Terjebak Situasi Tanpa Solusi
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Pagi menjelang siang di ruang kerja, kedatangan tamu seorang karyawan senior di lembaga tempat bertugas. Beliau adalah salah seorang yang suka mencermati situasi sekitar, termasuk menjadi pembaca setia semua artikel tulisan penulis yang terbit di media. Hari itu beliau menanyakan satu konsep budaya Jawa berkaitan dengan istilah “pulung” yang sering dikaitkan dengan kepemimpinan negara, raja atau apapun namanya. Tentu saja pertanyaan ini cukup berat mengingat situasi negeri ini sedang mempesiapkan prosesi pergantian kepemimpinan, serta maraknya akan dilaksanakan pemilihan kepala daerah; seolah-olah kita (baca: rakyat) dihadapkan dengan jebakan situasi tanpa solusi. Karena satu sisi, pimpinan paling atas sudah kehilangan pulung, kepemimpinan di bawah ramai-ramai mencari pulung.
Sebelum lebih jauh membahas tentang pulung; maka kita telusuri terlebih dahulu makna pulung kepemimpinan. Pulung kepemimpinan dalam budaya Jawa adalah konsep mistis yang berhubungan dengan kharisma dan legitimasi seseorang sebagai pemimpin. Pulung secara harfiah berarti berkah, pemberian, atau wahyu yang turun dari “langit”, dan sering kali dipandang sebagai tanda atau simbol ilahi yang menunjukkan bahwa seseorang telah terpilih untuk memimpin. Dalam budaya Jawa, konsep ini berperan penting dalam memahami bagaimana kekuasaan dan kepemimpinan diterima, dijalankan, dan diwariskan.
Pulung juga diyakini sebagai pemberian dari Tuhan atau kekuatan Ilahi. Orang yang menerima pulung dianggap sebagai pemimpin yang diakui oleh alam semesta dan kekuatan spiritual. Konsep ini sering kali muncul dalam cerita rakyat dan sejarah kerajaan Jawa, dimana seorang raja atau pemimpin besar dipilih berdasarkan pulung yang diterimanya.
Pulung ini bukan hanya simbol fisik, tetapi lebih merupakan wahyu atau tanda batin yang hanya bisa dirasakan oleh orang-orang tertentu atau melalui pertanda alam (seperti cahaya dari langit atau bintang jatuh dan atau lainnya).
Orang yang memiliki pulung dalam dirinya diyakini memiliki kharisma alami dan legitimasi spiritual untuk memimpin. Kepemimpinan yang dimiliki tidak hanya diakui oleh rakyatnya secara sosial, tetapi juga oleh kekuatan-kekuatan alam dan spiritual yang mendukungnya.
Kepemimpinan dalam budaya Jawa bukan hanya tentang kemampuan administratif atau politik, tetapi juga tentang kemampuan seseorang untuk membawa keseimbangan dan keharmonisan antara dunia material dan spiritual. Seorang pemimpin yang memiliki pulung diyakini bisa membawa kemakmuran, ketenangan, dan keselamatan bagi rakyatnya.
Dalam filsafat Jawa juga beranggapan, seorang pemimpin yang menerima pulung harus menunjukkan sikap bijaksana, adil, dan moral tinggi. Konsep ini mengandung harapan bahwa seorang pemimpin yang dipilih oleh kekuatan ilahi harus memimpin dengan sifat-sifat luhur seperti adil, arif, tepa selira (tenggang rasa), dan narimo ing pandum (ikhlas menerima takdir).
Kepemimpinan bukanlah kekuasaan yang dipaksakan, tetapi sesuatu yang alami dan diterima karena sikap dan tindakan yang benar. Jika seorang pemimpin melanggar nilai-nilai moral, diyakini bahwa pulung tersebut dapat hilang, dan ia kehilangan legitimasi untuk memimpin.
Pulung sering digambarkan sebagai cahaya atau sinar yang turun dari langit, yang mungkin hanya bisa dilihat oleh mereka yang memiliki penglihatan spiritual atau oleh orang-orang yang memiliki koneksi kuat dengan dunia “langit”. Ada berbagai cerita rakyat yang menggambarkan pulung sebagai “bola cahaya” yang turun ke seseorang, atau sebagai tanda-tanda tertentu di alam seperti fenomena alam, suara, atau mimpi yang dianggap sebagai pertanda Ilahi. Fenomena pulung juga seringkali dijelaskan dengan tanda-tanda alam yang tidak biasa, seperti munculnya bintang jatuh atau cahaya yang terlihat di atas tempat tertentu.
Dalam tradisi kerajaan dan kepemimpinan Jawa, konsep pulung menjadi salah satu dasar untuk menentukan apakah seseorang layak menjadi pemimpin. Dalam konteks ini, pemimpin tidak hanya dipilih berdasarkan garis keturunan, tetapi juga karena mereka dianggap menerima pulung dari kekuatan Ilahi. Hal ini menciptakan hubungan yang erat antara kekuasaan politik dan spiritualitas, dimana seorang pemimpin yang baik harus bisa menjaga harmoni antara dunia material dan dunia spiritual.
Pada kehidupan masyarakat Jawa, pulung masih diyakini sebagai elemen penting dalam memilih pemimpin, baik dalam skala kecil seperti desa hingga dalam skala besar seperti kerajaan atau negara. Pemimpin yang memiliki pulung dianggap mampu memimpin dengan lebih bijaksana, adil, dan membawa kesejahteraan bagi orang-orang di bawah kepemimpinannya.
Semua di atas menyisakan satu pemikiran bahwa kecenderungan kehilangan pulung atau berpindahnya pulung kepada orang lain; itu bukan wilayah manusia, tetapi lebih pada wilayah keilahian. Oleh karena itu sebagai rakyat kebanyakan tidak harus terjebak dalam situasi yang tanpa solusi; karena manakala kita memaksakan diri terhadap sesuatu, itu menunjukkan kita tidak mengakui kodrat yang sudah ditentukan. Oleh sebab itu mari kita bersama menyadari bahwa menjadi pemimpin itu tidak cukup berbekal jumlah suara yang dikumpulkan saat pemilihan saja, akan tetapi ada Yang Maha Berkehendak untuk menjadikan kita sesuatu di muka bumi ini. Tidak ada peristiwa yang kebetulan karena skenario itu ditulis sebelum kita lahir di alam ini. Soal bagaimana-pun caranya kita tidak akan mengetahui, karena ketentuan berikut cara itu satu paket dengan ketentuan takdir-Nya. Kita harus yakin bahwa pemimpin yang akan dilantik untuk memimpin negeri ini memang ada dalam garis kodrat yang sudah ditentukan, serta akan membawa kebermanfaatan bagi kita semua; tinggal dari sudut padang mana yang akan kita ambil. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman