Hullumu!
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Beberapa waktu lalu karena ada acara di daerah pesisir utara wilayah yang kita tempati ini, harus berjumpa dengan paman dari pihak keluarga istri. Kami berbincang dari hal-hal yang ringan sampai yang serius; bahkan sampai masalah negara tidak terlewatkan. Saat asyik berbicara ada kerabat yang menghampiri sang paman dan meminta sedikit uang. Sang paman tidak berkenan dengan kelakuan kerabat tadi dan menghardiknya dengan kata “…duwit…. hullumu…!”.
Mendengar ujaran singkat dalam Bahasa Lampung itu saya jadi ingat kerabat asal Medan, Sumatera Utara. Sekalipun beliau memiliki status sosial yang tinggi, tetapi saat beliau bertemu masalah yang cukup serius, beliau selalu berucap khas Medan “…palak kali aku liatnya….ha….”. Beda lagi dengan teman yang dari Palembang saat kecewa karena harapan tidak sesuai dengan kenyataannya saat berurusan dengan orang lain, dia akan mengeluarkan kata-kata “……palak Bapak nyo….”.
Tak beda makna, ujaran sejenis pada masyarakat Jawa, pada umumnya anak-anak penggembala ternak atau bahasa setempat disebut “tukang angon”, sangat biasa menggunakan kata “…ndas mu…..” Biasanya ujaran ini disampaikan kepada sesama tukang angon jika mereka berselisih paham.
Karena katagori penggunaan diksi ini sangat situasional. Dalam arti, hanya bisa digunakan kepada teman akrab dan sebaya, tidak bisa dengan sembarangan diucapkan karena akan membuat perasaan orang lain tersinggung. Apalagi jika itu diucapkan dari atas panggung kehormatan, maka yang mengucapkan akan dicap tidak punya tatakrama, atau besar kepala, bahkan bisa jadi tidak punya etika.
Oleh sebab itu diksi seperti di atas pada umumnya untuk semua sub-etnik yang menggunakan padanannya; diucapkan pada situasi informal, atau paling tinggi nonformal. Sementara pada situasi formal, diksi itu tidak lazim diucapkan, dan bahkan dianggap melanggar etika sopan santun ketimuran.
Tampaknya pendidikan kita sudah kehilangan “ruh sejatinya” yaitu pendidikan ahlak dan etika; yang antara lain bersumber dari suri teladan para pemimpinnya atau yang dijadikan panutan, lebih spesifik lagi sebagai “local wisdom”. Ahlakulkharimah sebagai inti pokok pendidikan sudah berganti menjadi “yang kharam sajalah” ; karena semua tergantung kepada “siapa yang sedang berkuasa” bukan bagaimana ahlak dan etika ditegakkan.
“Unggah-ungguh” atau terjemahan bebasnya tatakrama; tampaknya sudah mulai memudar sebagai tata pergaulan. Hal ini dapat kita simak bagaimana budi pekerti yang dahulu merupakan ruhnya pendidikan, terutama pada pendidikan dasar; tampaknya hari ini sudah tidak dipatuhi lagi bahkan ditinggalkan.
Bagaimana keseharian kita disuguhi adu otot bahkan bacot pada lembaga-lembaga terhormat yang kita miliki.
Semula kita berharap dari lembaga-lembaga ini tampil orang-orang yang menjujung tinggi etika dan ahlak mulia. Ternyata yang kita jumpai bagaimana perilaku seenak sendiri, bahkan cenderung mengabaikan norma-norma ketimuran yang ada.
Hampir semua lini kita jumpai “porak-porandanya” etika; coba kita bayangkan pemimpin tertinggi negeri ini dengan ringan berucap yang dijadikan judul tulisan ini dalam bahasa Jawa. Bagaimana pula namanya pengacara naik ke meja pengadilan, bagaimana pula kepala sekolah menantang gubernur yang jadi atasannya secara birokrasi, bagaimana pula kepala dinas pendidikan mengubah diksi dari studi tur menjadi “studi tiru”, bagaimana orang dengan kalem menilap uang megatriliyun, dan masih cengar-cengir di depan kamera wartawan; bagaimana lembaga pengayom rakyat mengadakan razia kendaraan tanpa malu-malu untuk mencari uang pungli, bahkan ada yang salah petik ternyata yang dijemput pasukan elite; dasar mental pengemis peristiwa itupun viral dimedia massa, tetapi tidak membuat yang bersangkutan jera.
Ternyata adagium setiap orang adalah pemimpin, paling tidak pemimpin atas dirinya sendiri; namun tidak semua pemimpin mampu berperilaku sebagai pemimpin, dan dia hanya berperilaku sebatas ketua; semua itu benar adanya. Ternyata adagium itu sekarang juga bertriwikrama menjadi “tidak semua manusia berperilaku berkemanusiaan, yang ada hanya casing yang bernyawa”.
Sebelum mendapatkan “kursi” berkampanye bagai singa lapar, semua mau dilakukan untuk rakyat. Setelah pelantikan berubah menjadi “kucing Anggora” yang selalu minta elus dari tuannya. Jati diri sebagai pemimpin telah digadaikan dengan jasa orang lain, karena dirasa telah mengantarkannya menjadi “raja” yang tidak berhak menyandang “yang mulia”. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman