“Rebut Balung Tanpo Isi”

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Hari itu panas terik sekali serasa menyengat ubun-ubun; sekalipun matahari tidak begitu tampak, namun karena udara terperangkap pada awan yang mulai menghitam, akibatnya udara menjadi serasa di dalam oven. Pada kondisi itu alat media cakap berdering berarti ada yang masuk; tetapi karena situasi tidak mendukung maka tidak ada keinginan untuk menyambutnya; lagi pula jika suara keras seperti itu berarti tidak ada pada buku telpon sehingga bisa dipastikan itu pendatang baru. Namun karena sudah lebih dari tiga kali berdering, maka dengan kemalasan yang ada, terpaksa alat cakap itu diangkat. Ternyata, di seberang sana ada sahabat yang sudah lama sekali tidak jumpa meminta waktu untuk bicara, dan beliau mengonfirmasi bahwa mendapatkan nomor dari salah seorang mahasiswa program doktor di satu universitas ternama di daerah ini.

Percakapan dimulai dari yang ringan-ringan sampai pada titik tertentu membicarakan hal yang serius dari satu persoalan. Beliau menggunakan diksi dalam bahasa Jawa yang sudah lama tidak terdengar yaitu istilah seperti judul tulisan ini. Sontak ingatan menerawang jauh kepada kedua almarhum orang tua yang pernah menggunakan diksi itu dalam menasehati kami anak-anaknya, bahasa lengkapnya begini: “Anak-anakku kabeh, Bapak-Ibumu orak ninggalke bondo dunyo, mung ninggalke kepintaran ono sirahmu; mergo nek bondo dunyo mengko kuwe podo rebutan koyo dene rebutan balung tanpo isi; luwih becik taktinggali kepinteran supoyo kowe kabeh podo jajah deso milangkori”. Terjemahan bebasnya kira-kira “Anak-anakku, Bapak-Ibumu tidak mewariskan harta dunia, tetapi hanya meninggalkan kepandaian yang ada di kepalamu, sebab kalau harta dunia nanti kalian akan rebutan bagai berubut tulang tanpa isi, lebih baik saya tinggalkan kepandaian supaya kalian bisa keliling dunia”.

Seputus bicara dengan sohib lama tadi, kenangan lama bersama saudara-saudara dan orang tua terbayang kembali dalam ingatan. Bagaimana orang tua dahulu berkorban dengan berbagai cara agar anak-anaknya harus bersekolah di tengah situasi sulit saat itu. Alhamdullilah, kami semua sekarang menikmati hasilnya sesuai dengan doa beliau dan menjalankan kodratnya masing-masing.

Sebelum lebih jauh membumikan istilah diatas, sebaiknya kita pahami terlebih dahulu apa konsep dari rebut balung tanpo isi itu. Dari penelusuran digital ditemukan jejak sebagai berikut: Ungkapan “rebut balung tanpo isi” berasal dari kearifan lokal dalam filsafat Jawa yang menekankan kebijaksanaan dalam bertindak dan memahami nilai sejati dalam kehidupan.

Meskipun tidak memiliki catatan sejarah formal yang jelas, konsep ini erat kaitannya dengan nilai-nilai moral dan etika yang diajarkan dalam budaya Jawa, terutama dalam ajaran keselarasan (harmoni), kebijaksanaan, dan eling lan waspada (kesadaran dan kewaspadaan).

Asal-Usul dan Konteks Sejarah :

1. Era Kerajaan Jawa (Mataram Kuno hingga Mataram Islam). Dalam masa kerajaan-kerajaan Jawa, persaingan dan perebutan kekuasaan sering terjadi, baik antarsaudara maupun antarabangsawan. Banyak perang saudara atau konflik yang justru menghancurkan tatanan masyarakat karena perebutan sesuatu yang tidak benar-benar bernilai (misalnya, tahta tanpa legitimasi atau wilayah yang miskin sumber daya). Konsep “rebut balung tanpo isi” muncul sebagai kritik terhadap perebutan kekuasaan yang tidak membawa manfaat bagi rakyat, tetapi hanya melayani ambisi pribadi.

2. Filosofi Wayang dan Serat Kuno
Dalam wayang kulit, ada banyak kisah yang menggambarkan tokoh-tokoh yang bertarung demi sesuatu yang sia-sia. Misalnya, dalam kisah Mahabharata, tokoh seperti Duryudana dan Karna bisa dianggap “merebut balung tanpa isi” karena memperebutkan kerajaan secara tidak adil, meskipun akhirnya kehancuranlah yang mereka dapatkan.
Dalam serat-serat kuno seperti Serat Wulangreh (oleh Sri Susuhunan Pakubuwono IV), ajaran kebijaksanaan sering kali menyoroti pentingnya memahami mana yang benar-benar berharga dan mana yang hanya ilusi duniawi.

3. Pengaruh Filsafat Jawa
Dalam ajaran budaya Jawa, manusia diajarkan untuk selalu mempertimbangkan apakah sesuatu layak diperjuangkan atau tidak. Sejatining urip(hakikat hidup) tidak terletak pada harta atau kekuasaan, melainkan pada keseimbangan dan kebijaksanaan. Prinsip ini juga sejalan dengan konsep “sabar, nrimo, lan waskita” (kesabaran, penerimaan, dan kebijaksanaan dalam melihat masa depan).

Oleh sebab itu dalam konteks kehidupan, ungkapan ini sering digunakan untuk menggambarkan: Pertarungan sia-sia – misalnya, perebutan kekuasaan, jabatan, atau harta yang sebenarnya tidak membawa kesejahteraan atau kebahagiaan sejati. Keserakahan tanpa esensi – orang yang hanya mengejar keuntungan materi tanpa memperhatikan nilai moral dan spiritual. Pertarungan demi harga diri semu – ketika orang bertengkar atau bersaing hanya demi gengsi atau ego, tanpa melihat apakah hal yang diperebutkan benar-benar bermanfaat.

Ungkapan ini mengajarkan agar manusia tidak terjebak dalam ambisi kosong yang hanya membawa kehancuran. Filsafat Jawa menekankan pentingnya kebijaksanaan dalam memilih perjuangan, sehingga hidup tidak hanya sekadar mengejar sesuatu yang tampaknya berharga, tetapi sebenarnya kosong dan tidak bermakna.

Ternyata rebut balung tanpo isi itu sekarang tidak hanya melanda keluarga, akan tetapi juga merambah ke warga negara terhadap negaranya. Hanya bedanya sekarang berubah “rebut balung,sementara isinya sudah disedot orang lain duluan”; bisa dibayangkan kita berteriak basmi korupsi, basmi nepotisme dan lain sebagainya. Ternyata diseberang sana mereka berpesta dalam ruangan berpendingin sejuk dengan tertawa-tawa menikmati hasil korupsi berjamaah; sebagai misal korupsi di anak usaha Pertamina.

Semula semua ingin jadi pahlawan, seiring perjalanan waktu karena mengetahui aliran dana bagai Bengawan Solo yang mengalir sampai jauh, semua membisu. Kita berteriak pagar laut yang ilegal, dari rakyat sampai pejabat; ternyata yang punya sedang minum kopi panas bersama ketua. Sekali lagi, kita semua sedang berebut balung yang sudah tidak bersumsum. Buktinya hutang bejibun tapi mau diselesaikan dengan cara “melamun”. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman