Banjir Bandarlampung, Lebih Baik Mati Sombong Ketimbang Mati Bengong

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Saat tulisan ini dibuat, Kota Bandarlampung sedang deras-deranya diguyur hujan. Diinformasikan melalui media sosial, seluruh kota banjir. Bahkan banyak sarana dan prasarana kota yang hancur, serta hanyutnya beberapa kendaraan.

Sejumlah pemukiman tenggelam bahkan sampai memakan korban jiwa akibat berbagai sebab. Kilas balik, kalau mau jujur, banjir seperti akibat tata kota dan tata kelola yang dilakukan oleh pemangku kepentingan sekitar sepuluh tahun lalu.

Masih ingat banjir yang melanda sungai dekat Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Abdul Moeloek dan putusnya jalan raya utama akibat ditimbunnya daerah resapan oleh pengembang di Rajabasa? Tentu saja, banyak penyebabnya banjir.

Salah satu, kita coba lihat Sukadanaham. Semula, daerah tersebut merupakan kawasan tangkapan air. Kini, tumbuh pemukiman dengan beberapa pengembang.

Terakhir hutan kota yang dibabat untuk wilayah bisnis dengan berlindung menyerap tenaga kerja; sementara Pusat Pembelanjaan yang ada di sana sudah menjamur dan dengan kondisi “mati segan hidup pingsan”.

Puncaknya Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang terancam ditutup Kementerian LH karena dari tahun 2013, Pemkot Bandarlampung abai terhadap Analisis Dampak Lingkungan dari wilayah ini.

Belum lagi daerah lereng Gunung Batu yang ada di atas Panjang; daerah tangkapan air itu sekarang sudah berubah menjadi rumah susun yang tak bersusun.

Sementara pembangunan jembatan layang yang tidak disertai kajian matang, dibangun dimana-mana; salah satu diantaranya diabaikannya drainase dari jembatan.

Pembangunan jembatan mungkin diperlukan untuk kelancaran mobilitas, namun jika akibat dari pembangunan itu menyengsarakan rakyat di bawahnya, apakah kita tidak termasuk kategori sombong.

Jika pembaca ada waktu sambil lalu di jembatan layang saat musim hujan, maka akan tampak genangan air yang mengalir kemana-mana. Seolah bingung mencari alamat akhir yang harus dia tuju.

Bahkan jembatan layang yang terpanjang, saat hujan menjadi sungai, dan diingatkan oleh jurnalis; pemerintah kota malah seolah menyalahkan laporan investigasi tadi.

Sekarang kita semua menuai hasil dari “keteledoran” masa lalu; yang pada waktu itu pemimpinnya jika diingatkan langsung dianggap penantangnya; sehingga seolah “lebih baik mati sombong, dari pada mati bengong”.

Untungnya penerusnya sekarang adalah teman tidurnya, akibatnya mereka berdua sekarang tidak bisa tidur; atau malah tidur pulas. Entahlah..

Belajar dari semua itu hal yang mendesak dilakukan adalah memperbaiki sistem drainase kota secara menyeluruh, dengan menyertakan masyarakat untuk memelihara melalui musyawarah desa menggunakan dana kelurahan.

Menata ulang daerah tangkapan air yang diawasi secara ketat agar terjaga, dan mental pejabatnya harus tahan godaan dari para pengembang yang membawa cuan.

Tidak lupa harus ada perencanaan jangka panjang yang mengikat tetang tata kota; sehingga siapapun walikotanya tidak bisa berbuat seenaknya sendiri dalam membangun.

Semua dilakukan secara terbuka dan transparan. Dewan kota difungsikan sebagai pemberi masukan, bukan lembaga “pengaminan” atau dalam bahasa Palembang “iyo ke bae ngecik ke balak”.

Bantuan sembako, perbaikan rumah yang dilakukan untuk saat ini adalah bersifat sementara, dan itu sah-sah saja; namun yang sangat urgen adalah perbaikan kedepan secara menyeluruh.

Jadi bukan hanya mengobati lukanya dengan obat luka, akan tetapi harus ada upaya jangan ada lagi yang terluka.

Di daerah ini, ada dua perguruan tinggi negeri yang memiliki bidang kajian “Perencanaan Wilayah” bahkan ada yang spesifik “Kota dan Pesisir”.

Semua itu adalah modal dasar yang sudah seharusnya diminta bantuan untuk mengurai benang kusut tentang banjir di kota ini, sebelum semakin parah.

Wali kota cukup mendatangi pimpinan perguruan tingginya untuk diminta partisipasi secara kelembagaan melalui program studi terkait.

Semoga musibah ini mengingatkan kita semua bahwa di sana ada campurtangan kita yang abai akan anugerah Tuhan akan alam-Nya.

Tulisan ini bukan mencari “kambing hitam” tetapi perenungan untuk kemudian membangkitkan kesadaran kita bersama menyelamatkan kota.

Untuk para pemimpin siapapun anda, jika ada warga anda yang peduli dengan memberikan peringatan, itu berarti warga tadi peduli pada anda dan kota kita; bukan berarti itu musuh anda. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman