Balas Dendam

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Sore menjelang malam alat komunikasi memberi sinyal bahwa ada berita masuk; betapa terkejutnya membaca pemberitahuan dari pembuat berita bahwa ada berita tentang sahabat yang tersandung persoalan hukum. Naluri ingin tahu menjadi tergelitik untuk menelusuri kebenaran berita tadi, sebab pada hari-hari ini dikejutkan beberapa berita yang berkaitan dengan masalah ketersandungan akan hukum. Secara nasional ada “kapten” pemilu yang kalah, ternyata dikulik kerjaan yang bersangkutan nyaris lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Sementara orang lain yang terang benderang melakukan penyimpangan import produk makanan, hari ini menikmati kursi menjadi menteri. Sejalan dengan itu siangnya bertemu seorang kepala unit satuan pendidikan di daerah nun jauh di sana, yang tidak merasa melakukan penyimpangan, ternyata didatangi pemeriksa dari pusat untuk mengetahui “dugaan” yang tidak terduga yang dilakukan oleh yang bersangkutan. Sementara ongkos mendatangkan team dengan jumlah besaran terindikasi berbanding terbalik.

Pertanyaannya adalah apakah ini merupakan salah satu cara membalas yang tertunda, atau popular dengan istilah “balas dendam”. Tulisan ini tidak masuk pada perkara ketersandungan masalah hukumnya, atau pendugaan akan kebalasdendaman; akan tetapi ingin membahas masalah balas dendam dalam konteks filsafat sosial. Karena perilaku seperti ini ternyata dari penelusuran sejarah banyak ditemukan dalam perjalanan manusia di muka bumi ini.

Berdasarkan penelusuran digital ditemukan informasi Dalam ilmu sosial, balas dendam dijelaskan melalui berbagai teori yang mempelajari motif, dampak sosial, dan psikologis di balik perilaku tersebut. Beberapa teori utama yang menyoroti konsep balas dendam meliputi:

1. Teori Pembalasan (Retributive Justice)
Teori ini berfokus pada gagasan bahwa pelaku kejahatan atau pelanggaran p erlu menerima hukuman yang setara sebagai bentuk keadilan. Dalam balas dendam, individu atau kelompok berusaha mengembalikan keseimbangan atau keadilan dengan membalas tindakan buruk (menurut mereka). Konsep ini juga diterapkan dalam sistem hukum, di mana pelaku kejahatan dihukum untuk mengimbangi dampak yang ditimbulkan kepada korban. Terlepas apakah hukuman yang ditimpakan berazazkan keadilan, atau sudah benar secara perundangan.

2. Teori Keadilan Distributif (Distributive Justice)
Balas dendam bisa muncul ketika seseorang merasa keadilan tidak ditegakkan, terutama dalam hal pembagian sumber daya, kekuasaan, atau pengakuan. Ketidakadilan dalam distribusi ini menciptakan ketidakseimbangan, yang bisa mendorong orang melakukan balas dendam untuk memulihkan perasaan adil dan menegakkan status sosial yang dianggap layak. Tampaknya teeori ini lebih menekankan pada pandangan subyektif dari yang merasa menerima ketidakadilan.

3. Teori Keadilan Restoratif (Restorative Justice)
Berbeda dengan pembalasan, teori keadilan restoratif berfokus pada pemulihan hubungan yang rusak dan perbaikan kerugian. Namun, ketika pemulihan ini gagal, individu atau kelompok cenderung menganggap balas dendam sebagai solusi untuk menyelesaikan masalah emosional. Orang yang gagal mendapatkan keadilan restoratif kadang merasa bahwa balas dendam adalah satu-satunya jalan keluar. Tampaknya teori ini pada masyarakat tertentu seolah mendapatkan legitimasi dari sistem sosial yang hidup ditengah mereka.

4. Teori Emosi Sosial
Menurut teori ini, balas dendam merupakan hasil dari respons emosional terhadap ketidakadilan, di mana perasaan marah, sakit hati, atau terhina mendorong individu untuk bertindak agresif. Emosi negatif yang tidak diatasi dapat memicu perilaku balas dendam sebagai upaya untuk meredakan ketegangan dan mencari kepuasan emosional. Keadaan seperti ini akan lebih membahayakan jika terkena pada emosional kolektif, sebab menjadikan perilaku masa yang sulit diatasi atau dibendung.

5. Teori Identitas Sosial
Dalam konteks identitas sosial, balas dendam kadang terjadi sebagai pembelaan terhadap kelompok atau komunitas. Ketika suatu kelompok merasa diserang atau diperlakukan tidak adil, anggota-anggota kelompok tersebut mungkin merasa perlu untuk membalas dendam demi mempertahankan identitas dan harga diri kelompok. Dendam kolektif seperti ini bisa terjadi menjadi turuntemurun, akibatnya mereka akan menciptakan garis demarkasi maya dalam sistem sosialnya.

6. Teori Pertukaran Sosial (Social Exchange Theory)
Menurut teori ini, balas dendam adalah respons terhadap ketidakseimbangan dalam hubungan sosial. Ketika seseorang merasa dirugikan, ia ingin “mengembalikan” kerugian tersebut kepada pelaku. Balas dendam dilihat sebagai upaya untuk mencapai keseimbangan dalam “timbangan sosial” antara hak dan kewajiban.

Teori-teori di atas memberikan wawasan tentang motivasi dan tujuan di balik balas dendam, serta dampak sosialnya. Secara umum, agama-agama besar (terutama agama agama langit) mendorong umatnya untuk menghindari balas dendam dan mencari kedamaian melalui pengampunan dan kasih sayang. Tujuannya adalah untuk mengakhiri siklus konflik dan mencapai ketenangan jiwa, mengingat bahwa balas dendam sering kali hanya memperburuk perasaan negatif tanpa membawa kedamaian sejati.

Namun kondisi itu akan berbeda jika dipandang melalui kacamata politik kekuasaan. Ditemukan informasi dalam kaji digital bahwa, balas dendam dalam politik kekuasaan sering kali adalah strategi untuk menjaga posisi, mempertahankan loyalitas, dan mencegah tantangan yang bisa mengancam stabilitas kekuasaan. Perlu diingat, tindakan balas dendam yang terus-menerus cenderung menghasilkan siklus konflik dan ketegangan yang merugikan stabilitas dan kemajuan demokrasi. Di sisi lain, dalam banyak sistem politik, balas dendam ini dianggap sebagai dinamika kekuasaan yang tidak dapat dihindari dan sering kali dilihat sebagai cara untuk menyeimbangkan kekuatan dan memulihkan rasa keadilan di mata pendukung masing-masing pihak.

Kalau alur berfikir di atas yang kita pakai, maka balas-membalas akan terus terjadi sepanjang masa. Kedamaian hanya sebagai utopia yang ada dalam perjalanan hidup anak manusia; oleh sebab itu apakah negeri ini akan kita kelola dengan saling intai akan kesalahan kita masing-masing. Semua kembali kepada kita semua sebagai warganegara yang Berketuhanan Yang Esa.  Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman