Bene’h

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Saat berbincang dengan salah seorang staf administrasi senior di ruang depan pascasarjana, kami memperbincangkan banyak hal, dan diantaranya adalah bagaimana sikap ibu yang selalu pemberi maaf kepada kesalahan anak-anaknya, dan betapa banyak air mata bunda mengalir saat bulan suci seperti ini, apalagi nanti saat satu syawal tiba; mengalir deras sebagai perwujudan maaf pada anak-anaknya. Sejurus kemudian beliau mengatakan “itu jika ibu yang beneh, kalau yang tidak ya …beda lagi jadinya Prof..” beliau sambil tertawa khas. Kata “beneh” yang sudah lama tidak terdengar di telinga menjadi menarik disimak sebagai bahasa ibu kami yang dahulu masih sering terdengar.

Berdasarkan jejak digital kata “beneh” itu dahulu di tulis bene’h, yang bermakna sesuai dengan aturan moral yang berlaku dan sesuai dengan tata krama kehidupan sebagai manusia. oleh sebab itu pada waktu dulu jika orang tua memarahi anaknya keluar ucapan “dasar bocah ora bene’h” maksudnya adalah anak yang tidak memiliki tata krama sopan santun.

Kebene’han itu sekarang mulai berangsur langka, karena terdistorsi oleh sejumlah perubahan perilaku akibat perubahan sistem sosial yang ada. Perlu dipahami bahwa jika hal-hal tidak bene’h terjadi di sekitar kita itu pada umumnya disebabkan oleh dua hal: pertama, memang ukurannya telah berubah. Hal ini disebabkan oleh karena sistem nilai yang dianut antargenerasi sudah berubah. Akibatnya perilaku yang dahulu dianggap tidak patut, justru sekarang menjadi patut.

Kedua, memang perilakunya sudah berubah; yang semula dianggap tidak patut, sekarang justru menjadi sangat patut. Akhirnya membuat keyakinan akan kebenaran perilaku menjadi berubah. Jika dulu murid dihardik guru itu bene’h; sekarang jika ada guru menghardik murid, tunggu sebentar kemudian orang tua datang untuk menghadik guru. Kurang puas lapor petugas keamanan dan kemudian di sidang; gurunya dihardik petugas penegak hukum; padahal mereka bisa menjadi seperti itu semua karena guru.

Namun ketidak bene’han ini menjadi “kelucuan” bahkan bisa menjadi “agak gila sedikit” jika kita perhatikan contoh kemaren; bayangkan Setasiun Pengisian Bahan Bakar berjumlah delapan ribu dan tersebar di negeri ini, ditest standard Ron nya dengan mengambil sampel “hanya” dua Stasiun dan itupun di Ibu Kota; kemudian pejabat dengan bangga menyimpulkan sudah memenuhi standard “semua”. Teori metodologi penelitian mana yang dipakai, padahal pimpinannya bergelar akademik tertinggi. Wajar saja jika orang mengatakan “dasar ora bene’h”.

Ketidak bene’h-an ini juga melanda kita semua, dan itu telah pernah diingatkan oleh Jalaluddin Rumi beberapa abad silam yang peringatannya sebagai berikut: “ Tuhan yang engkau sembah di bulan Ramadhan adalah Tuhan yang sama yang engkau jauhi di bulan-bulan lainnya. Lantas mengapa caramu beribadah berbeda..?..”. Kalimat itu sangat menusuk bagi mereka yang bene’h dan berpikir waras.

Oleh sebab itu sikap bene’h dalam konteks perilaku sosial, yang mirip dengan sikap hormat dan patuh kepada otoritas, dapat dianalisis melalui beberapa teori sosial. Berikut adalah beberapa teori sosial yang relevan dari hasil penelusuran digital:

1. Teori Fungsionalisme Struktural (Talcott Parsons)
Dalam perspektif ini, sikap bene’h dapat dipahami sebagai bagian dari sistem sosial yang menjaga keseimbangan dan keteraturan. Dalam masyarakat timur, kepatuhan kepada orang tua, pemimpin, dan figur otoritas berfungsi untuk mempertahankan harmoni sosial (rukun).

2. Teori Kekuasaan dan Hegemoni (Antonio Gramsci)
Sikap bene’h bisa dilihat sebagai bentuk hegemoni budaya, di mana norma kepatuhan dan penghormatan terhadap otoritas tertanam melalui sosialiasi sejak kecil. Orang timur cenderung mengikuti budaya ewuh pakewuh (segan/tidak enak hati) sebagai mekanisme kontrol sosial.

3. Teori Interaksionisme Simbolik (Herbert Blumer)
Dari sudut pandang ini, sikap bene’h terbentuk melalui interaksi sosial dan simbol-simbol budaya. Misalnya, penggunaan bahasa yang bertingkat atau kata ganti penghormatan; itu adalah mencerminkan penghormatan dalam hubungan sosial dan menjadi alat internalisasi sikap patuh.

4. Teori Pertukaran Sosial (George Homans & Blau)
Kepatuhan dalam budaya timur juga bisa dipandang sebagai bentuk pertukaran sosial, di mana seseorang bersikap patuh (manut) dengan harapan mendapat perlindungan, kesejahteraan, atau dukungan sosial dalam sistem patron-klien.

5. Teori Strukturasi (Anthony Giddens)
Sikap bene’h dalam budaya timur bukan hanya hasil dari struktur sosial yang membentuk individu, tetapi juga tindakan individu yang terus-menerus mereproduksi budaya kepatuhan dan hormat dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam perspektif teori sosial, sikap bene’h dalam masyarakat timur bukan sekadar kepatuhan pasif, tetapi merupakan hasil dari interaksi sosial yang kompleks, di mana norma, simbol, dan relasi kuasa berperan dalam membentuk dan mempertahankannya.

Namun sayangnya siring perjalanan waktu sekarang sikap bene’h ini sudah memudar. Sekarang sudah sulit untuk membedakan mana yang bene’h dengan yang tidak bene’h; bahkan tidak jarang mereka yang bene’h dianggap tidak bene’h; justru yang tidak bene’h dianggap bene’h. Salam Waras. (SJ)

Editor: Gilang Agusman