Abu Nawas dan Penjual Makan

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Beberapa hari lalu ada mahasiswa Pascasarjana Program Doktor mengajukan usul bagaimana kalau latar belakang tulisan tidak hanya budaya wayang saja yang dijadikan pintu masuk ke ide utama. Mendapat masukan itu, maka upaya perburuan literature lama dilakukan. Hasilnya, ditemukanlah kisah Abu Nawas yang sangat mungkin dijadikan pintu masuk membahas kekinian.

Abu Nuwas adalah seorang penyair terkenal dari dunia Islam pada masa Kekhalifahan Abbasiyah. Nama lengkapnya adalah Abu Nuwas al-Hasan ibn Hani al-Hakami. Ia lahir sekitar tahun 756 M di Ahvaz, Persia (kini Iran). Ia dikenal sebagai salah satu penyair terkemuka dalam sastra Arab klasik, dengan gaya penulisan yang penuh kecerdikan, humor, dan ironi.

Dari berbagai kisah tentang Abu Nawas, salah satu di antaranya adalah kisah Abunawas dengan Tukang Penjual Makanan.

Dikisahkan, pada suatu hari Abu Nawas sedang berjalan-jalan di pasar. Ia melewati sebuah warung makan yang sedang ramai pembeli. Aroma makanan dari warung itu sangat menggoda, tetapi sayangnya Abu Nawas tidak punya uang sepeser pun untuk membeli makanan.

Dasar Abu Nawas yang akalnya memang panjang; diapun berdiri di dekat warung itu sambil mencium aroma makanan yang lezat. Dia kemudian mengambil sepotong roti kering dari sakunya dan mulai menikmatinya dengan hanya mencelupkan rotinya ke arah aroma makanan dari warung tersebut. Melihat hal itu, pemilik warung merasa kesal. Dia berpikir bahwa Abu Nawas menikmati makanan dari aromanya tanpa membayar. Maka, dia mendatangi Abu Nawas dan berkata, “Hai Abu Nawas! Kau harus membayar karena telah mencuri aroma makananku!”

Abu Nawas yang terkenal cerdik itu tersenyum dan menjawab, “Bagaimana aku mencuri sesuatu yang tidak berwujud, wahai tuan? Akukan hanya mencium aromanya, bukan mengambil makanannya.” Namun, si penjual makanan tetap bersikeras meminta bayaran. Perdebatan mereka menarik perhatian banyak orang, hingga akhirnya kasus itu dibawa ke pengadilan di kota itu.

Di pengadilan, hakim mendengar penjelasan dari kedua belah pihak secara seksama. Setelah berpikir sejenak, hakim yang bijak itu berkata: “Abu Nawas memang mencium aroma makananmu, tetapi tidak memakan makanannya. Karena itu, aku akan memberikan keadilan yang sesuai dengan fakta persidangan.”

Hakim kemudian meminta Abu Nawas untuk memberikan seluruh uang koin dari sakunya kepada Tuan Hakim. Abu Nawas mengeluarkan beberapa koin dan menyerahkannya kepada hakim. Hakim lalu menggoyangkan koin-koin itu di depan tukang penjual makanan, hingga terdengar suara gemerincing yang nyaring. Setelah itu, hakim berkata kepada penjual, “Dengarkan baik-baik, ini adalah pembayaranmu. Kau hanya kehilangan aroma makanan, maka kau hanya berhak mendapat gemerincingnya suara koin.”

Semua orang yang hadir di ruang sidang tertawa terbahak-bahak mendengar keputusan hakim yang budiman tadi, sementara si penjual makanan hanya bisa diam tak berkutik. Abu Nawas pun tersenyum, setelah menghaturkan takzim pada Hakim Budiman itu, kemudian pergi dengan perasaan puas.

Hikmah dari cerita tersebut adalah: Keadilan tidak selalu tentang hal-hal yang tampak nyata, tetapi juga tentang memahami esensi dari suatu permasalahan. Jangan serakah dengan hal yang tidak menjadi hakmu. Bisa dibayangkan jika di negeri ini ada institusi hukum yang moralnya seperti tukang penjual makanan tadi. Bisa rusak sistem tatanan masyarakat yang ada. Sebab, baru menduga sudah mengira, adalah perbuatan yang sangat premature dalam segi filsafat ilmu. Posisi itu harus diteruskan terlebih dahulu dengan pembuktian material. Tanpa langkah itu, tentu saja semua orang bisa seenaknya mengira kemudian mendakwa. Di sini fungsi filsafat ilmu dan filsafat hukum bagi para penegak hukum.

Cara-cara tangkap dahulu, buktikan nanti; hal itu sudah tidak jamannya lagi. Contoh terakhir perilaku gegabah sudah dipertontonkan dimuka public kasus seorang guru honorer di salah datu wilayah negeri ini, yang akhirnya meluas ke mana-mana. Hanya sayangnya penyelesaian akhir secara hukum tidak tuntas, karena cukup dengan bebas murni maka dianggap selesai. Padahal para pelanggar hukum dari penegak hukum tidak semua mendapatkan hukuman yang adil sesuai dengan pelanggarannya.

Peristiwa yang sama sedang berlangsung saat ini kita ditempat kita berada, penyitaan barang dilakukan dengan alasan bukti awal, namun sampai tulisan ini dibuat tersangkanya tidak ketemu, perbuatan melawan hukum yang manapun tidak jelas. Tampaknya peristiwa ini sama dan sebangun dengan Tukang Penjual Makanan di atas. Bedanya, Abu Nawas mendapatkan Hakim yang bijaksana. Bisa dibayangkan jika tidak mendapatkan hakim sekualitas itu, maka peritiwanya akan menjadi berlarut karena bau disepadankan dengan benda, sehingga siapapun yang buang angin di negeri ini bisa dituntut karena mencuri ruang udara teman sebelah. (SJ)

Editor: Gilang Agusman