Tempe Gembus Makanan Rakyat

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Pada bulan ramadhan seperti ini mengingatkan suasana pedesaan pada akhir tahun 50 an; saat itu negeri ini kondisinya masih sangat memprihatinkan. Pemberontakan ada di mana-mana, rakyat mengalami kekurangan sandang dan pangan, ekonomi begitu sulit; bahkan untuk makanpun rasanya sulit menemukan makanan yang layak. Apalagi jika ukuraan saat ini dipakai, maka bagai bumi dengan langit. Namun kondisi itu tidak membuat menyerah jika harus melakukan ibadah puasa, karena memang puasa itu disamping perintah agama; ternyata juga pada saat itu sudah dilakukan hampir setiap hari karena ketiadaan.

Namun ditengah kesulitan itu ada makanan khas pedesaan bernama “Tempe Gembus”, yaitu tempe yang terbuat dari ampas tahu, dalam bahasa Jawa disebut Gembus, yang difermentasi dengan ragi tempe. Biasanya dijadikan lauk atau camilan goreng di berbagai daerah masyarakat Jawa. Makanan ini menjadi sangat favorit karena disamping murah meriah juga mudah. Walaupun pada waktu itu ada juga masyarakat yang bereksperimen dengan menggantikan kacang kedelai dengan biji karet. Tentu proses pengolahannya sulit, rumit dan bertele-tele. Mengapa kacang kedelai tidak jadi pilihan, karena jika memiliki kacang kedelai lebih baik dijual dengan harga yang cukup lumayan saat itu, dan uangnya dibelikan beras, dan keperluan lain.

Kita tinggalkan soal makan lezat bernama gembus itu, karena kata “gembus” pada sebagaian masyarakat Jawa juga digunakan untuk sebagai kata kiasan. Makna gembus kadang digunakan dalam bahasa sehari-hari untuk menyebut seseorang yang banyak omong tapi kurang substansi, seperti dalam ungkapan “mulutnya kayak tempe gembus” (omong besar tapi kosong). Kalau menggunakan dialek ngapak biasanya akan dikatakan “omongane kaya gembus” terjemahan bebasnya omongannya seperti gembus, maksudnya besar omong.

Ternyata kalau dahulu gembus itu adalah makanan, sekarang berubah bukan hanya makanan tetapi juga pembicaraan, dan pembicaraan yang kosong seperti halnya gembus seperti dialek ngapak, itu sudah merajalela disegala sendi kehidupan. Bisa dibayangkan pembuka mega korupsi ternyata juga punya borok tukang korupsi; sehingga saat mau bicara tentang korupsi yang ditangkap langsung bilang “apa mau saya buka juga korupsimu”. Akhirnya yang keluar pembicaraannya seperti gembus.

Sebelum maju menjadi pemimpin diminta melakukan kampanye, dan semua kita terperangah bahkan ada yang sangat berharap yang bersangkutan langsung saja menjadi pemimpin karena akan membuka ribuan lowongan kerja bagi semua. Namun baru beberapa bulan menjabat ternyata sudah ratusan pabrik tutup dengan ribuan karyawan menjadi pengangguran, akibat dari kebijakkan orang pilihannnya yang tidak mampu. Dan, sekali lagi kata gembus paling cocok untuk kondisi ini.

Belum bekerja sudah mengatur siasat agar bagaimana tetap menjadi pemimpin untuk limatahun kedepan, karena merasakan empuknya singgasana. Akhirnya dibuat kesepakatan mengikat kepada pendukungnya agar tidak lari. Sementara pekerjaan yang seharusnya dikerjakan belum juga dikerjakan; begitu mendengar gerakan anak muda untuk mencari pekerjaan di luar, semua kebakaran jenggot akkhirnya komentar “gembus” yang keluar dari pembelanya.

Memang tidak ada yang sempurna didunia ini, dan tidak bisa segala sesuatu instan, harus berproses. Namun proses akan berjalan manakala perencanaan dibuat dan dikerjakan, dengan melibatkan semua elemen terkait. Bukan lagi masanya mengumbar janji seperti saat “menjual diri”, karena itu akan memperbesar “gembus” saja. Sekarang sudah waktunya membuktikan apa yang diucapkan dengan jelas, tegas, kapan, dan apa yang akan dilakukan untuk mencapainya. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman