Bukan Sekedar Pisau
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Pisau guillotine, alat pemenggal kepala yang terkenal dari Prancis. Berdasarkan jejak digital ditemukan informasi bahwa Guillotine berasal dari ide lama tentang eksekusi cepat dan “manusiawi.” Sebelum guillotine, eksekusi dilakukan dengan kapak atau pedang, yang sering kali tidak akurat dan menyebabkan penderitaan yang berkepanjangan. Pada akhir abad ke-18, dokter Joseph-Ignace Guillotin, seorang anggota Majelis Nasional Prancis, mengusulkan alat eksekusi yang lebih cepat dan tanpa rasa sakit. Meski namanya melekat pada alat ini, ia bukan penciptanya. Desain guillotine dikembangkan oleh Antoine Louis, seorang ahli bedah, dan dibuat oleh tukang kayu bernama Tobias Schmidt pada tahun 1792.
Guillotine menjadi simbol utama Revolusi Prancis (1789-1799), terutama selama periode Teror (1793-1794), di mana ribuan orang dieksekusi, termasuk Raja Louis XVI dan Marie Antoinette. Guillotine tetap digunakan di Prancis hingga abad ke-20. Eksekusi terakhir dengan guillotine terjadi pada tahun 1977 terhadap Hamida Djandoubi, seorang terpidana pembunuhan. Dan kemudian Prancis menghapus hukuman mati pada tahun 1981.
Kita tinggalkan “alat eksekusi” yang mengerikan itu dan kita tilik pada dunia nyata, ternyata Guillotine sekarang sedang digunakan dinegeri ini; hanya yang dipenggal bukan leher penjahat, dan bukan juga leher para kuruptor; akan tetapi anggaran belanja disemua lini kehidupan bernegara. Bagi mereka yang menghalangi untuk tidak melakukannya karena alasan apapun, maka “leher” yang bersangkutan dilibas, dengan satu kata ganti yaitu reshuffle . Tidak mau memotong anggaran bea siswa pendidikan sudah cukup untuk dijadikan alasan bahwa yang bersangkutan melakukan pembangkangan, dan yang bersangkutan layak kena guillotine reshuffle, padahal hal ini terjadi karena yang bersangkutan paham betul dampaknya jika anggaran bea siswa dipangkas. Tentu saja agar alasan itu tampak manis dan masuk akal, dicarikan kalimat yang lebih bersifat personal; dengan demikian yang bersangkutan terkesan “tidak bisa memimpin” atau tidak layak menjadi pemimpin dan atau apapun nama lainnya.
Penggunaan guillotine anggaran itu perlu demi penghematan, namun jika digunakan secara semena-mena atau bahkan otoriter hanya karena alasan program prioritas; maka dampak dari penggunaannya sudah mulai terasa dalam kehidupan sehari-hari. Pendapatan pegawai menjadi kecil, adanya pemangkasan tenaga kerja, pemangkasan jam kerja, mencari pekerjaan bagi tenaga kerja produktif menjadi sulit, pengangguran mulai terasa muncul dimana-mana, eksodus orang muda potensial ke luar negeri menjadi pilihan utama, pasar tradisional mulai lesu, daya beli menurun, pemberlakuan pajak tinggi dan sebagainya. Tentu saja kondisi ini muncul diluar skenario para perencana awal. Belum lagi ditambah komentar atau celetukan para pemimpin level atas yang terkadang tidak terkontrol bahkan terkesan asal bunyi, menjadikan semakin runyam keadaan. Belum lagi dilakukannya pengawasan bahkan pembungkaman social bagi mereka yang berfikir kritis; hal ini mengingatkan akan prakondisi terhadap diberlakukannya system otoriter pada kehidupan bernegara, dan ini wajib untuk kita waspadai.
Tampaknya harus ada pemikiran ulang agar terjadi penataan ulang supaya tekanan social tidak terjadi begitu massif. Salah satu diantaranya “pemangkasan bicara yang tidak perlu” bagi para pemimpin, adalah salah satu diantaranya yang juga harus dipilih.
Ternyata puasa tidak makan tidak minum itu pada sebagain kita lebih “mudah” melakukan dibandingkan puasa bicara; walaupun sebenarnya hakekat puasa itu bukan hanya menahan lapar dan haus saja, termasuk mengontrol bicara. Oleh karena itu “pembekalan” yang dilakukan oleh pimpinan tertinggi saat sebelum pengambilan sumpah jabatan, tampaknya harus diselipkan materi “metode berbicara” kepada para pembantunya.
Tampaknya kedepan kita harus lebih bijak lagi dalam mengelola negeri ini; ternyata pemangkasan anggaran itu dampaknya bukan hanya pada satu segi kehidupan. Akan tetapi merambah kemana-mana, bak lagu Bengawan Solo “mengalir sampai jauh” ; bedanya kalau bengawan solo membuat banjir air, ini justru bisa terjadi banjir air mata karena terkena pemutusan hubungan kerja.
Mengkencangkan ikat pinggang ternyata harus ditambah satu tarikan lagi, agar kita makin ramping, dan makin tidak nafsu makan karena memang tidak ada yang dimakan. Penataan ulang kehidupan tampaknya harus banyak dilakukan oleh kita setiap penggantian kepemimpinan negeri. Oleh sebab itu untuk kedepan semua ini adalah pembelajaran social yang sangat berharga bagi kita semua.
Salam Waras