Ambarang Wirang

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Judul pada tulisan ini berasal dari bahasa Jawa kategori kromo inggil yang merupakan strata tertinggi dalam Sastra Jawa. Ambarang wirang sering dipakai oleh kalangan tertentu dalam membahasakan sesuatu dengan bahasa lambing alias ilustrasi. Arti harfiahnya adalah “menjual malu”. Tetapi terjemahan bebas ini tidak pas betul ditilik dari rasa bahasa. Sebab ambarang yang berasal dari kata mbarang yang berarti menanggung atau memikul. Sedangkan wirang berarti aib, malu, atau kehinaan.

Jadi, “ambarang wirang” bisa diartikan sebagai “menanggung malu” atau “memikul aib”. Frasa ini menggambarkan seseorang yang harus menghadapi rasa malu, kehinaan, atau rasa bersalah dalam hidupnya. Ambarang wirang dalam sejarah dan budaya Jawa adalah konsep yang menekankan pentingnya menjaga kehormatan dan martabat atau juga sering disebut njogo projo, baik sebagai individu, keluarga, maupun keturunan (trah) dalam kehidupan sosial. Dalam kehidupan modern, nilai ini masih relevan, terutama dalam menjaga etika, moral, dan tanggung jawab sosial dalam kehidupan bermasyarakat.

Kosep wirang dalam budaya Jawa juga ditemukan dalam bentuk lain pada budaya Bugis, Lampung, atau mungkin dalam tatanan adat lain. Ditinjau dari konsep makna, wirang untuk masyarakat Jawa adalah malu, aib, kehinaan sosial. Masyirik untuk masyarakat Bugis adalah hilangnya harga diri akibat pelanggaran adat. Untuk masyarakat Lampung kita kenal dengan sebutan pi’il yang dimaknai perilaku yang menentukan kehormatan.
Ditinjau dari sanksi sosial; untuk masyarakat Jawa adalah kehilangan martabat, dan dijauhi masyarakat. Untuk masyarakat Bugis adalah tidak dihormati, bisa juga diusir dari komunitas. Untuk masyarakat Lampung adalah hilangnya status sosial dan tidak dihargai.

Ditinjau dari konsep menebus; untuk masyarakat Jawa adalah melalui laku prihatin dan perbuatan baik. Untuk orang Bugis adalah berupa tindakan heroik, keberanian, dan pengabdian yang luar biasa. Untuk masyarakat Lampung berupa memperbaiki perilaku dan menunjukkan fiil yang baik.

Ditinjau dari konsep filosofi kehidupan; untuk masyarakat Jawa dimaknai untuk tidak wirang harus menjaga martabat dan harga diri. Untuk masyarakat Bugis siri’na pace (malu dan empati). Untuk masyarakat Lampung bermakna bahwa status sosial itu juga ditentukan oleh pi’il.
Pada ketiga masyarakat tadi kata wirang bukan sebatas spektrum malu saja, akan tetapi lebih pada harga diri. Oleh karena itu pada masyarakat Jawa dikenal semacam adagium bahwa “orang Jawa meninggalkan tanah kelahirannya itu pada umumnya disebabkan oleh dua hal, yaitu karena wirang atau karena kurang”.

Wirang karena berbuat yang tidak sesuai dengan norma yang ada atau tidak mampu melaksanakan tugas kewajiban yang diembannya dengan baik. Contoh Raja Brawijaya ke-V meninggalkan Kerajaan Majapahit karena merasa wirang tidak mampu mempertahankan wilayahya dari gempuran Kerajaan Pajang.

Sementara konsep “kurang” itu bermakna dua; Pertama, kurang dalam arti penguasaan ilmu pengetahuan. Akibatnya mereka jauh-jauh mengejar ilmu pengetahuan, dan pada zamannya Yogjakarta menjadi tujuan utama bagi mereka pengejar ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu jika ada keluarga yang sekolah di Yogjakarta pada saat itu merasa harga diri keluarga sangat terhormat.

Kedua, kurang dalam arti ekonomi. Oleh sebab itu tidak aneh jika orang Jawa sampai ke Suriname dan wilayah lainnya di dunia ini, adalah karena ingin memperbaiki status sosial ekonomi mereka. Dan, jika sudah baik mereka akan beralih lagi dengan mengejar ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu tidak salah jika masyarakat Jawa yang ada di manapun berada, setelah ekonominya membaik dalam arti relatif, maka mereka akan menyekolahkan anak-anaknya ke luar, utama waktu itu Yogjakarta menjadi tujuan favorit. Untuk sekarang sudah lebih luas lagi spektrumnya sampai ke manca negara. Bahkan dari wawancara tidak terstruktur ditemukan data anak-anak petani sawit di Rimbo Bujang Jambi, yang tadinya dari Pringsewu, sekarang kuliah di salah satu fakultas terfavorit dan termahal biayanya di satu universitas di daerah ini. Karena secara ekonomi mereka sudah sangat baik dan sangat memungkinkan untuk mencapai perubahan status sosial.

Pertanyaan tersisa, masihkah konsep “ambarang wirang” itu hidup di tengah masyarakat. Pertanyaan ini sulit untuk dijawab karena ukurannya sangat subyektif, bahkan tidak jarang sangat emosional. Karena kesubyektifannya itulah maka tekananya ada pada “rasa”; jika segala sesuatu sudah berkaitan dengan dawai rasa pada manusia; maka bisa jadi ini akan membangun maruwah. Oleh sebab itu tidak jarang untuk suatu peristiwa yang menimpa pada seseorang menjadikan timbul rasa malu yang sangat; sementara peristiwa yang sama menimpa orang yang berbeda, justu diri merasa bangga karena merasa diri agar supaya orang lain mengetahui siapa dia.

Kalau sudah seperti itu jadinya, ukuran yang dipakai hanya agama yang mampu ditegakkan sebagai parameternya. Sebab, agama aturannya jelas ada pada kitab suci dan Rasulnya; jika yang tidak sesuai dengan tata aturan jelas konsekuensinya, dan jika sesuai dengan aturan dan hukum-hukumnya maka juga jelas hasilnya. Tinggal kita manusia mengukur diri “masihkah kita memiliki rasa malu” kepada Tuhan akan semua yang telah diamanatkan kepada kita, yang nantinya akan dimintai pertanggungjawaban di pengadilan akhirat. Pertangungjawaban itu termasuk istri, anak-anak, dan harta, tahta atau jabatan; yang diperoleh selama di dunia. Justru atas Rahmat-Nya kita harus berterimakasih karena telah menutup aib atau malu, dan kekurangan kita kepada orang lain.

Oleh karenanya agama mengajarkan biarkan aib itu yang mengetahui hanya diri kita dan Tuhan, bukan untuk dibentang kepada mahluk lain di bumi ini. Jangan sampai terjadi pada kita; Tuhan sudah menutupnya, justru kita membukanya. Inilah esensi dari ambarang wirang itu dalam konsep budaya Jawa. Oleh karena itu di dalam Islam dikenal istilah sikap saling menutup aib yang disebut “Satrul ‘Aib” (سَتْرُ العَيْبِ), yang berarti menutupi kekurangan atau kesalahan orang lain dengan niat baik, bukan untuk membenarkan dosa, tetapi untuk menjaga kehormatan dan persaudaraan sesama muslim.

Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa menutupi (aib) seorang Muslim, maka Allah akan menutupi (aibnya) di dunia dan di akhirat.” (HR. Muslim, no. 2590). Oleh sebab itu aib atau wirang itu bukan untuk disebar luaskan, akan tetapi bagaimana upaya kita untuk saling menutupnya.

Jangan pula kita merasa “sudah berbuat baik” di muka bumi, justru sebenarnya kita berbuat “zalim” di muka Tuhan. Semoga kita semua terhindar dari perbuatan seperti itu, dan saling mengingatkan diantara kita untuk selalu berbuat kebajikan. Tidak salah jika Hasriadi Mat Akin, Guru Besar yang pernah memimpin satu perguruan tinggi negeri ternama di daerah ini mengatakan “kekayaan dan jabatan bisa datang dan pergi, tetapi nama baik adalah warisan abadi yang lahir dari kejujuran, integritas, dan moral”. Oleh karena itu jika kita mampu menjaganya, maka itulah kenangan abadi yang dapat kita tinggalkan di dunia ini. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman