakan oleh guru di sekolah; harus juga disertai peran aktif orang tua di rumah bersama unsur elemen masyarakat lainnya, bahu membahu menyadarkan pada anak pentingnya moral dan etika serta agama dalam kehidupan. Kesuksesan itu tidak cukup bermodal pintar, tetapi etika sopan santun dan moralitas serta perilaku beragama adalah benteng kepribadian utama.
Jika calon Taruna di atas memiliki kepribadian etika moral yang baik dan laku agama yang bagus, maka dia tidak akan gegabah seperti itu dalam bertindak. Sesal kemudian tidak berguna, bak pepatah lama mengatakan “nasi sudah jadi bubur”. Semoga kita dapat memetik pembelajaran dari semua di atas. Menteri pendidikan boleh berganti satu hari tujuh kali, tetapi itu tidak berarti apa-apa jika pendidikan moral dan etika serta agama tidak didorong ke depan keberadaannya.
Oleh karena itu sekolah dapat saja dalam periodesasi tertentu mengundang ahlinya untuk memberikan pencerahan kepada orang tua siswa; bahwa tangung jawab kemajuan pendidikan itu bukan hanya tanggung jawab sekolah semata. Justru pada saat ini pendampingan oleh orang tua sangat diperlukan. Orang tua harus dapat “hadir” didalam benak anak-anaknya. Orang tua bukan “mesin pencari uang” untuk anak-anaknya saja, akan tetapi juga mitra strategis dalam mengarungi kehidupan yang makin kompleks dan keras seperti saat ini dan masa-masa yang akan datang. Salam Waras (SJ)
Editor. Gilang Agusman