Nikmati Ceritanya
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Pekan lalu mendapat undangan kehormatan dari seorang sohib yang menikahkan anaknya bertempat di gedung yang megah lagi wah. Tentu saja karena beliau seorang pejabat tinggi di daerah ini, undangannya begitu luar biasa banyaknya, dan karangan bunga ucapan selamatpun tidak kalah panjangnya; bahkan sampai melampaui batas teritori gedung.
Biasanya untuk menghadiri acara yang begini menggunakan jurus, datang, berjuang untuk salaman, dan pulang. Untuk kali ini justru tidak, karena ada nuansa tersendiri; disamping hubungan personal dengan pemangku hajat, juga ingin menikmati cerita dari perjalanan anak manusia. Maka posisi dudukpun diatur sedemikian rupa agar memiliki “sudut pandang” yang luas, guna mencermati perilaku sekaligus merasakan suasana hati dari para tamu undangan.
Benar saja hipotesis mulai terbukti, disamping suasana terlihat meriah, acarapun berlangsung tertib, tidak ada saling dorong dalam mengambil hidangan. Undangan berjajar sabar untuk mencapai podium, dan dalam barisan itulah tampak wajah-wajah yang bagaimana kebersihan hatinya. Rerata mereka tidak ada yang bersungut, namun tidak pula tertawa terbahak-bahak seolah orang lain ngontrak.
Begitu juga organizing comitte yang mengatur tidak tampak “galak” seolah Herder penjaga tuan, akan tetapi lebih sebagai sahabat yang siap membantu.
Biasanya mendatangi acara begini cukup dengan waktu lima belas menit, tapi kali ini lebih dari dua jam menikmati cerita kehidupan, sampai-sampai tidak sempat lagi maju ke podium bersalaman karena kelelahan.
Tertibnya acara menunjukkan bahwa pemilik hajat adalah orang yang memiliki kepiawaian strategi yang baik, maka itupun para petinggi negeri ini yang hadir tidak merasa mendatangi anak buah tetapi lebih sebagai sahabat.
Beda cerita dengan berikutnya; sebelum acara di atas, malam sebelumnya menghadiri acara pernikahan keluarga dekat. Mempelai wanita sudah yatim piatu; hidup bersama saudara bermukim di tepi jalan kereta. Sebelum mulai acara hujan lebat mengguyur, jalanan banjir dimana-mana, tenda basah kuyup, kursi tamu basah berantakan di gang yang sempit tempat acara hajat berlangsung. Saat kumandang adzan isya berlangsung, hujan berhenti, dan kemudian ijab kabul dimulai. Tuhan Maha Mengetahui apa isi hati dan doa mahluk-Nya.
Acaranya juga “meriah” dengan kesederhanaan, yang semua diangkat oleh paman dan keluarga. Kekompakkan yang “guyup” tampak sekali. Acara berlangsung ditingkahi lalunya Kereta Babaranjang pembawa batu bara; namun karena kesakralan acara itu, mereka yang datangpun tetap khidmat.
Demikian juga karena “suasana kebatinan” yang seperti ini, acara ditunggui sampai dini hari; yang biasanya sudah mimpi dua kali, untuk malam ini harus merayap membawa kendaraan dengan mata yang nanar karena sudah kurang melihat. Catatan panjang terukir dibenak, bagaimana kelak mempelai harus menghadapi hidup ke depan; modal yang ada hanya berserah diri pada Tuhan dalam membagi rejeki.
Namun demikian, kedua cerita tadi ada kesamaan, mereka sama-sama menengadahkan tangan meminta kepada Rabb untuk menjadi keluarga sakinah mawadah warahmah. Demikian pula semua tamu undangan, tidak membedakan kasta dan jabatan, semua menengadahkan tangan mendoakan kedua pasangan agar supaya diberi kekuatan oleh Rabb dalam menempuh samudra kehidupan yang kadang-kadang tenang membahagiakan, tetapi juga kadang ada badai datang dengan halilintar menyambar.
Ternyata hidup ini harus pandai “menikmati cerita” dari perjalanan mahluk yang bernama manusia. Beda siang dan malam tampak nyata; ada yang bersyukur, dan ada juga yang bersabar. Keduanya memang perintah langit untuk kita semua dalam melakoni kehidupan. Hanya sayangnya banyak diantara kita masih ada yang “saat menderita bersimpuh meratap pada yang Kuasa; setelah berjaya menjadi lupa siapa kita”.
Pangkat dan harta hanya hiasan, kata sepenggal komplet lagu lawas, “Harta adalah hiasan hidup semata. Kejujuran keikhlasan itu yang utama. Jangan kau taburi cinta dengan permata. Tetapi hujanilah semua dengan kasih sayang”. Tampaknya pesan lagu ini sangat dalam; tinggal apakah kita mau memahamkan bukan hanya sekedar lagu, akan tetapi lebih kepada sikap hidup.
Cerita dunia tidak akan ada akhirnya, karena setiap waktu akan ganti sequen bahkan pemeran. Hanya bagi mereka yang sadar bahwa “semua akan berlalu” lah yang bisa menikmati sampai akhir. Saat kita berjaya, kita tidak akan pongah karena sadar itu “semua akan berlalu”; dan kita tidak akan meratap berputus harap saat kita gagal, karena sadar “semua juga akan berlalu”.
Ingat pesan Abu Nawas, tokoh legendaris yang vidionya beberapa waktu lalu dikirim ulang oleh Sang Mahaguru Muhklis Paeni seorang Guru Besar yang membesarkan penulis; itu masih tetap relevan jika kita mau sedikit menundukkan kepala ke bumi; karena besarnya kita ini tidak lebih hanya debu yang melayang di udara; dia datang untuk pergi. Mari nikmati ceritanya sampai kita juga tinggal cerita. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman