Dialog Imajiner Semar dengan Wisrowo

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Diceritakan oleh dalang Wayang Purwa syahdan pada era jaman Lokapala hiduplah seorang tokoh agama bernama Wisrowo. Beliau adalah pemuka agama yang sangat mumpuni, terutama dalam urusan olah batin untuk mencapai kesempurnaan hidup. Namun Wisrowo dikodratkan untuk melahirkan angkara murka di bumi ini dengan ditanamkan sedikit benih duniawi oleh Yang Maha Esa untuk menunjukkan kekuasaan atas mahlukNYA. Akibat keingkaran Wisrowo maka lahirlah Dasamuka, Kumbakarna, Sarpakenaka, dan Wibisana. Bagaimana penyesalan yang sudah terlanjur dilakukan, semua itu diungkapkan kepada tokoh Semar berikut ini yang bersumber dari penelusuran digital jika diringkas akan terdeskripsi demikian:

Begawan Wisrowo: “wahai Kakang Semar, kau adalah pamomong dan pengasuh sejati. Kau selalu mendampingi mereka yang mencari kebenaran. Namun, mengapa dunia ini begitu rumit? Aku, yang telah mengabdikan hidupku untuk mesu budi meninggalkan urusan dunia, akhirnya tergoda oleh cinta. Keputusanku untuk menikahi Sukesi telah membawa kehancuran bagi Lokapala dan menciptakan keturunan yang memikul beban besar. Apakah ini jalan yang benar?”

Semar sedikit terkejut dengan ucapan Wisrowo dan beliau menjawab dengan serius: “Wahai Wisrowo, benar dan salah adalah dua sisi dari perjalanan hidup. Kau mengikuti suara hatimu, dan itu adalah bagian dari wujudmu sebagai manusia. Namun, setiap tindakan membawa akibat. Apa yang kau tanam, itulah yang akan kau tuai. Bukan salahmu jika dunia ini penuh dinamika. Yang penting, bagaimana kau bertanggung jawab atas apa yang telah kau mulai.”. Sergah Wisrowo, “Tapi Semar, Rahwana, anakku itu, telah menjadi ancaman besar bagi dunia. Itu adalah buah cintaku melalui Dewi Sukesi yang berarti melalui aku dia memiliki kehidupan di dunia ini. Apakah aku bertanggung jawab atas semua kejahatannya?”

Semar dengan sabar menjawab: “Wisrowo, kau telah memberikan hidup, tetapi kau tidak mengendalikan jalan hidupnya. Anak adalah amanah, tetapi mereka memiliki kehendak bebas. Tugas seorang ayah adalah menanamkan nilai-nilai kebenaran, tetapi apa yang mereka pilih adalah perjalanan mereka sendiri. Rahwana menjadi seperti itu karena nafsunya sendiri, bukan sepenuhnya karena warisanmu.”

Jawaban Semar itu membuat Wisrowo merasa makin tersudut dan berucap: “Lalu, apakah aku harus menebus kesalahanku? Apakah aku harus kembali ke dunia untuk meluruskan apa yang telah bengkok?”

Dengan tersenyum khas Semar menjawab: “Menebus bukan berarti menghapus apa yang sudah terjadi, tetapi menerima dengan lapang dada dan terus memberikan nasehat kebaikan. Hidup adalah lakon panjang, Wisrowo. Kau telah memberi wejangan kepada Wibisana anak bungsumu, dan itu adalah awal dari perubahan. Ingat, satu obor kecil bisa menerangi kegelapan besar. Tugasmu kini adalah menyerahkan semuanya kepada Yang Maha Kuasa.”

Wisrowo semakin gelisah mendengar nasehat Semar dan beliau memotong ucapan Semar: “Semar, aku hanyalah manusia yang penuh keterbatasan. Kadang aku merasa terlalu berat untuk memahami kehendak Sang Pencipta. Mengapa Ia membiarkan kesalahan-kesalahan ini terjadi?”

Sekali lagi Semar memberikan pemahaman dengan caranya:”Wisrowo, kehendak-Nya adalah misteri. Tetapi satu hal yang pasti, setiap peristiwa adalah bagian dari takdir besar yang membawa keseimbangan. Bahkan Rahwana, meskipun penuh dengan angkara murka, memiliki peran penting dalam menjaga dunia tetap bergerak. Tanpa Rahwana, Rama kelak tidak akan menunjukkan kebenarannya. Tanpa gelap, cahaya tidak akan berarti. Terimalah itu sebagai bagian dari kehidupan.”

Mendengar siraman rohani itu Wisrowo menjadi paham dan beliau berucap: “Terima kasih, wahai Semar. Kata-katamu menyejukkan hati. Aku akan kembali ketempat peribadatanku dan menyerahkan semua kepada-Nya. Aku hanya berharap, suatu hari nanti, keturunanku akan membawa harmoni bagi dunia dan isinya.”

Semar kemudian menukas: “Wisrowo, setiap langkahmu adalah pelajaran bagi dunia. Jangan pernah berhenti percaya bahwa cinta, meski membawa konsekuensi, tetaplah kekuatan yang menggerakkan semesta. Lanjutkan jalanmu, dan biarkan Yang Maha Mengetahui yang menyempurnakan kisah hidupmu ini.”

Dialog filsafat ini menggambarkan refleksi mendalam tentang kehidupan, tanggung jawab, dan keabadian. Semar, sebagai simbol kebijaksanaan dan pemomong sejati, memberikan perspektif bahwa kehidupan penuh dengan pilihan yang membawa konsekuensi, tetapi semua itu memiliki makna dalam keseimbangan semesta. Seorang Guru Besar senior di salah satu perguruan tinggi pendidikan ternama dinegeri ini pernah berpesan bahwa kuncinya berserah diri kepada Tuhan sambil berusaha dengan sebaik-baiknya, bertakwa dan beramal sholeh didasari iman yang kokoh, itulah tugas manusia didunia ini. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman