Abu Nawas dan Ulama
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Dalam nukilan sejarah yang ditemukan pada jejak digital ditemukan cerita tentang Abunawas yang berdebat dengan seorang Ulama; diceritakan suatu hari, seorang ulama terkenal datang ke istana Raja Harun Al-Rasyid untuk berbicara tentang ilmu pengetahuan dan agama. Sang Raja yang menyukai perdebatan cerdas memanggil Abunawas untuk ikut serta dalam diskusi. Ia ingin melihat bagaimana kecerdasan Abunawas menghadapi pertanyaan-pertanyaan sulit dari sang ulama. Harun Al-Rasyid berkata, “Abunawas, hari ini engkau akan diuji oleh seorang ulama besar. Aku ingin tahu apakah engkau bisa menjawab pertanyaannya dengan baik.”
Abunawas, yang terkenal dengan kecerdikannya, menjawab, “Tentu, Baginda. Tetapi izinkan saya menjawab dengan cara saya sendiri, mohon Baginda untuk tidak ikut campur dengan cara saya menjawab.” Raja dan ulama itu setuju. Maka, dimulailah perdebatan tersebut.
Pertanyaan pertama:”Apa yang paling dekat dengan manusia?” Ulama membuka bertanya dengan serius, “Menurutmu, Abunawas, apa yang paling dekat dengan manusia di dunia ini?”. Abunawas tersenyum dan menjawab, “Kematian, Karena ia bisa datang kapan saja tanpa kita sadari tuan.”. Ulama terkejut mendengar jawaban itu karena sangat benar dan bijak. Lalu disusul dengan pertanyaan kedua: “Apa yang paling berat di dunia ini?” ; lanjut Ulama melanjutkan,. Abunawas berpikir sejenak lalu menjawab: “Tanggung jawab, Tuan. Karena hanya sedikit orang yang mampu memikulnya dengan benar”.
Jawaban itu membuat Raja dan semua orang di istana terpana dan mengangguk-angguk tanda setuju. Sejurus kemudian dengan penuh keyakinan, ulama bertanya untuk yang ketiga kali, ” menurutmu, apa yang paling tajam di dunia ini?”. Abunawas dengan santai menjawab, “Lidah, Tuan. Karena lidah bisa melukai hati lebih dalam daripada pedang.”. Ulama kembali terdiam karena jawaban Abunawas benar semua dan membuatnya kagum.
Ulama itu akhirnya mengakui kecerdasan Abunawas, dan berkata kepada Raja, “Baginda, Abunawas bukan hanya cerdas, tetapi juga bijak. Jawaban-jawabannya sederhana namun penuh makna.”. Raja pun tertawa dan berkata, “Abunawas memang unik. Itulah mengapa aku suka mengujinya.”
“Nanti dulu” sergah Abunawas, “ijinkan saya melengkapi pertanyaan yang keempat Baginda kepada yang hadir di majelis ini semua”. Raja Harus Al-Rasyid terkejut dan berkata “ Apa pertanyaannya wahai Abunawas?”. Abunawas berkata “Apa yang paling jauh di dunia ini”. Tentu semua hadirin menjadi riuh karena masing-masing mengemukakan pendapatnya, ada yang menjawab Kota Basrah, ada yang menjawab Madinah dan lain sebagainya. Terakhir Baginda Raja berkata “Apa menurutmu yang paling jauh wahai orang pandai”. Dengan santai dan percaya diri Abunawas menjawab “Masjid”. Semua orang terperangah, sebelum ada yang berkata Abunawas menimpali “coba perhatikan saat kumandang Adzan di Masjid banyak diantara kita yang tidak peduli, padahal itu panggilan dari Allah yang menciptakan bumi dan isinya termasuk kita; apalagi saat adzan Subuh banyak diantara kita yang memilih pura-pura tidak mendengar dan menutup telinga dengan bantal, bukan bersegera untuk mendatangi Masjid atau Musholah;”. Semua yang hadir saat itu terdiam karena seperti ditampar mukanya oleh Abunawas.
Kisah ini mengajarkan bahwa jawaban atas pertanyaan besar dalam hidup sering kali sederhana, tetapi membutuhkan pemikiran mendalam untuk menemukannya. Abunawas menunjukkan bahwa kecerdasan dan kebijaksanaan bisa datang dari siapa saja, tidak hanya dari ulama atau orang berilmu. Atau dengan bahasa yang lebih sederhana secara keseluruhan, cerita Abu Nawas dan ulama adalah cermin kehidupan yang mengajarkan kita untuk hidup dengan kebijaksanaan, humor, dan kesalehan yang seimbang.
Ternyata benar apa yang dikatakan oleh para pendahulu bahwa kesalehan itu tidak melekat kepada status jabatan atau pangkat, akan tetapi lebih kepada kondisi di mana seseorang tidak hanya memperhatikan ritual formal, tetapi juga benar-benar menjalankan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Ia dekat dengan kejujuran, cinta kasih, dan kebijaksanaan. Dengan kata lain kesalehan lebih dekat kepada hubungan yang harmonis antara hati, pikiran, dan tindakan dalam menjalani nilai-nilai kebaikan yang diajarkan oleh agama dan kemanusiaan. Kesalehan mencakup aspek spiritual, moral, dan sosial, yang saling berhubungan. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman