Abu Nawas dan Gembok

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Ditemukan dalam nukilan digital; suatu hari, Sultan Harun Al-Rasyid memanggil Abu Nawas ke istananya. Sultan yang terkenal sering menguji kecerdikan Abu Nawas dengan teka-teki yang sulit. Kali ini, Sultan memberikan sebuah gembok besar kepada Abu Nawas tanpa kunci. Sambil tersenyum penuh tantangan, Sultan berkata, “Abu Nawas, aku ingin kau membuka gembok ini tanpa merusaknya. Kau hanya diberi waktu tiga hari. Jika tidak berhasil, kau akan menerima hukuman.”

Abu Nawas mengamati gembok itu dengan saksama. Setelah itu, dia membawa gembok tersebut pulang sambil berpikir keras mencari cara untuk menyelesaikan tantangan Sultan. Di rumah, Abu Nawas tidak mencoba membuka gembok itu dengan alat apa pun. Sebaliknya, dia hanya menyimpan gembok tersebut di tempat yang aman. Selama tiga hari, dia hidup seperti biasa tanpa terlihat panik.

Pada hari yang telah ditentukan, Abu Nawas kembali ke istana dengan membawa gembok itu. Sultan, yang penasaran, bertanya, “Jadi, apakah kau berhasil membuka gemboknya?” Abu Nawas dengan santai menjawab, “Wahai Paduka, gembok ini tidak memiliki kunci. Jika demikian, bagaimana mungkin aku membuka sesuatu yang tidak terkunci sejak awal?”

Sultan terkejut, tapi kemudian dia tertawa terbahak-bahak. “Kau memang benar-benar cerdik, Abu Nawas! Gembok itu memang tidak terkunci sejak awal. Aku hanya ingin menguji kecerdasanmu.” Abu Nawas tersenyum dan berkata, “Paduka, gembok adalah simbol masalah. Kadang-kadang kita menganggapnya rumit, padahal solusinya sangat sederhana.” Sang Raja tersenyum bangga akan kecerdasan Abu Nawas.

Ternyata sampai hari ini “kunci dan gembok” selalu menjadi persoalan, bahkan terkadang menjadi serius, karena ada “satu gembok tetapi memiliki banyak anak kunci”. Akibatnya siapa saja bisa membukanya, tentu ini menjadi sangat berbahaya karena bisa melakukan “buka gembok” dengan cara berjamaah. Beda lagi “satu anak kunci untuk banyak gembok”. Inipun menjadi persoalan serius karena bisa jadi pemegang “anak kunci” menjadi semena-mena membuka gembok sekalipun itu bukan hak dan kewajibannya. Dengan “anak kunci istimewa” tadi bisa menuduh orang melakukan pelanggaran sekalipun itu baru angan-angannya; atau halusinasinya terhadap apa yang didapat oleh orang lain.

Persoalan-persoalan hukum menjadi berkelindan antara “gembok dan anak kunci”; karena bisa jadi aturan hukum yang mengatur gembok dan kunci belum ada, atau ada dan banyak, akibatnya gembok semakin jauh dari anak kunci. Bisa juga aturan hanya berlaku untuk gembok tetapi tidak untuk anak kunci. Sebaliknya bisa terjadi berlaku hanya untuk anak kunci tetapi tidak pada gembok.

Silogisme “gembok dan anak kunci” ini bisa banyak ragam kita peroleh, baik persamaan maupun perbedaan. Bahkan algoritma dapat kita gunakan untuk menafikkan anak kunci, tetapi tidak untuk gemboknya. Bisa juga algoritma mampu menafikkan gembok dan kunci sekaligus. Kemampuan imajinatif untuk ini tampaknya diperlukan, sehingga “persamaan tersamar” bisa digandengkan dengan “perbedaan tersamar”. Hal inilah yang mendasari filsafat logika bahwa diantara perbedaan itu karena ada kesamaan, dan diantara kesamaan itu karena ada perbedaan.

Tidak salah jika orang bijak mengatakan bahwa keduanya, secara metaforis, dapat digunakan untuk menjelaskan banyak aspek kehidupan, seperti rahasia, perlindungan, dan keterbukaan terhadap peluang. Sekaligus juga teori gembok dan kunci mengajarkan pentingnya keseimbangan antara pembatasan dan kebebasan untuk mencapai tujuan tertentu.

Teori gembok dan kunci dalam konteks teori sosial dapat dianalisis sebagai metafora yang menggambarkan hubungan antara struktur (gembok) dan agensi (kunci). Struktur merujuk pada sistem, norma, dan institusi yang mengatur kehidupan sosial, sementara agensi adalah kemampuan individu atau kelompok untuk bertindak dan membuat keputusan dalam kerangka struktur tersebut.

Dengan kata lain pemikiran Abu Nawas jika dilihat dari perpektif Teori Sosial; metafora gembok dan kunci menggambarkan hubungan yang kompleks antara struktur dan agensi. Dalam beberapa pendekatan, hubungan ini cenderung hierarkis atau deterministik (struktur lebih dominan), sementara pendekatan lain melihatnya sebagai sesuatu yang lebih dinamis dan saling mempengaruhi. Interpretasi hubungan ini dapat bervariasi tergantung pada sudut pandang teori yang digunakan.

Pertanyaannya ialah mampukah kita mengenali perbedaan perspektif saat melihat persoalan dalam konteks waktu masa lalu, kini dan yang akan datang. Untuk sampai ketataran ini memang tidak mudah, tetapi sudah seharusnya kita jadikan tujuan sehingga kita tidak “terkejut” melihat semua perbedaan, karena yakin di dalamnya ada unsur kesamaan. Oleh sebab itu tidak salah jika orang bijak mengatakan “baik buruknya kita itu tergantung siapa yang cerita”. Tokoh yang bercerita dan pembuat cerita tentu dasarnya dari sudut pandangnya, sementara akan menjadi berbeda manakala tokohnya berganti dan sudut pandangpun berubah. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman