Kalau yang Tahu, Pada Nggak Mau

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Beberapa waktu yang lalu tim dosen program studi pascarajana mengantarkan mahasiswa ke lapangan untuk melakukan Pembelajaran Lapangan atau PBL di wilayah perbatasan kota dengan salah satu kabupaten tetangga. Sejumlah dosen menjadi pendamping mahasiswa untuk menemukenali persoalan kesehatan pada masyarakat, dengan diantar oleh kepala dusun dan pendamping kesehatan masyarakat.

Dalam perjalanan, salah seorang pimpinan lembaga berkomentar saat berdiskusi yang kaitan dengan persoalan pembangunan bangsa. Beliau berkata “Kita banyak memiliki orang pandai, alumni dari perguruan tinggi pemerintahan dalam negeri, tetapi mereka tidak suka tampil mengambil alih pimpinan tertinggi melalui pemilihan untuk daerahnya”.

Tatkala disesak apa sebenarnya alasan mereka tidak mau tampil itu, ternyata jawabannya sederhana “Karena yang bersangkutan mengetahui persis persoalan yang ada di dalam pemerintahan, dan persoalan itu tidak mudah untuk diselesaikan, justru kebanyakan yang ada menunda masalah, atau bisa jadi masalahnya dipelihara”.

Jawaban-jawaban cerdas dan akademis itu menjadi renungan yang dalam, karena jika dirunut secara sistematis, kebanyakan orang-orang pandai dan mengetahui persoalan daerah itu lebih memilih untuk berada di zona nyaman, dengan meniti karier berjenjang saja, tanpa harus berpeluh-peluh mengikuti pola pemilihan pimpinan (daerah). Dengan kata lain mereka yang tampil dalam pemilihan itu sebenarnya orang yang tidak paham akan persoalan kepemerintahan, hanya bermodal “nekat”, mereka maju ikut kontestasi pemilihan. Sementara jargon “Untuk memperbaiki, membangun, meneruskan” itu adalah konsumsi politik kepemiluan saja. Karena begitu didesak apa yang akan diperbaiki, apa yang akan dibangun, dan apa yang akan diteruskan; yang keluar adalah jawaban diplomatis untuk menghindar dari debat, karena jika sampai debat akan tampak “ketidakpahamannya” akan persoalan. Hal ini terbukti ada wilayah daerah yang tidak tersentuh perbaikan jalan, sekalipun sudah entah berapa kali ganti pimpinan daerah.

Analogi ini tentu tidak selamanya benar, akan tetapi dapat dijadikan referensi pemikiran bersama, karena banyak fakta menunjukkan ada pimpinan daerah yang hanya mengandalkan sekretaris daerahnya jika berkaitan dengan kepemerintahan, sementara yang bersangkutan hanya berfikir bagaimana mengembalikan modal saat maju berkontestasi, dan melaju lagi di periode berikutnya. Bisa juga bagaimana ada keluarganya yang bisa didorong untuk maju menggantikannya. Sehingga otaknya dipenuhi dengan strategi pemenangan dan pelanggengan kekuasaan, bukan memikirkan nasib dari yang dipimpinannya. Jika ada kepala daerah yang berpikir full untuk daerahnya semata-mata sebagai pengabdian dan mencari amal sholeh untuk kepentingan akhiratnya, itu berarti berkah dari Tuhan untuk daerah itu. Sayangnya yang namanya berkah itu tidak banyak; justru yang ditemukan pimpinan daerah memfasilitasi personal untuk ritual keagamaan sebagian tokoh agar dapat dijadikan vote getter bagi keberlangsungan kepemimpinannya ke depan.

Kondisi “Kalau tahu pasti tidak mau” akan terasa manakala pencalonan mengalami kekalahan karena banyak dipecundangi. Hal ini sangat kentara pada waktu kontestasi politik yang baru berlalu. Banyak diantara mereka yang mengalami kekalahan merasa “di luar dugaannya”; hal ini jika dikalkulasi dengan dana, tenaga, dan pendukung yang ada. Mereka tidak menyadari “faktor keberuntungan” itu ternyata tidak hanya pada nasib baik saja, akan tetapi juga ada faktor lain, termasuk diantaranya “tingkat penghianatan pendukung”. Karena mereka yang mengetahui bagaimana lika-liku perjalanan kepemilihan, onak dan duri perjalanan, serta faktor “X” yang lain; dari awal sudah berhitung “maju” atau “tidak”. Di sini tampaknya kecerdasan intelektual saja tidak cukup, tetapi harus didukung oleh kecerdasan emosional, dan kemampuan “membaca” lapangan dengan jeli itu sangat diperlukan, bahkan bisa jadi intuisi juga ikut memberi kontribusi.

Sebagai contoh, ada seorang birokrat memiliki kemampuan intelektual yang mumpuni, bergelar doktor sungguh-sungguh karena kuliah sungguh-sungguh, pangkat dan pengalaman sangat mumpuni, pernah menjabat berbagai jabatan penting dari yang paling rendah sampaai yang paling tinggi untuk level daerah, peluang untuk maju ke jenjang karier tertinggi ada. Namun begitu yang bersangkutan mengetahui bahwa finalisasi jabatan itu dipilih oleh suatu aturan pemilihan yang didominasi oleh keinginan yang akan menggunakan; dengan sertamerta yang bersangkutan “menghindar diri” untuk tidak masuk pada kontestasi pemilihan jabatan, tentu dengan cara yang sangat elegan, karena yang bersangkutan paham jika nekat ikut masuk, maka hanya akan mendapatkan “malu” saja. Ternyata kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosionalnya mampu membaca situasi dengan baik dan benar.

Pertanyaan lanjut apa yang akan terjadi pada negeri ini jika para orang pandai tidak mau ambil kesempatan karena dari jauh mereka sudah tahu bahwa kesempatan itu bukan untuknya. Bisa jadi mereka akan lebih nyaman menjadi warga dunia, dibandingkan jadi warga negara. Kalau ini yang terjadi maka diaspora Indonesia makin banyak adanya. Wallahuaklam wisawab. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman