Sing Waras Ngalah

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Pagi menjelang siang karena bulan puasa pergi ke kantor lebih lambat satu jam dari biasanya, sesuai dengan edaran pimpinan tertinggi lembaga beberapa waktu lalu. Dalam perjalanan dari balik kemudi melihat insiden kecil dua pengendara motor bersenggolan; terlihat keduanya adu mulut dan berpotensi adu fisik. Entah datang dari mana, ada seorang tua menghampiri mereka dan terdengar sayup-sayup dalam bahasa Jawa berkata “sing waras ngalah” terjemahan bebasnya orang yang ngalah itu waras. Sontak mendengar diksi itu menjadi ingat ucapan Ibu saat dimintai restu untuk pamit menimba ilmu, beliau juga berpesan begitu dan ditambah satu lagi “wong ngalah luhur wekasan ne”. terjemahan bebasnya orang yang mengalah itu akhirnya akan tinggi derajatnya. Karena takut terjadi kemacetan pancang, insiden itu ditinggal dengan melajukan kendaraan secara perlahan.

Sesampainya di kantor diksi tadi menggelitik untuk ditelusuri apa dan bagaimana secara filosofis. Ternyata berdasarkan beberapa sumber digital ditemukan informasi sebagai berikut: Dalam filosofi Jawa, ungkapan “Sing waras ngalah” memiliki makna yang mendalam tentang kebijaksanaan, kesabaran, dan keseimbangan dalam kehidupan sosial. Secara harfiah, ungkapan ini berarti “Orang yang lebih waras (bijaksana) yang mengalah”.

Makna Filosofis dari ungkapan tadi bahwa; Orang yang lebih sadar dan memiliki pemahaman lebih luas akan memilih mengalah untuk menghindari konflik yang tidak perlu. Mengalah bukan berarti kalah, tetapi menunjukkan kedewasaan dalam menghadapi situasi. Dalam ajaran Jawa, keharmonisan dalam masyarakat lebih diutamakan daripada ego pribadi. Orang yang lebih bijaksana akan menahan diri demi menjaga hubungan baik dengan orang lain.

Oleh sebab itu tidak semua pertengkaran atau perdebatan harus dimenangkan. Kadang-kadang, bertahan dalam argumen hanya akan membuang energi tanpa hasil yang berarti. Orang yang “waras” akan lebih memilih fokus pada hal yang lebih bermanfaat. Mengalah bukan berarti lemah, tetapi menunjukkan kemampuan untuk memahami keadaan dan bertindak dengan kepala dingin. Ini adalah bentuk pengendalian diri dan kesabaran yang tinggi. Pepatah kuno mengatakan “tidak semua perjuangan harus maju, ingat tarik tambang itu menang karena mundur”.

Prinsip ini sering diterapkan dalam berbagai situasi, seperti dalam keluarga, pekerjaan, maupun lingkungan sosial. Ketika terjadi perselisihan, seseorang yang lebih bijak akan memilih mengalah agar tidak memperpanjang konflik yang bisa berdampak buruk.

Namun, ada juga kondisi di mana mengalah bukan pilihan terbaik, terutama jika itu menyangkut prinsip yang tidak bisa dikompromikan atau keadilan yang harus ditegakkan. Oleh karena itu, kebijaksanaan diperlukan untuk menentukan kapan harus mengalah dan kapan harus bertahan. Oleh sebab itu ada sejumlah unsur yang harus dipenuhi dalam prinsip Sing Waras Ngalah, dari informasi digital ditemukan sebagai berikut:

1. Kesadaran Diri (Eling lan Waspada)

Orang yang “waras” berarti memiliki kesadaran diri yang tinggi. Mampu memahami situasi dengan jernih tanpa terbawa emosi. Menyadari kapan harus mengalah dan kapan harus mempertahankan prinsip.

2. Kesabaran (Sabar lan Legowo)

Tidak terburu-buru dalam bereaksi terhadap suatu konflik. Menerima keadaan dengan hati yang lapang tanpa merasa terhina atau direndahkan. Mampu menahan ego demi kebaikan bersama.

3. Kecerdasan Emosional (Luwih Cerdas, Luwih Tanggap)

Memiliki kontrol emosi yang baik sehingga tidak mudah terpancing dalam situasi panas. Dapat memahami perasaan orang lain dan bertindak dengan empati. Mampu berpikir jangka panjang, bukan hanya merespons secara instan.

4. Kepekaan Sosial (Tepa Selira)

Memahami bahwa hidup bermasyarakat membutuhkan keseimbangan dan harmoni. Tidak hanya memikirkan kepentingan pribadi, tetapi juga dampak bagi orang lain. Bersikap luwes dalam menghadapi perbedaan pendapat dan konflik.

5. Kebijaksanaan dalam Bertindak (Wicaksana lan Adil)

Mengambil keputusan dengan pertimbangan matang, bukan sekadar asal mengalah. Tidak mengalah secara buta, tetapi tetap mempertahankan kebenaran jika diperlukan. Membedakan antara kapan harus diam dan kapan harus berbicara.

6. Tujuan yang Lebih Besar (Utamakan Kedamaian dan Kesejahteraan Bersama)

Mengalah bukan berarti lemah, melainkan demi tujuan yang lebih besar. Fokus pada solusi, bukan pada menang atau kalah dalam perdebatan. Memilih tindakan yang membawa manfaat jangka panjang.

Dalam praktiknya, prinsip “Sing Waras Ngalah” bukan berarti selalu mundur atau pasif, tetapi menunjukkan kecerdasan dalam memilih pertarungan mana yang harus dihindari dan mana yang harus dihadapi dengan cara yang lebih elegan. Oleh sebab itu tidak salah jika diksi itu selalu bersambung dengan “wong ngalah luhur wekasan ne”; sebab ngalah bukan berarti kalah, dan keluhuran itu tidak harus diperoleh dengan cara mengalahkan; justru bisa jadi sebaliknya. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman