Perang Baratayudha Terjadi di Pilkada Lampung 2024
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Perang Baratayudha, yang merupakan puncak dari kisah epik Mahabharata, memiliki inti yang mendalam baik secara filosofis maupun spiritual. Menurut Pak Dalang Wayang Purwa, Perang antara Pandawa vs Kurawa merupakan pertempuran sedarah dari keluarga besar Dinasti Kuru.
Pandawa adalah putra Pandu, yaitu Yudhistira, Bima, Arjuna, serta Si kembar Nakula dan Sadewa (dari istri-istri Pandu, Kunti dan Madrim). Kurawa adalah putra Dretarastra dengan Gandhari, terdiri dari 100 putra (termasuk Duryodhana dan Dursasana) dan 1 putri (Duhsala).
Dalam ilmu genekologi Pandawa dan Kurawa adalah sepupu pertama.
Pandu (ayah Pandawa) adalah adik kandung Dretarastra (ayah Kurawa). Dengan demikian, mereka memiliki kakek dan nenek yang sama, yakni Raja Santanu dan Satyawati.
Meskipun mereka memiliki hubungan darah yang dekat, konflik antara Pandawa dan Kurawa menjadi inti cerita Mahabharata. Perselisihan ini dipicu oleh keserakahan Duryodhana yang enggan berbagi kerajaan, meskipun Pandawa juga memiliki hak sebagai anggota keluarga Dinasti Kuru.
Hubungan darah mereka menjadi latar belakang tragis dari Perang Baratayudha, di mana keluarga terpecah dan harus saling bertempur. Kisah Pandawa dan Kurawa dalam Mahabharata adalah alegori yang kaya dengan pelajaran moral dan sosial.
Jika dibandingkan dengan pemilu kepala daerah (pemilu kada), ada beberapa aspek dari konflik tersebut yang dapat memberikan perspektif mengenai dinamika politik modern. Ada persamaan atau analogi yang dapat dijadikan iktibar.
Dalam pemilu kada, konflik politik sering terjadi di antara keluarga atau kerabat yang bersaing merebut jabatan. Contohnya, ketika dua kandidat berasal dari keluarga yang sama, perpecahan seringkali tidak hanya mempengaruhi mereka tetapi juga masyarakat luas yang mendukung salah satu pihak.
Pertanyaannya, adakah peristiwa serupa tapi tak sama dengan di atas akan terjadi di daerah ini. Ternyata jawabannya bisa “Ya”. karena Pemilu Kada juga membawa kisah pilu kepada keluarga yang sedang memperebutkan kursi kekuasaan.
Siapa yang menjadi Kurawa siapa yang menjadi Pandawa, itu tidak penting. Yang lebih penting, Epos Mahabaratha itu ternyata sedang berulang di satu daerah di negeri ini.
Bisa dibayangkan semula satu keluarga bahu membahu untuk mendudukkan keturunan mereka pada satu kursi kekuasaan tertinggi di daerah ini; ternyata menjadi “ambyar” karena harus memperebutkan satu kursi yang menurut ukuran finansial tidak seberapa.
Akan tetapi “api yang membara” atas nama harga diri, maka semua bisa terjadi.
Tidak pernah ada kampanye untuk memenangkan kotak kosong, dan itu ada di sini, dilakukan oleh kerabat sendiri, dalam rangka atas nama “ketersinggungan” akan harga diri.
Ini menunjukkan ternyata Pemilu Kada bisa membutakan apa saja, termasuk keluarga; dan, atas nama “perebutan kekuasaan” berubah menjadi “menegakkan marwah” yang merasa dipecundangi.
Akibatnya kita yang melihat menjadi miris, sudah sebeginikah kekuasaan merasuk ketulang sungsum anak negeri ini. Entahlah …
Ternyata orang-orang terdahulu sudah membaca akan kejadian pada anak turunnya; atas nama kodrat mereka tidak bisa menghindarkan, namun atas nama moral mereka sudah memperingatkan.
Tinggal para generasi penerusnya mampukah membaca “tanda-tanda” yang telah diberikan jauh sebelum awal sesuatu dimulai.
Tampaknya kisah Pandawa dan Kurawa menjadi peringatan abadi bahwa perebutan kekuasaan yang tidak dilandasi nilai etika moral dan keadilan dapat membawa kehancuran.
Dalam konteks pemilu kada, seharusnya semangat kebenaran dan pengorbanan demi kepentingan rakyat perlu menjadi prioritas. Jangan sampai ambisi kekuasaan menyebabkan perpecahan dalam keluarga, masyarakat, atau bahkan bangsa. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman