Selisih yang Tersisih
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Pelantikan pemenang Pemilukada akan dilakukan hasil dari “berpeluh-peluh” kemaren dulu yang sama-sama kita lakukan. Semua terjadi seolah sekejap jika dibandingkan dengan persiapan panjang yang dilakukan. Namun ternyata ada yang tersisa di benak beberapa petugas penyelenggara. Mata pilih yang ada dengan yang menggunakan haknya ternyata jauh selisihnya; dalam arti banyak diantara mereka tidak datang untuk menggunakan haknya. Walaupun fenomena ini tidak dapat di generalisir untuk diambil kesimpulan, tetapi dari pandangan filsafat sosial ada persoalan di sana yang perlu digali. Sampai-sampai Daerah Ibu Kota yang calonnya kalah, ingin mempersoalkan ini seolah kerja panitia tidak baik. Untung dipenghujung waktu hal itu tidak dilaksanakan tentu dengan banyak pertimbangan.
Penasaran dengan keadaan di atas, saat itu juga terbersit ingin melakukan penelitian mini dengan metoda wawancara mendalam beberapa responden berpola snow bolling, dengan menyasar mereka yang kemaren dulu diduga berpartisipasi ikut mendatangi bilik suara guna melaksanakan haknya. Saat menemukan hasil pertama menjadi terperangah; ternyata dari sepuluh responden yang diambil secara acak tak berstruktur, didapat hanya dua orang yang menggunakan hak pilihnya. Begitu didalami ternyata keduanya menggunakan haknya karena tidak enak kepada keluarga yang bekerja di pemerintah; namun anehnya saat didesak memilih siapa, dua-dua responden mencoblos semua gambar yang ada.
Penasaran dengan ini, kemudian responden disempitkan lagi khusus kepada tenaga profesional tertentu, yang jumlahnya hanya lebih kurang dua puluh orang. Hasilnya di luar nalar, ternyata semua responden memilih untuk tidak hadir memilih. Begitu didesak alasannya, tentu dengan perjanjian untuk merahasiakan identitas secara penuh; mereka menyatakan sudah tidak tertarik lagi dengan acara seperti itu berjumlah 90 persen; sementara yang sepuluh persen merasa tidak kenal dengan para calon, baik provinsi maupun kota. Pertanyaannya? Apa yang menyebabkan mereka tidak kenal atau tidak mengenal? Bisa jadi mereka sendiri yang memang kurang hirau terhadap lingkungan.
Semua ini membuat semakin penasaran; perburuan dilanjutkan dengan menyasar orang muda yang sedang studi. Justru menarik sebab saat mewawancarai responden rerata mereka memilih karena ikutan teman termasuk memilih siapa, karena mereka tidak mengenal, tidak mengerti siapa yang mencalonkan diri itu. Namun ada juga yang menggembirakan diantara mereka ada yang berapi-api menjawab ingin merawat demokrasi di negeri ini, soal siapa yang dipilih yang bersangkutan bersikukuh untuk tidak mau menjawab karena itu hak personal. Luar biasa tentunya responden ini, dan setelah ditelusuri ternyata yang bersangkutan adalah aktivis kampus yang memang militan. Semoga kedepan orang-orang seperti ini bertebaran di negeri tercinta ini.
Begitu juga saat tiba di suatu tempat yang terkenal basis dari organisasi politik tertentu, saat dilakukan cross chek tentang pemilihan kepala daerah yang baru beberapa bulan lalu, ternyata ditemukan potret lima orang diantara mereka tidak menggunakan hak pilih, dua orang menggunakan, sisanya tidak menjawab dan hanya mengatakan tidak mendatangi tempat pemungutan suara. Menariknya ada seorang Bapak mengatakan bahwa: yang tingkat dua saja beliau pilih; pilihan yang diminta menantunya, karena calon itu adalah teman baiknya; sedangkan untuk provinsi beliau coblos dua-duanya karena tidak kenal mereka.
Semua di atas akan makin panjang jika terus ditelusuri, tetapi sesuai prinsip penelitian kualitatif dengan pola grounded research yang harus berani menyetop wawancara jika telah dianggap cukup karena menemukan informasi yang sejenis berkali-kali dengan responden yang berbeda. Ternyata ada sisi-sisi gelap dari pemilukada yang baru saja berlalu. Memang hal itu tidak terlalu berpengaruh dengan hasil secara kuantitatif; namun persoalan-persoalan sosial bisa juga muncul akibat kita mengabaikan sesuatu yang bersifat kualitatif.
Adakah ini penanda “kelelahan sosial” yang dialami masyarakat karena dalam waktu yang berdekatan penyelenggaraan Pemilihan Presiden dan Pemilihan Legeslatif diselenggarakan dengan Pemilukada secara beriringan. Atau semakin suburnya paham pragmatis di tengah masyarakat. Bisa jadi juga sebab lain seperti pola kampanye, pola bagi-bagi uang yang masih tercium baunya di sana-sini, atau masih banyak lagi. Semua itu perlu ada pengkajian akademik secara komprehensif agar ditemukan solusi cerdas, guna kepentingan bangsa ke depan.
Menariknya lagi kelompok relatif mapan secara ekonomi justru lebih banyak mendominasi tidak menggunakan hak pilih. Sementara mereka yang secara ekonomi masih memerlukan bantuan paling getol untuk menggunakan hak pilihnya. Apakah ini merupakan indikasi bahwa kelompok rentan secara ekonomi lebih diuntungkan jika dilakukan pola pemilihan berkali-kali atau berturut-turut. Jawabannya ada pada para pembaca artikel ini.
Terlepas dari tingkat error yang tinggi karena kesalahan metodologi, hasil penelitian sederhana ini dapat dijadikan penanda awal untuk melakukan penelitian mendalam dan lebih akademis oleh pihak lain yang berkeinginan mendalaminya. Selamat Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman