Sedikit Sakit (Meriang)

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Istilah “meriang” berasal dari bahasa Jawa yang merujuk pada kondisi tubuh yang tidak enak atau merasa sakit, biasanya ditandai dengan demam ringan, menggigil, atau badan terasa lemas. Kondisi ini seringkali dianggap sebagai tanda awal tubuh sedang melawan penyakit, seperti flu atau infeksi ringan. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan perasaan tubuh yang kurang fit tanpa gejala berat. Dan, kondisi ini sering melanda penulis pada akhir-akhir ini; namun karena semangat untuk hidup dan keinginan selalu berguna untuk kepentingan orang banyak, maka kondisi itu sering terabaikan.

Untuk kali ini kita tidak membicarakan meriang dalam konteks personal, akan tetapi lebih kepada yang lebih luas yaitu sosial; dan dikhususkan lagi kepada para pemangku kepentingan. Karena akhir-akhir ini banyak diantara mereka terkena “meriang sosial” yaitu, situasi di mana seorang pejabat merasa tidak nyaman, tertekan, atau terganggu secara sosial akibat faktor-faktor tertentu di lingkungannya. Pejabat merasa “panas-dingin” karena sorotan media, kritik masyarakat, atau desakan dari berbagai pihak atas kebijakan atau tindakannya.

Bisa dibayangkan tekanan terhadap mereka saat ini sangat luar biasa: Pertama; mereka belum pasti masih dipakai pada periode kepemimpinan hasil pemilihan kepala daerah yang lalu. Bisa saja mereka akan terlempar miniml tergeser, oleh sebab itu saat seperti sekarang mau mengambil kebijakkan apapun, akan merasa takut, sekalipun secara perundangan sudah benar. Penyakit ragu seperti ini terutama bagi pejabat yang tidak memiliki kopetensi, hanya mengandalkan relasi, serta pemberi upeti; sehingga seolah layang-layang putus tali.

Kedua: bencana alam yang mengakibatkan kerusakan sarana dan prasarana yang ada, dan itu dibawah tanggungjawabnya. Ingin melakukan perbaikan, takut nanti persoalan pertanggungjawaban anggaran dikemudian hari jadi masalah; tidak melakukan juga bermasalah karena dianggap tidak becus. Akhirnya badan jadi meriang karena diam salah, berbuat juga takut salah. Kondisi serba salah ini membuat mereka “cari aman” dengan menghindar atau menghilang.

Ketiga: dengan sistem kementerian yang banyak dan departemen yang baru, mengakibatkan penyesuaian administrasi yang tidak mudah, dan cenderung melambat. Akibatnya sistem belum terbangun secara baik, dan berdampak pada budaya kerja yang belum terbentuk. Menjadi pemimpin dalam situasi seperti ini membuat banyak orang untuk bersikap sangat berhati-hati, karena jika salah melangkah di ujung sana sudah menunggu kejaksaan atau KPK.

Situasi di atas makin membuat “ketakutan” para pemangku kepentingan manakala pimpinan tertinggi hasil pemilihan yang belum dilantik saat ini tidak ada ditempat, karena sesuatu alasan yang tidak dapat diungkapkan. Akibatnya mereka bukan sibuk menyelesaikan pekerjaannya, tetapi memohon-mohon kepada media untuk tidak mengungkapkan hal ini kepada publik.

Ternyata meriang sosial itu lebih sulit obatnya dibandingkan dengan meriang badan, bagi para pejabat yang tidak memiliki maruwah. Bagi mereka yang memilik justru saat ini adalah tempat medan uji nyali bagaimana dia mengimplementasikan dirinya pada kehidupan nyata. Model pejabat seperti ini sangat yakin bahwa Tuhan adalah tempat bersandar untuk segalanya. Kelegowoan pejabat model inilah sebenarnya yang diharapkan dalam menghadapi persoalan; sebab mereka berprinsip “persoalan itu bukan untuk dihindari atau diabaikan, tetapi untuk diselesaikan”. Adapun konsekwensi dari pekerjaan itu sukses atau gagal, jika semua sudah sesuai dengan aturan, maka tinggal skenario Tuhan yang akan berjalan.

Namun sayang model yang terakhir tadi saat ini sudah menjadi sesuatu yang langka. Justru yang ada sekarang cenderung terjadi pembiaran akan semua persoalan yang ada. Jika sudah di viralkan oleh media sosial, baru mereka seolah sibuk. Sehingga jika ada pimpinan lembaga yang lurus dalam bekerja menjadi sesuatu yang aneh; dan tidak jarang yang begini sering dikerjain untuk dicari kesalahannya atau dibuatkan drama, agar yang bersangkutan terjebak menjadi “pemain”.

Ternyata meriang sosial itu sekarang sedang berjangkit dimana-mana, karena rakyat sudah semakin cerdas. Apakah ini bentuk seleksi alam yang di rancang Tuhan untuk mahluk ciptaanNYA; entahlah. Tetapi paling tidak ini merupakan peringatan bagi kita yang sadar akan keterbatasan manusia. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman